Siti Fadilah: Melawan WHO, sentil Gugus Tugas Covid-19

Siti Fadilah Supari, Menteri Kesehatan (2004-2009)

[PORTAL-ISLAM.ID] Di tengah kian masifnya pertambahan jumlah kasus positif Covid-19, sebuah petisi online diluncurkan di situs Change.org, awal Maret lalu. Dalam petisi itu, para penggagas menuntut Presiden Joko Widodo (Jokowi) segera membebaskan eks Menteri Kesehatan (Menkes) Siti Fadilah Supari dari penjara.

Menurut mereka, pengalaman dan kepakaran Siti dibutuhkan negara saat ini. Apalagi, perempuan yang kini genap berusia 70 tahun itu pernah menakhodai Indonesia keluar dari pandemi flu babi dan flu burung saat bertugas menjadi Menkes era Susilo Bambang Yudhoyono.

Hingga kini, sudah lebih dari 36 ribu warganet yang menandatangani petisi itu.

https://www.change.org/p/presiden-joko-widodo-bebaskan-siti-fadilah-supari-berjuang-bersama-melawan-wabah-corona

Selain di jagat maya, dukungan atas pembebasan Siti juga datang dari sejumlah politikus dan lembaga yang bergelut di bidang kesehatan.

Eks Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah bahkan telah menyerukan pembebasan Siti jauh sebelum petisi itu diluncurkan. Menurut Fahri, Siti dijebloskan ke penjara karena membongkar konspirasi antara World Health Organization (WHO) dan Amerika Serikat dalam bisnis vaksin.

Saat ini, Siti mendekam di penjara Pondok Bambu, Jakarta Timur setelah divonis bersalah dalam kasus korupsi pada 16 Juni 2017. Pengadilan Tipikor memutuskan Siti terbukti menerima suap dalam proyek pengadaan alat-alat kesehatan di lingkungan Kemenkes pada 2015.

Lewat kurir, Alinea.id mewawancara perempuan kelahiran Surakarta itu di balik jeruji. Dalam pesan tertulis yang diterima Alinea.id, pekan lalu, Siti mengaku tak tahu-menahu ihwal petisi yang diluncurkan di Change.org itu.

"Mungkin lho, ya, mereka merasa kurang puas dengan tata kelola pemerintah dalam menangani Covid-19. Terus, mereka mengharapkan saya untuk ikut membenahinya. Barangkali begitu," ujar Siti.

Terkait penanganan pandemi, Siti menyarankan sejumlah solusi kepada pemerintah Jokowi.

Mantan Menteri Kesehatan di Kabinet Indonesia Bersatu (2004-2009) ini mengisahkan, ketika dirinya memimpin penanganan wabah flu burung pada 2005, tak ada tarik menarik antara pemerintah pusat dan daerah. Waktu itu, katanya, ketika ada bencana nasional, pimpinan tetap ada di pusat.

“Waktu itu kompak banget. Saya yang mimpin. Bapak SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) tut wuri handayani (memberikan dorongan dan arahan di belakang layar). Kalau beliau kurang paham atau punya pandangan lain, saya dipanggil untuk diskusi,” ujar Siti melalui pesan tertulis via kurir yang diterima Alinea.id, Sabtu (11/4/2020).

Ia pun mencermati kinerja Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Menurut dia, peran Menkes tak terlihat di dalam Gugus Tugas Covid-19. Ia pun mempertanyakan peran Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang sangat dominan.

“Ini bencana kesehatan, bukan bencana alam, seperti tsunami atau gunung meletus. Yang paling mengerti adalah Menkes, yang menguasai substansi ilmiah maupun politik kesehatan internasional,” katanya.

Siti mengatakan, dahulu lembaga yang khusus menangani flu burung adalah Komite Nasional Pengendalian Flu Burung (Avian Influenza) dan Kesiapsiagaan menghadapi Pandemi Influenza (Komnas FBPI).

“Dalam Komnas Flu Burung, walaupun dipimpin Menko Kesra, tapi pemimpin di lapangan sepenuhnya Menkes,” ujarnya.

Komnas FBPI dibentuk berdasarkan Perpres Nomor 7 Tahun 2006. Ketua Komnas FBPI adalah Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra). Sementara di dalam struktur, Menkes sebagai Wakil Ketua III merangkap anggota.

Di sisi lain, Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 ditetapkan melalui Keppres Nomor 7 Tahun 2020 pada 13 Maret 2020. Lalu, pada 20 Maret muncul Keppres Nomor 9 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Keppres 7 Tahun 2020.

Di dalam struktur Gugus Tugas Covid-19, Ketua Pengarah adalah Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK). Sedangkan Menkes menjadi Wakil Ketua. Ketua Pelaksananya adalah Kepala BNPB.

