Program Jual-Beli Video Pelatihan Rp5,6 Triliun Serupa Satwa Langka yang Dilindungi


‘Kegigihan’ pemerintah dan Manajemen Pelaksana (PMO) Kartu Prakerja harus diakui lumayan juga. Dalam posisi skak-mat pun, masih berupaya melakukan manuver.

Semakin bermanuver akan semakin tampak bahwa program jual-beli video pelatihan Rp5,6 triliun serupa satwa langka yang harus dilindungi.


Kuota peserta ditambah dari 160 ribu menjadi 200 ribu per gelombang/pekan.

Pencairan insentif dimudahkan, kini bisa lewat BNI, tak perlu via e-wallet dulu yang berbiaya Rp2.500.

Masyarakat mengeluh kuota internet, diberi gratis 30 gb.

Mau dapat tambahan tunai di muka, platform digital kasih bonus donasi Rp100 ribu.

Agen-agen disebar, konon ‘membantu’ supaya insentif bisa cepat cair. Bukan membantu supaya peserta mendapat kompetensi hasil dari video pelatihan.

Hanya satu yang seperti haram disentuh: transaksi jual-beli video Rp1 juta di platform digital.

Potensi revenue Rp5,6 triliun agaknya terlalu gurih untuk dilewatkan begitu saja. Jika dibagi rata 8 platform, Rp700 miliar/platform digital adalah angka yang menggiurkan.

Butuh iman dan moral sekokoh baja untuk bernalar jernih di hadapan gunungan harta itu.

Kalau tiap-tiap platform digital menyisihkan Rp100 miliar saja untuk biaya lobi dan entertainment (berarti total Rp800 miliar), margin tetap gemuk. Gunungan harta hanya sedikit sekali menyusut.

Mana tahan.

Manajemen Pelaksana menggelar konferensi media dan manggung di mana-mana. Berita terbaru bisa disimak: begini cara menjadi mitra Kartu Prakerja seperti Ruangguru.

Dipikirnya protes masyarakat sebatas iri karena tak kebagian proyek. Dipikirnya masyarakat anti-asing karena platform digital yang dilibatkan adalah yang ‘besar’ dan valuasinya jumbo.

Dipikirnya orang-orang seperti saya adalah titipan perusahaan edutech lain yang tak kebagian undangan pesta dansa.

Kita skip anggapan receh semacam itu. Dalam mimpi pun tak pernah kita berpikir begitu.

Manusia adalah makhluk yang berpikir. Punya hati nurani. Tak sekadar Homo Proyeknicus. Baca: hamba proyek!

Mari kita kembali menyimak argumen mereka. Kita adalah kelompok orang bernalar sehat yang memandang sesuatu dari substansinya. Bukan menjelek-jelekkan pribadi orang per orang.

PMO minta masyarakat membedakan 3 jenis kemitraan dalam Prakerja: mitra lembaga pelatihan, mitra platform digital, mitra penyalur pembayaran (bank dan e-wallet). Khusus mitra platform digital, dibilang begini:

“Tolong bedakan peran platform digital sebagai PENYEDIA PASAR, dan peran lembaga pelatihan sebagai penyedia pelatihan.”

Istilah baru, saudara-saudara: Penyedia Pasar!

Kelihatannya hasil diskusi intensif dengan konsultan komunikasi untuk menelurkan istilah, yang jika tidak kita cermati, berpotensi memanipulasi opini publik.

Jenis pasar apa yang disediakan?

Pembeli disiapkan negara sebanyak 5,6 juta peserta. Duit disediakan negara Rp5,6 triliun. Dasar hukum disiapkan oleh negara.

Lalu dibeberkan syarat dan proses ‘evaluasi dan seleksi’ platform digital itu. Mulai dari berskala nasional, memiliki dukungan IT, berbadan hukum, memiliki NPWP…

Berkali-kali saya bilang, tak ada itu istilah ‘evaluasi” dan “seleksi” dalam Peraturan Presiden, Peraturan Menko Perekonomian, dan Peraturan Menkeu.

Yang ada: kurasi!

Sudah terang. Dalam bahasa pemain tender, semua ini namanya adalah “dikunci”.

Dana negara memang tak diberikan langsung kepada platform digital. Tapi peserta HARUS membeli lewat platform digital. Sudah jelas Perpres 36/2020 berkata begitu.

Memang ada mitra lembaga pelatihan, tapi Perjanjian Kerja Sama (PKS) terjadi antara PMO dan platform digital.

Memang ada transaksi virtual pembelian video lewat kebebasan memilih dari tiap peserta, tapi dana negara dipindahbukukan dari rekening Dana Prakerja di bank umum langsung ke rekening platform digital.

Aturannya begitu.

Narasi semacam itu justru membuka koreng baru proyek prakerja. Bagaimana bisa, proyek berbiaya negara Rp5,6 triliun, tidak mensyaratkan audit keuangan dan kepatuhan pajak bagi mitranya?

Orang/badan yang ingin mengambil kredit perbankan saja, syaratnya berderet. Termasuk syarat laporan keuangan 2 tahun terakhir (badan usaha), slip gaji 6 bulan terakhir, dan pembayaran pajak (jika menjaminkan properti misalnya).

