"Negara-negara yang ingin mengisolasi Turki di Miditerania dan memaksakan peta yang tidak sesuai standar internasional, kini mereka menunduk mengajak berunding," kata Presiden Erdogan, Senin (21/9/2020), dilansir DailySabah.
"Mereka yang mencoba mengganggu keseimbangan kawasan dan dunia hanya karena permusuhan mereka terhadap Turki sedang menggali kuburan mereka sendiri," tegas Erdogan.
Desakan Yunani dan Cyprus Yunani agar Uni Eropa (UE) segera memberi sanksi, ditentang wakil Jerman di UE: “We have not yet reached the point of broad and deep sanctions.”
Demikian ditegaskan the former Social Democratic Party leader, Sigmar Gabriel, yang pernah menjabat sebagai Menlu Jerman dari tahun 2017 hingga 2018.
Jerman nampaknya menjadi penghalang kuat bagi UE, yang akan menentukan sanksi tegas terhadap Turki, saat mereka berkumpul 24-25 September tahun ini. Alasan yang dikemukakan Gabriel adalah:
1. Jika Turki dihukum karena melanggar traktat NATO dengan belanja S400, dipastikan, Turki dalam waktu singkat akan menjadi negara nuklir berkat bantuan intensif Russia.
2. Jika UE menerapkan sanksi atas Turki sebagai dukungan terhadap Yunani, maka Eropa harus segera membangun tembok tinggi perbatasannya, mulai dari Bulgaria hingga Yunani, karena Turki akan membuka perbatasan untuk jutaan pengungsi ke Eropa.
3. Sikap AS yang masih ambigu, padahal sebagai komandan utama NATO, AS seharusnya memberikan sanksi tegas terhadap Turki.
Tanpa diduga, AS melalui Kedubes AS di Turki mengeluarkan rilis, bahwa peta Yunani yang berbasis perjanjian Seville bertentangan dengan hukum laut internasional.
Eropa yang awalnya terbelah, kini mulai menampakkan bentuk. Menurut Denis MacShane mantan UK’s former minister of Europe, dalam makalahnya di laman The Independent berjudul: Turkey is the biggest threat to Europe today, and the Greeks need our help, menyebutkan bahwa Turki telah menjadi ancaman Uni Eropa dan jauh lebih berbahaya daripada keluarnya Inggris dari Uni Eropa atau Putin yang meracuni oposisi Belarusia, Alexei Navalny.
Berbicara di Athena pekan lalu, mantan presiden sosialis Prancis, François Hollande, mengutarakan keprihatinannya tentang Turki.
Bagi Hollande, Recep Tayyip Erdogan, yang sekarang dikenal di semua kalangan diplomatik sebagai "Sultan", merupakan ancaman bagi Eropa. Dia telah membawa Turki ke dalam kehancuran ekonomi dan sekarang harus mengalahkan genderang nasionalis dan pemulihan kejayaan kerajaan Ottoman untuk mengalihkan perhatian orang dari masalah ekonomi yang meningkat.
Lembar dakwaan Hollande mencakup berbagai tuduhan:
- Sultan Erdogan berusaha memiliterisasi Mediterania Timur
- Dia telah melanggar kewajiban Perjanjian NATO dengan membeli rudal Rusia
- Dia telah memenjarakan ratusan jurnalis dan lawan politik
- Dia terobsesi dengan Islamisme, mempromosikan Islam di Eropa dan telah mengubah dua katedral Kristen Bizantium terbaik di Istanbul menjadi masjid
- Dia secara mencolok mencampuri politik negara-negara Eropa seperti Prancis dan Jerman, mengadakan rapat umum politik raksasa dan bersikeras bahwa warga negara Uni Eropa Turki berhutang kesetiaan hanya kepada Turki
- Petualangannya di Suriah dan perangnya melawan Kurdi berbahaya
- Aliansinya dengan Libya adalah tindakan agresi.
Narasi kebencian Hollande dijiplak Macron. Namun kemudian Perancis melunak, usai Yunani melakukan pembelian 10 pesawat rafael dan alutsista lainnya dari Perancis.
Akhirnya, Turki dengan kekuatan diplomasi dan militer, sukses melakukan tekanan kepada NATO, UE, dan membuat gelontoran uang UAE tak ada nilainya.
(By: Nandang Burhanudin)