Film 'TILIK' Dipuji Ernest, Memang Film Bagus, KEKUATAN KEJUJURAN DALAM BERKARYA


[Resensi Film]
TILIK, KEKUATAN KEJUJURAN DALAM BERKARYA

Oleh: Balyanur

Kali ini saya setuju dengan Koh Ernest. Film pendek Tilik memang benar bagus, kok. Jarang saya nonton film pendek sebagus ini. Sayangnya tweet Koh Ernest malah dibanjiri komentar youtuber yang juga bikin film pendek ngasih link minta diapresiasi. Gimana mau karyanya diapresiasi kalau karya sebagus ini malah dinol apresiasikan.

Banyak para calon sineas memamerkan karyanya di youtube. Sayangnya, mereka keberatan gagasan hingga kedodoran dalam eksekusinya. Tilik yang viewernya sudah satu juta tigaratus ribuan ini  karya sineas muda anak-anak Yogya yang bekerjasama dengan Dinas Kebudayaan Yogyakarta adalah karya yang jujur. Tidak terbebani gagasan besar, tidak terkontaminasi oleh sponsor dalam hal ini Dinas Kebudayaan Yogyakarta.

Kalau saja sutradaranya “diracuni” oleh gagasan latar belakang sosial politiknya, maupun gagasan pesan usil pihak sponsor, maka film Tilik (Link : https://www.youtube.com/watch?v=GAyvgz8_zV8)  tidak akan sebagus ini. Padahal kita tahu, Yogyakarta sering muncul letupan yang oleh orang luar disebut sebagai letupan intoleransi. Dalam berpakaian, ada seruan Kembali pada kebudayaan lokal. Kebudayaan konde. Hebatnya, film yang disponsori oleh Dinas Kebudayaan ini sama sekali tidak terpengaruh. Mereka dengan jujur memotret realita kehidupan masyarakat.

Tilik atau menjenguk orang sakit adalah budaya gotong-royong, budaya guyub masyarakat yang sudah mengakar tanpa pidato panjang lebar ala politisi. Dalam film ini digambarkan, sekelompok ibu-ibu ingin menjenguk Bu Lurah yang sedang dirawat di rumah sakit. Mereka patungan menyewa truk pasir. Sepanjang perjalanan ke rumah sakit itulah cerita film ini mengalir mulus.

Ini bukan film Speed yang selama dalam perjalanan penuh adegan  ketegangan. Plot cerita film ini lurus saja. Belokan-belokan kecil plot yang menarik justru dari dialog para pemerannya. Film ini berbahasa jawa, itu salah satu kekuatan film ini. Kalau saja berbahasa Indonesia pasti akan bikin film ini jadi tidak menarik. Dialog dalam film ini yang membawa cerita kesana kemari. Disamping tentu saja dengan bahasa jawa, bahasa sehari-hari mereka akting para pemeran bisa nyambung.

Para pemeran dalam film ini bukan aktris yang kerap muncul di televisi. Tapi jujur saja, akting mereka jauh lebih bagus daripada akting aktris sinetron yang berbanderol mahal itu. Para aktor dan aktris sinetron, disamping memang modal aktingnya paspasan, diperparah dengan script yang buruk. Dialog menggunakan bahasa Indonesia yang baku, tapi kepalang tanggung hingga dialog para aktor sinetron itu kedengaran aneh. Terutama saat adegan marah. Marahnya sinetron banget, nggak ada dalam kehidupan nyata.

Kekuatan lain film ini adalah busana. Tentu saja berkat kejujuran sutradaranya memotret kihidupan desa. Ibu-ibu kalau mau kondangan atau pergi ke kota, sebagian besar memakai hijab. Dinas kebudayaan Yogya sebagai sponsor film ini tidak memaksakan agar ibu-ibu Kembali berkebaya dan berkonde. Hingga semua pemeran dalam film ini berhijab. Kecuali sopir truk tentu saja. Celana panjang  yang dikenakan sopir truk digulung sampai mata kaki hingga menimbulkan kesan  memang sopir truk betulan.