Ada Legal Due Diligence.

Katanya mau Good Corporate Governance.

Ini tidak ada.

Adakah yang pernah mendengar kabar-berita pemerintah/PMO menerapkan syarat ketat semacam itu? Menggandeng BPKP/BPK/OJK/Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk mengecek dan/atau mengaudit keuangan dan pajak mereka?

Ya, laporan keuangan dan pajak dari badan swasta (bukan BUMN, bukan kementerian, bukan perusahaan publik/Tbk) yang menjadi mitra platform digital/mitra pembayaran ini:

– PT Ruang Raya Indonesia (Ruangguru);
– PT Avodah Royal Mulia (Maubelajarapa);
– PT Tokopedia (Tokopedia);
– PT Bukalapak.com (Bukalapak);
– PT Dompet Anak Bangsa/PT Dompet Karya Anak Bangsa (Gopay)/PT Aplikasi Karya Anak Bangsa (Gojek);
– PT Haruka Evolusi Digital Utama (Pintaria);
– PT Sekolah Integrasi Digital (Sekolahmu).

Dua lainnya adalah BUMN yang juga perusahaan publik yakni PT Telkom, Tbk (Pijar Mahir) dan Kemenaker (Sisnaker).

Selama ini, kita hanya membaca berita tentang betapa hebatnya mereka. Blocking di televisi nasional. Promosi di mana-mana. Valuasi bertriliun-triliun.

Mana laporan keuangannya?

Mana pajaknya?

Saya kutip dari Owler:

- Ruangguru revenue US$1,5 juta/tahun, karyawan 4.000 orang
- HarukaEdu US$1,2 juta/tahun, karyawan 98 orang
- Gojek US$1 miliar/tahun, karyawan 3.000
- Tokopedia US$15 juta, karyawan 3.500
- Bukalapak US$8,3 juta, karyawan 2.250.

Soal berita valuasi, lebih bombastis lagi.

Gojek dapat pendanaan US$4,5 miliar (9 putaran). Tokopedia US$2,4 miliar (9 putaran). Bukalapak US$50 juta (8 putaran). HarukaEdu US$2,2 juta. Ruangguru US$150,1 juta (8 putaran).

Perusahaan cangkang dibentuk selain untuk memudahkan perubahan komposisi saham ketika aksi korporasi, juga untuk “mengakali” kewajiban perpajakan.

Ada berbagai jenis kewajiban pajak orang/badan yang bisa tetap diterapkan, jika pemerintah betul berniat mengejarnya. Apalagi, konon, Indonesia tengah defisit pajak.

Pajak penghasilan dari transaksi saham, penjualan/pengalihan saham, penyertaan modal ventura.

Belum lagi pajak penghasilan orang dan badan para pengurus dan investornya di Indonesia.

Dari mana dana itu berasal? Apakah bisa yakin bahwa dana itu bebas pencucian uang dan bebas dari tindak pidana lainnya? Apa buktinya?

Sudahkah PPATK menelusuri transaksinya?

Bisakah pemerintah menjelaskan kepada publik soal itu semua?

Nama perusahaan boleh asing, tapi kalau dirunut, orang-orangnya banyak berkeliaran dan berlindung di balik grup-grup usaha di Indonesia.

Contoh East Ventures yang meraih pendanaan US$75 juta pada 21 Agustus 2019 melalui Fund IV. Investor di balik itu selain Xin Wang (CEO Meituan.com), Eduardo Saverin (pendiri Facebook), dan Temasek Holdings (Singapura), juga terdapat Emtek Group yang merupakan perusahaan terbuka di BEI (EMTK).

Begitu juga investor Tokopedia. Selain Alibaba, Softbank, Cyberagent, juga ada PT Indonusa Dwitama yang berkedudukan di Jakarta.

Pun Ruangguru. Selain General Atlantic, East Ventures, UOB Venture, GGV Capital yang perusahaan asing, terdapat juga Venturra Capital yang berkedudukan di Jakarta dan dipimpin oleh CEO Lippo Group.

Gojek juga sama. Investornya selain perusahaan yang berbadan hukum luar negeri seperti Rakuten Capital, Sequoia Capital, Northstar Group, Farallon Capital, Google, Temasek Holding, Tencent, dan Mitsubishi Motors, terdapat juga PT Astra International Tbk yang berbadan hukum Indonesia.

Jadi, jangan anggap remeh kritik dan protes masyarakat soal Rp5,6 triliun itu.

Semakin melek masyarakat, semakin mudah terbaca segala pola permainan.

Bagaimana Pak Jokowi?

Apakah suara di frekuensi kami ini masih terdengar?

Salam 5,6 Triliun.

Penulis: Agustinus Edy Kristianto

‘Kegigihan’ pemerintah dan Manajemen Pelaksana (PMO) Kartu Prakerja harus diakui lumayan juga. Dalam posisi skak-mat...

Dikirim oleh Agustinus Edy Kristianto pada Senin, 27 April 2020
Baca juga :