MIRIS dan MEMPRIHATINKAN... Curhatan Tenaga Medis PPDS Covid Jatim


Curhatan tenaga medis PPDS

TIDAK banyak yang tahu, bahwa di RSUD dr Soetomo Surabaya terjadi krisis penanganan Covid-19 di garis depan. Yakni, banyaknya korban di kalangan dokter PPDS, atau dokter residen, yang menjadi ujung tombak.

Hmmm…banyak sih yang tahu, karena informasi soal ini sudah beredar secara luas di kalangan internal para tenaga medis di Surabaya. Tidak percaya, coba simak sejumlah status yang samar-samar terlihat di kalangan tenaga medis Surabaya. Terutama saat kematian salah seorang dokter residen, Miftah Fawzy pada 10 Juni lalu. Lalu, ditambah dengan berita di Tempo yang menyebutkan ada 22 dokter residen yang saat ini terpapar Covid-19.

Sedihnya, terpaparnya adalah karena ketidaktersediaan APD yang memadai untuk mereka-mereka ini. Sesuatu yang dibantah oleh Dekan FK Unair Soetojo seperti yang ada di link tempo. Baca:
https://nasional.tempo.co/amp/1355395/22-dokter-residen-fk-unair-di-rsud-dr-soetomo-terjangkit-covid-19.

Soetojo mengatakan bahwa tidak ada masalah dengan penyediaan APD –sesuatu yang menurut sejumlah dokter yang tak mau disebut namanya adalah hal yang tidak benar.

Faktanya, dokter residen kekurangan APD sangat parah.

Saya meminta mereka untuk speak up (bicara), tapi mereka takut melakukannya. Saya memahami kegamangan mereka. Tak mudah bertindak sesuatu yang bisa membahayakan karir dan masa depannya.

Tampaknya, di kalangan dokter, hierarkhi soal korps tak kalah dengan institusi yang memang didesain untuk itu seperti militer dan polisi. Bahkan, para dokter residen ini sempat meminta bantuan donasi APD ke masyarakat umum, namun dengan cepat permintaan bantuan donasi itu dengan segera diralat. Saya sendiri pernah nge-share permintaan donasi itu, yang dalam hitungan jam, saya harus memberi koreksi kalau permintaan itu dicabut di akun saya ini.

Akibatnya, yang terjadi mereka berada dalam dilema serius: ketakutan untuk speak up yang bisa mempengaruhi karir dan pendidikan mereka ke depannya dengan ketakutan mereka kehilangan nyawa karena bekerja dengan kondisi yang memprihatinkan.

Sedih, tapi itulah gambaran garis depan penanganan Covid-19 di Jawa Timur.

Saya sempat mewawancarai sejumlah dokter, dan meminta mereka untuk membuat poin-poin mengenai apa yang sebenarnya terjadi di RSUD dr Soetomo. Bukan apa-apa, RS milik Pemprov Jatim tersebut adalah RS terbesar di Indonesia Timur dan menjadi rujukan dari sejumlah daerah. Jika RS ini kolaps, maka kolaps lah sistem kesehatan di Indonesia Timur.

Ini saya sarikan dalam bahasa aslinya, lalu saya kombinasikan. Tidak saya edit sama sekali kutipan dari mereka.

Poin per poin:

- PPDS adalah dokter yang mengambil keahlian (brevet), mereka sudah memiliki kurikulum tersendiri sesuai dengan jangka waktu yang telah ditetapkan, misalnya spesialisasi anak 3,5 th, penyakit dalam 4 th atau 8 semester demikian seterusnya.

- Mereka membayar SPP 10 jt per-semester yang masuk ke FK Unair, bukan RS Dr Soetomo. Operasionalisasi RS Dr Soetomo dibiayai dari anggaran APBD Prov dan BPJS serta asuransi yang lain.

- Dalam masa covid ini, maka ada kecenderungan tugas2 yang harus mereka selesaikan agar dapat menyelesaikan spesialisasinya secara tepat waktu akan terbengkelai karena harus tugas digaris depan. Selain itu para pembimbingnya juga WFH ataupun terkena covid sehingga harus stay at home. Berarti ini menimbulkan hutang baru bagi yang biayanya pas-pasan. FK Unair tidak peduli dan tetap minta dibayarkan uang SPP nya. Biasanya para PPDS itu bisa nyambi praktek sebagai dokter umum untuk menyambung hidup maupun bayar SPP. Sekarang penghasilan itu tidak ada lagi. Jadi mereka mau tidak mau harus berhutang.

- Keselamatan kerja: minim, seperti keterbatasan ketersediaan APD itu tadi. Coba lihat ketersediaan APD RS dari data pengeluaran RS maupun dari stock yang disediakan misalnya di Instalasi UGD, tiap PPDS ambil di Bagian Farmasi, berapa jumlahnya? Apakah cukup? Apa jadinya bila ternyata misalnya N95 yang merupakan standar utama untuk masker jaga di UGD tidak tersedia, mereka pakai masker 3 ply yang hijau itu double.