Perang Melawan WHO

Pada 2008, Siti merilis buku "Saatnya Dunia Berubah: Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung". Buku ini sempat menjadi kontroversi dan mendapat protes dari petinggi World Health Organization (WHO) dan Amerika Serikat. Buku itu membuka “borok” WHO.

“Saya melihat ketidakadilan WHO dalam mengatasi epidemi H5N1. Mereka mengambil virus kita, terus kita disuruh beli vaksinnya,” ujarnya.

“Saya heran, kok dalam keadaan epidemi di negara saya, mereka malah mengambil keuntungan.”


Ia mengaku meneliti rantai yang tidak wajar antara negara terdampak flu burung, WHO, farmasi besar, dan senjata biologi. Menurut dia, kuncinya ada di Global Influenza Surveillance Network (GISN)—sebuah lembaga di dalam WHO, tetapi di bawah yurisdiksi Amerika Serikat, yang tugasnya mengumpulkan virus flu dari seluruh dunia.

Oleh karena itu, ia berusaha menghapus GISN karena menurutnya, lembaga tersebut membahayakan dunia.

“Mulailah perang diplomasi yang sangat ketat. Di sinilah negara adidaya Amerika muncul untuk mempertahankan GISN,” tuturnya.

Pada 2007, Indonesia kemudian mengajukan resolusi ke WHO. Saat itu Siti heran, yang dihadapi bukan WHO, tetapi Amerika Serikat.

“Mereka mendatangkan ahli hukumnya khusus dari Amerika,” kata dia.

Ia lalu menggalang dukungan dengan mendekati satu persatu Menteri Kesehatan dari negara lain. Siti cukup terkejut, ia bisa menggalang dukungan dari 128 negara untuk menghadapi Amerika Serikat dan beberapa negara pendukungnya. Negara-negara maju, seperti Inggris, Jerman, Prancis, Belanda, Rusia, Italia, dan China ikut mendukung Indonesia.

“Indonesia ketika itu menjadi negara yang sangat terhormat di WHO,” ujarnya.

Dunia juga dibuat geger usai Siti memutuskan untuk tidak lagi mengirim strain virus H5N1 ke WHO pada 2006. Ia pun mengajukan syarat kepada WHO, akan mengirim strain virus kalau Organisasi Kesehatan Dunia itu bersedia mereformasi aturan dalam berbagi virus yang transparan dan berkeadilan.

“Dalam pertarungan kita menang. Sayang, saya tidak dipilih lagi menjadi Menteri Kesehatan periode ke-2,” kata Siti.

“Konon, Pak SBY ditelepon WHO dan Amerika agar saya tidak dipilih jadi menteri lagi, walau protokol Cikeas sudah sempat mengundang saya untuk datang sebagai calon Menkes periode ke-2.”

Pada 2009, posisi Siti diganti Endang Rahayu Sedyaningsih. Ia kecewa, perjuangannya tak diteruskan Menkes penggantinya.

“Indonesia yang tadinya pemimpin, sekarang menjadi anggota biasa,” tutur dia.

Namun, Siti mengatakan, Menteri Kesehatan dari negara-negara yang mendukungnya, masih meneruskan perjuangan. Mereka masih menghubungi Siti melalui telepon untuk meminta arahan.

“Akhirnya, reformasi dalam tubuh WHO disahkan pada 2011,” kata dia.

Ketika itu, Siti menjabat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden bidang Kesehatan dan Kesejahteraan Rakyat.

“Dengan kemenangan perang diplomasi di WHO, korban flu burung langsung turun, jadi tidak ada, landai kurvanya,” ujar Siti.

Kini, di tengah perjuangan melawan Covid-19, sebagian orang rindu Siti Fadilah dan menginginkan ia dibebaskan dari penjara.

"Presiden AS mau hentikan bantuan pembiayaan ke WHO karena DIANGGAP MAIN MATA dengan China, maka ini saatnya presiden @jokowi bebaskan Prof. Siti Fadilah. Akan makin jelas bahwa beliau dipenjara karena melawan para raksasa. Mumpung mereka (AS-WHO-China) lagi berantem. #bebaskansitifadilah," kata Fahri Hamzah di akun twitternya, Kamis (15/4/2020).

"Seharusnya tidak ada hambatan bagi pemerintahan pak @jokowi untuk #bebaskansitifadilah karena penganiayaan kepada beliau tidak dalam masa rezim ini. Justru beliau harus curiga mengapa ada kelompok yang berkepentingan betul untuk mengurung perempuan berumur 71 tahun?" ujar Fahri.

"Saya tau lobby yang ingin menyumbat mulut beliau kuat sekali. Bahkan terakhir saya dengar beliau tidak mendapatkan keringanan karena dituduh “dekat” dengan kelompok radikal dan teroris. Semoga pak @jokowi mendengar apa yg benar. #bebaskansitifadilah adalah suatu yg benar," tegas Fahri.
Baca juga :