Makna Pedang Yang Dibawa Khotib dalam Khutbah Jum'at Hagia Sophia


Makna Pedang Yang Dibawa Khotib dalam Khutbah Jum'at Hagia Sophia

ISTANBUL - Pada pelaksanaan sholat Jumat perdana di Hagia Sophia, 24 Juli 2020, ada pemandangan menarik saat khotib Syeikh Ali Erbaş membawa pedang di tangannya.

Daily Sabah melaporkan, pedang yang dipegang selama khutbah Jumat memiliki filosofi sebagai simbol penaklukan. Setelah memimpin sholat Jum'at di Masjid Hagia Sophia, Ali Erbaş mengatakan kepada wartawan, "Khutbah telah disampaikan dengan pedang, tanpa gangguan, selama 481 tahun. Jika Allah mengizinkan, kami akan melanjutkan tradisi ini mulai sekarang."

"Ini adalah tradisi di masjid-masjid yang merupakan simbol penaklukan," jelas Erbaş, yang mengepalai Direktorat Urusan Agama Turki (Diyanet), menambahkan bahwa Masjid Hagia Sophia adalah salah satu simbol penaklukan tersebut. Sultan Mehmed II atau populer disebut Sultan Muhammad al-Fatih menaklukkan Konstantinopel atau Istanbul pada 1453, yang dulunya dikuasai oleh Kerajaan Romawi Timur.

Ketika masih dikuasai Romawi, Hagia Sophia berfungsi sebagai gereja selama 916 tahun hingga penaklukan Sultan al-Fatih. Kemudian, bangunan tersebut menjadi masjid dari tahun 1453 hingga 1934 atau hampir 500 tahun, sebelum diubah oleh Mustafa Kemal menjadi museum selama 86 tahun, dan 'dibebaskan' oleh Presiden Recep Tayyip Erdogan.

"Saya berharap banyak orang berdoa di masjid ini... belajar agama mereka di sini. Kami akan mencoba mengembalikan Madrasah Hagia Sophia agar berfungsi seperti yang terjadi selama tahun-tahun yang luar biasa dengan pelajaran Alwuran di setiap sudut masjid," kata Erbas.

Dia melanjutkan, masjid juga berfungsi sebagai sekolah. "Seperti halnya Nabi (Muhammad) kita mampu membesarkan teman-temannya di masjid, kita berusaha membesarkan anak-anak dan remaja kita di masjid," kata Erbaş menambahkan.

Mustafa Armağan, penulis dan jurnalis berdarah Kurdi yang telah menulis banyak buku tentang sejarah Utsmani dan Turki mengatakan tentang makna pedang khotib:

"Dalam tubuh kita mengalir darah Utsmani, walaupun ada upaya untuk melupakan dan menutupnya. Dengan klaim bahwa kita mendirikan negara ini dari nol dan tak tersangkut paut dengan peradaban sebelumnya. Seperti yang anda saksikan, (mau tak mau) kita tetap senantiasa dikelilingi oleh tradisi Fatih, dan semoga Ayasofya menjadi awal dari penaklukkan-penaklukkan baru lainnya. Sebagaimana pedang ditangan saya," ujarnya.


Baca juga :