Padahal pasien yang datang adalah pasien Covid. Amblas mereka. Dilain pihak di Ruangan penyakit dalam, anak, bedah dll biasanya minimnya ketersediaan APD tersebut ditutupi oleh donasi para senior/ staf spesialis RS (dosen2 mereka) yang urunan menyediakan APD tersebut. Pernah saya mendapatkan WA permintaan donasi APD, saya sumbang, ternyata mereka ditegur keras oleh Direksi dan menyatakan bahwa semua donasi termasuk donasi APD sampai donasi makanan harus masuk satu pintu.

Lah dalah…. Terus dibagikan ke siapa? Para penggede RS yang kerjanya dibelakang meja saja? Gila. Kalau saya jadi Dir RS malah duit anggaran trimeseter iku ndang2 tak entekno dibagikan ke yang butuh, setelah itu habis, galang donasi secara besar2an. Enak aku ga iso disalahno karo BPK, karena uang APBD wis entek kahn. Kalau masih separoh2, ada donasi dll, maka potensi “temuan” BPK gampang banget, malah nyeret KPK. Yo wis embuh arek2 iku, wedi karo boss e … be e.

- Yang kedua pasien covid banyak di selasar UGD. Mengapa? Biasanya kalau pasien itu rapid tesnya positif dan ada gejala lain2 mengarah ke Covid, maka harusnya di swab untuk periksa PCR, periksanya bisanya keesokan harinya karena tenaga pengambil Swab yang kurang (terutama kalau sudah lewat jam 12 siang. Jadinya mereka terpapar terus menerus dengan para pasien reaktif tersebut yang kebanyakan mungkin nantinya PCR nya positif. Bayangkan stressnya para PPDS tersebut yang selalu bersebelahan dengan pasien yang berdasarkan skoring mereka harus PCR.
Mengenai skoring nanti saya kirim acuan skoring RSDS dan algoritmenya, kalau skoring jumlah 20 alurnya kemana sana, kalau reaktif rapidnya harus apa dll bisa dilihat disana.

- Yang ketiga adalah ketersediaan ruang isolasi di RS. Sesuai dengan ketentuan Kemenkes, maka semua pasien infeksi yang berbahaya (ketentuan umum, dibuat sebelum ada covid, sekarang sangat relevan) harus masuk ruang isolasi. Ketentuan ruang isolasi itu salah satunya yang utama adalah harus ada ruang bertekanan negatif, agar tidak menyebarkan infeksi, kemudian ada ruang interim sebelum ke ruang normal. Ketersediaan ruang ini sangat terbatas, sementara jumlah pasien bertambah terus dan ini menyebabkan paparan terhadap Tenaga Medis (dokter) dan Tenaga Kesehatan / NAKES (perawat, bidan, tenaga kesehatan lainnya) menjadi besar. Risiko terkena covid besar.

***

Itu poin-poin situasi mereka yang tidak saya edit sama sekali. Saya hanya berharap bisa membantu mereka mencarikan jalan keluar. Dengan membuat status ini, semoga banyak pihak yang membaca dan ikut membantu tanpa para dokter residen ini terancam karir, pendidikannya, maupun nyawanya.

Membantu mereka, sama dengan membantu diri kita sendiri. Karena, dengan fase transisi new normal seperti sekarang ini yang tak terelakkan (pemerintah sudah memutuskan seperti itu demi ekonomi), angka persebaran akan meningkat. Dan sementara ini, belum banyak diketahui soal Covid-19 di Surabaya.

Seorang dokter dengan masygul berkata kepada saya bahwa Surabaya sebenarnya sudah second wave ketika puncak gelombang pertama saja belum kelihatan puncaknya. Herd Immunity tak berlaku di sini. Setidaknya di Surabaya, seperti yang ada dalam screenshot di bawah ini. Jika ada masyarakat yang sudah pasrah dan siap mati kapan saja karena Covid-19, ya itu memang pilihannya.

Tapi setidaknya tetap berupaya mengurangi korban, untuk menghormati banyak manusia yang masih belum siap menemui kematiannya. Banyak mungkin yang siap mati, tapi bagaimana dengan anak, pasangan, dan keluarganya. Siapkah jika mereka ditinggalkan?

Semoga Tuhan melindungi kita semua.

19 Juni 2020

(Penulis: Kardono Ano Setyorakhmadi)

Link: https://www.facebook.com/mastertogel01/posts/10216905065559591

Curhatan tenaga medis PPDS TIDAK banyak yang tahu, bahwa di RSUD dr Soetomo terjadi krisis penanganan Covid-19 di garis...
Dikirim oleh Kardono Ano Setyorakhmadi pada Jumat, 19 Juni 2020
Baca juga :