Jurus Primitif
GDP (gross domestic product) atau dalam bahasa Indonesia-nya PDB (produk domestik bruto), bisa dihitung dari total 5 hal berikut:
1. Konsumsi rumah tangga
Jadi seluruh konsumsi kita (rumah tangga) ditotalkan, beli beras, beli mie, beli galon, gas, buku kuota internet, halan-halan, obat enteng jodoh, obat anti jomblo, skin care biar cakep pas selfie, dsbgnya, ditotalkan semua. Semakin banyak konsumsi rumah tangga, semakin tinggi nilai PDB-nya. Catat baik2, PDB Indonesia itu 50% lebih disumbang dari konsumsi rumah tangga. Artinya, jika angkanya jelek, maka dampaknya besar sekali.
2. Konsumsi LNPRT
Konsumsi Lembaga Non Profit yang melayani Rumah Tangga. Ini adalah lembaga2 kayak yayasan, sosial dan sejenisnya. Dihitung juga konsumsi mereka berapa. Kecil kontribusinya, hanya 1-2%. Tapi tetap harus dihitung. Termasuk kalau kamu punya 'Yayasan Jomblo Setia', itu bisa dihitung konsumsinya (asumsi ada loh ya). Kalau cuma buat kumpul2 curhat, tidak masuk.
3. Konsumsi pemerintah
Ini jelas, segala yang dibelanjakan oleh pemerintah. Masuk ke sini semua angkanya. Termasuk belanja militer. Kontribusinya ke PDB kita sekitar 6-8%.
4. PMTB alias Pembentukan Modal Tetap Bruto
Adalah belanja modal, dkk. Yang umur pemakaiannya lebih dari satu tahun, dan tidak utk konsumsi. Pabrik, mesin2, peralatan, kendaraan produksi, dsbgnya, masuk ke sini. Termasuk cultivated biological resource (CBR), serta produk kekayaan intelektual. Kontribusi bagian ini besar, bisa 30-40%.
5. Terakhir, selisih Ekspor dan Impor
Kalau ekspor lebih besar dibanding impor, maka kontribusinya positif ke PDB. Tapi kalau ternyata impor kita lebih banyak, maka kontribusinya negatif. Termasuk ekspor-impor jasa.
Nah, 5 komponen ini kemudian ditotalkan. Bravo! Dapat berapa PDB Indonesia. Per Juni 2020, PDB kita sebesar: Rp 3.687.700.000.000.000. Alias Rp 3.687 trilyun. Banyak? Tergantung. Kalau dibandingin PDB Amerika atau China sih kecil, hanya 1/20 saja. Tapi kalau kita bandingin PDB negara Timor Leste, gedean kita.
Ahya, sebagai informasi tambahan, 60% PDB kita itu bersumber dari Pulau Jawa. Sumatera 21%, sisanya kecil2 di Kalimantan, Sulawesi, Papua, Maluku, Bali, NTB, NTT, dll.
Tiap tiga bulan, PDB ini dihitung. Siapa yang ngitung? BPS. Pusing ngitungnya? Iyalah. Jelimet, satu-persatu, kecil2, dihituuung. Ada satu anak yg ngaco ngasih rumus, bum! salah angkanya. Anak ini dipecat, bikin malu saja. Eh, becanda ding. Tentu mereka check and re-check, berkali2. Divalidasi, dll. Saya tahu2 dikitlah kerjaan BPS ini. Saya tiga kali lebih ngisi acara di kampus STIS. Lihat mahasiswa2nya, wajah saya ikutan terlipat2, angka semua soalnya. Di sini semua mahasiswanya serius. Mereka ngobrol dengan angka2. Eh, becanda lagi ding. Mereka ini baik2 semua, insya Allah, akan jadi aparat pemerintah yg amanah. Mengawal data2 ini dengan baik.
Baik, balik lagi ke soal PDB.
BPS baru saja merilis data PDB kuartal 2, tahun 2020. Untuk pertama kalinya, setelah 20 tahun lebih, pertumbuhan PDB kita minus 5%. Tentu ini salah corona, pandemi. Terlepas dari fakta sejak triwulan 2 2018 memang terus turun, biang masalah ini jadi minus 5% adalah virus corona. Kalau tidak ada virus corona, mungkin malah jadi 7-8%. Meroket. Eh? Sorry, bablas.
Baik, baik, mari fokus lagi.
Bagaimana biar PDB kita tidak minus lagi? Itu yang sedang dilakukan pemerintah. Ada jurus pamungkas mereka. Apa? Coba perhatikan, Konsumsi rumah tangga menyumbang 50% lebih. Itu artinya, mari dongkrak habis2an konsumsi RT tsb. Ngarepin ekspor? Ngimpi. Ngarepin PMTB? lagi normal saja susah, apalagi pandemi.
Konsumsi rumah tangga adalah jalan ninja kita.
