Jubir Prabowo: AS, Cina, dan Perangkap Thucydides


[PORTAL-ISLAM.ID] Juru bicara Menhan Prabowo Subianto, Dahnil Anzar Simanjuntak menuliskan artikel tentang "AS, Cina, dan Perangkap Thucydides" yang dimuat koran Republika, 13 Juni 2020.

Meski tulisan tersebut bukan atas nama 'Jubir Prabowo', melainkan Dahnil sebagai 'Peneliti' Universitas Kebangsaan Republik Indonesia (UKRI), setidaknya pasti sudah atas sepengetahuan Menhan Prabowo. Dan ini menarik, karena topiknya hal yang sangat strategis terutama dalam hal hankam, yaitu soal AS-China.

Berikut isi tulisannya...

AS, Cina, dan Perangkap Thucydides

Oleh: DAHNIL ANZAR SIMANJUNTAK
(Peneliti Senior Institute Kajian Strategis UKRI)

Perang dagang antara AS dan Cina yang sempat mereda, tidak serta-merta membuat tensi politik menurun. Hubungan keduanya justru semakin memanas. Setiap peristiwa belakangan ini seolah menjadi kayu bakar memperbesar bara pertikaian keduanya.

Eskalasi meninggi setelah Presiden Cina Xi Jinping pada 26 Mei 2020, mengatakan akan meningkatkan kesiapan militer dalam menghadapi kemungkinan konfrontasi bersenjata.

Ini menjawab berbagai tuduhan kepada Cina terkait Covid-19 juga semakin intensifnya patroli kapal perang AS di Laut Cina Selatan. Seteru Xi, Presiden AS Donald Trump, juga sudah bukan satu dua kali mengeluarkan pernyataan keras.

Kesiapan perang yang ditegaskan Presiden Xi semakin mencemaskan dunia karena sepekan sebelumnya, Cina mengumumkan kenaikan anggaran pertahanan mencapai 178,2 miliar dolar AS dari sebelumnya 167 miliar dolar AS.

Berdasarkan data tahunan Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) akhir bulan April lalu, pengeluaran militer Cina pada 2019 mencapai 261 miliar dolar AS atau meningkat 5,1 persen disbanding pada tahun sebelumnya. Cina di posisi kedua setelah AS.

Meski masih jauh di bawah AS dengan pengeluaran 732 miliar dolar AS, motivasi kenaikan anggaran militer Cina, seperti disebutkan salah seorang peneliti SIPRI, Nan Tian, adalah untuk bersaing dengan AS  sebagai adikuasa militer dunia.

Kenaikan anggaran militer Cina ini tidak lepas dari kemajuan ekonomi yang saat ini diraihnya. Bung Karno dalam Indonesia Menggugat (1930) misalnya, menggambarkan Cina menjadi rebutan negara kuat ketika itu, seperti AS, Inggris, dan Jepang.

Bahkan, sampai tahun 1980-an, Cina masih jauh lebih miskin dibandingkan Indonesia (Iskan, 2020). Saat ini, Cina menjadi negara maju bahkan terkuat secara ekonomi mengalahkan AS. Karena setidaknya, Cina telah melampaui AS dari 20 indikator (Allison, 2017). Di antaranya, dalam hal manufaktur, ekspor, pemegang utang AS, produsen baja, pemegang cadangan devisa, dan mesin utama pertumbuhan global.

Kemajuan Cina ini tidak lepas dari kebijakan pragmatisme yang diambil para pemimpinnya. Cina tidak lagi memegang sepenuhnya ajaran Karl Marx, pendiri komunisme. Sejak era Deng Xiaoping pada 1980-an, Cina memasukkan unsur pengusaha dari sebelummya hanya buruh dan petani.

Kemajuan ekonomi dan militer Cina, bahkan sampai mengimbangi AS membuat banyak kalangan mewanti-wanti agar tidak menyulut perang.

Terutama saat era Presiden Nixon, yang membuka serta membawa Cina ke dunia modern dari negara terbelakang dan tertutup.

Perangkap Thucydides

Kemajuan Cina di bidang ekonomi dan militer, bahkan sampai mengimbangi AS membuat banyak kalangan mewanti-wanti agar hal itu tidak menyulut perang di antara keduanya.

Karena itu, lepas dari perangkap Thucydides, itu tantangan terbesar saat ini. Perang Peloponnesia, seperti dikatakan Thucydides, sejarawan Yunani kuno, terjadi saat kekuatan Athena meningkat (rising power) berhadapan dengan Sparta (ruling power).

Berdasarkan catatan Graham Allison dalam Destined for War: Can America and China Escape Thucydides’s Trap? sebanyak, 12 dari 16 kasus selama 500 tahun terakhir, terjadi perang antara rising power dan ruling power.

Presiden Xi, seperti dikutip Allison, menampik perangkap Thucydides ini. Namun, dia mengingatkan, bila negara besar selalu membuat kesalahan, artinya merekalah yang menciptakan jebakan untuk diri sendiri.

Sikap Indonesia

John Mearsheimer, dosen ilmu politik dari Universitas Chicago dalam sebuah debat yang diselenggarakan oleh lembaga think tank asal Australia, menyatakan, dalam perspektif AS tidak ada tempat bagi negara lain untuk netral dalam pertarungan AS versus Cina ini.

Penulis buku The Tragedy of Great Power Politics (2011) ini menyampaikan, “Anda bersama kami (Amerika Serikat) atau bersama yang lain (Cina). Tidak ada tempat bagi sikap netral. Bersikap netral artinya kalian musuh kami.”

Agaknya, sikap yang sama sedang juga ditunjukkan Cina. Karena itu, kedua negara akan aktif membangun aliansi di seluruh dunia meski keduanya sedang menghadapi gejolak yang serius di dalam negerinya masing-masing.

Kedua negara itu memiliki kepentingan ekonomi yang sama dengan Indonesia saat ini. Indonesia pun memiliki hubungan sangat baik dengan keduanya. Maka itu, peran diplomasi pertahanan dibutuhkan di tengah situasi dua gajah sedang aktif membangun aliansi kekuatan.

Apa pun itu, dengan berbagai konsekuensinya, pilihan sikap Indonesia harus selalu merujuk konstitusi dasar yang mengamanatkan untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Jadi, misi Indonesia adalah memastikan peran dan kerja diplomasi, termasuk diplomasi pertahanan dalam mencegah perang di antara kedua negara itu, ataupun perang yang lebih besar melibatkan banyak negara bersamaan konflik kedua negara tersebut.[R]


Baca juga :