Kembali ke soal hijab. Sejak lautan hijab tahun 80-an, hijab sudah bukan lagi budaya luar, sudah jadi budaya Indonesia. Hijab Arab yang  nyaris seragam tentu beda dengan hijab Indonesia. Pemakai hijab di Indonesia terdari dari berbagai macam niat. Ada yang karena syar’i , ada juga karena kepantasan. Banyak emak-emak yang sehari-harinya tidak berhijab, tapi kalau mau pergi jauh berhijab. Hanya sebatas pakaian yang lumrah saja. Kelumrahan itulah yang namanya budaya. Budaya kan mengikuti gerak masyarakat. Memaksa masyarakat Kembali pada budaya masa lalu kan sama saja dengan pengekangan budaya.

Budaya masyarakat di negara yang mayoritas muslim ini menjadikan hijab menjadi budaya baru, itu juga kebudayaan nasional namanya. Dan film ini memotret budaya ibu-ibu di salah satu desa di Yogyakarta dengan semuanya berhijab, menunjukan kejujuran kreatornya dalam memahami kebudayaan masyarakat setempat.

Gagasan cerita yang sederhana juga salah satu kekuatan film ini. Sembilan puluh persen adegan dalam film ini adalah perjalananan ibu-ibu di atas truk dari Desa hingga kota. Dalam pembicaraan antar ibu-ibu di atas truk itulah pesan yang ingin disampaikan film ini mengalir. Fokus rumpian tokoh ibu-ibu itu adalah seorang wanita nakal bernama Dian. Ibu-ibu tahu soal kenakalan Dian dari medos yang belum diuji kebenarannya. Ibu-ibu lugu ini rupanya sudah terkontaminasi oleh medsos masuk desa.

Karena tokoh yang digosipkan sepanjang perjalanan bernama Dian, maka tentu penonton penasaran seperti apa Dian itu. Bagi sutradara mainstream ala sinetron pasti awal pemunculan tokoh Dian akan dikasih penekanan khusus. Entah dengan slowmotion, entah dengan zoom in zooim inan ala jeng jeng jeng. Tapi hebatnya, sutradara film ini  menampilkan Dian begitu saja. Di rumah sakit, ibu-ibu turun dari truk , Dian menghampiri memberi kabar kalau Bu Lurah ada di ICU, tidak boleh diganggu. Putra Bu Lurah yang digosipkan ada main dengan Dian juga muncul begitu saja membenarkan ucapan Dian. Dan Ibu-ibu kembali naik truk begitu saja.

Walaupun gossip tentang tokoh Dian menyebabkan sedikit keributan di atas truk, tapi sutradaranya tidak menjadikan Dian tokoh penting, karena pesan yang ingin disampaikan film ini adalah budaya medsos sudah merasuki ibu-ibu desa. Ibu-ibu Desa yang pergi ke rumah sakit ke kota naik truk pasir, budaya yang tidak tergilas oleh waktu.

Justru yang bikin heran adalah keheranan Ernest pada kualitas suara dalam film ini. Memang kualitas suara film ini tidak kalah, malah dalam poin tertentu lebih bagus dari sinetron  dengan peralatan yang relatif lebih  mahal.

Ernest barangkali sudah berada di lingkungan produski berbiaya mahal. Padahal anak-anak muda yang gemar bikin film, menghasilkan suara seperti itu bukan perkara sulit-sulit amat. Sekarang banyak peralatan yang relatif murah tapi di tangan orang yang paham bisa bersaing dengan peralatan mahal.

Tapi sayangnya, kemudahan itulah yang bikin calon sineas keberatan gagasan hingga kedodoran. Karena terlalu sibuk masalah teknis. Dengan DSLR menengah saja sudah bisa bikin film untuk Youtube dengan kualiatas gambar yang bagus, didukung oleh software editing sederhana semisal Adobe Premire yang kelas pemula, bahkan lebih sederhana lagi menggunakan Filmora.

Film ini mengajarkan kepada para calon sineas muda bagaimana cara membuat film yang baik. Kejujuran dalam berkarya. Itulah kuncinya. Ide sederhana  karena ketertarikan sutradaranya melihat ibu-ibu di desa berangkat ke kota menggunakan truk pasir menghasilkan film pendek yang bagus. Itu!

-Balyanur

Baca juga :