Satu, gelontorkan bantuan sosial ke rakyat. 10-20 trilyun misalnya. Bungkus. Dua, gaji ke-13 PNS cairkan, 30 trilyun, misalnya lagi. Tiga, bantu penduduk dgn penghasilan di bawah 5 juta, 20-30 trilyun misalnya berikutnya. Kasih kartu pra kerja buat korban PHK, lagi2, 20 trilyun gelontorkan.
Saat uang puluhan trilyun ini menyebar ke seluruh rakyat, asumsinya mereka akan belanja. Konsumsi rumah tangga naik lagi. Roda perekonomian naik. Masuk akal.
Tapi jurus ini sebenarnya 'primitif'. Sorry. Tidak ada spesialnya. Kalau cuma begitu doang, percuma debat ekonomi saat setiap pilpres. Ujung2nya cuma begitu. Sejak dulu, iniii saja solusinya pas krisis. Lagian, menggelontorkan uang banyak tsb, dari mana coba uangnya? Utang. Itu bukan duit pejabat negara. Itu utang yang besok2 dibayar oleh anak cucu.
Lantas, kalau begitu, apa dong jurusnya? Elu Tere Liye, cuma bisa kritik doang, tapi nggak ngasih solusi. Lu kira jadi pemerintah itu mudah? Coba kasih solusi?
Nasib memang. Saya itu, sudah bayar pajak (banyak loh pajaknya), sudah gitu jutaan buku saya dibajak (banyak loh buku bajakan ini), eh, setiap kali bahas beginian, tetap disuruh mikir pula coba sama netizen? Sementara idola mereka, yg rebutan jadi pejabat, saking pengennya, anak, mantu, keluarga juga ikutan. Idola mereka, yg kemana2 naik pesawat dibayarin negara, dikasih gaji, hotel bintang, dll, mereka ini MIKIR nggak?
Baiklah, kalau kalian mau jawabannya, ijinkan saya kasih sebuah ilustrasi.
Persis pandemi terjadi awal 2020, semua penjualan buku tumbang 80%. Hancur lebur. Bahkan ada yang sampai 99,99%, alias zong, laku 100 saja sudah bagus, numpuk di toko. Saya kena krisis ini, tapi bagaimana solusinya buat saya? Simpel: tetap produktif. 'Paksa' orang lain tetap belanja dengan merilis novel2 yg mereka pengen banget baca. Selena+Nebula dirilis Maret 2020. September nanti, saya akan merilis 'Selamat Tinggal'. dan akhir 2020, jika semua lancar, sy akan merilis 6 buku lain. Habis2an. Gelontorkan produk di sana. Belum lagi sy merilis ebook2 di Google Play Books, seru ini. Meski banyak pembajak, banyak ebook ilegal, saya akan bertarung menghadapinya di dunia maya. Page ini lebih gencar lagi menyerang pembajak dan pembeli produk bajakan.
Begitulah cara menggerakan ekonomi menurut saya. Dengan tetap produktif. Kalahkan krisisnya dengan tangguh, gagah. Bukan malah bagiin duit kemana2. Jangan keliru, kita bilang kena krisis, banyak loh yang justeru 'menikmati' krisis ini dengan kreatifitas. Mereka malah untung, melesat maju saat orang2 lain buntu.
Itu yang tidak pernah terlihat di negeri ini. Berpikir kreatif. Sorry. Saat ekspor migas kita turun misalnya, mikir dong, saatnya kita ekspor karya. Mari kita ubah, bukan lagi jual minyak, kelapa sawit, dll. Mari jual film misalnya. Aduh, kalian kira jualan film itu remeh? Film Avatar, Avenger, laku 2,7 milyar dollar, alias 40 trilyun. Dua film ini totalnya 80 trilyun. Cukup 120 film model begini, lunas hutang negeri ini.
Dalam pandemi ini, ayolah, jenius sedikit mikirnya. Menteri banyak, staf presiden banyak, suruh semua mikir. Bukan cuma mikirin platform prakerja. Melainkan mikir untuk menggerakkan rakyat produktif menciptakan produk/jasa yang bisa laku di dunia. Cari terobosan. Biar kita ini semua meroket betulan.
Kami mah, rakyat kecil, sepanjang bayar pajak, tertib bayar BPJS, dll, sudah genap tugasnya. Kalian yang di atas sana, mikir dong. Giliran jadi pejabat, bukannya rebutan? Waktu disuruh mikir, kenapa malah lempar ke rakyat kecil?
Atau sejatinya. Sungguh, ternyata ini sama saja. Tidak ada yang spesial. Setiap kali lima tahun berlalu. Setiap 10 tahun berlalu. Tidak se-spesial yang dia kira.
By Tere Liye
*kalau ada yg salah2 di tulisan ini, harap dimaafkan. sy dulu waktu kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, bukanlah mahasiswa yang pandai.
(Sumber: fb)