Pengguna Ponsel di China Berkurang 21 Juta, Tewas oleh Corona?


[PORTAL-ISLAM.ID]  Sebuah laporan surat kabar The Epoch Timesmengungkap bahwa pengguna ponsel di China berkurang hingga 21 juta orang selama beberapa bulan terakhir. Laporan itu mencurigai bahwa angka itu menjadi indikasi bahwa jumlah kematian akibat virus corona COVID-19 di negara itu jauh lebih tinggi dari yang dilaporkan.

The Epoch Times merupakan media yang menentang Partai Komunis China. Angka penurunan jumlah pengguna ponsel itu berasal dari Kementerian Industri dan Teknologi Informasi (MIIT) China di setiap provinsi dari Februari hingga 19 Maret 2020. Jumlah pengguna ponsel berkurang dari 1,601 miliar menjadi 1,58 miliar atau turun 21 juta.

“Rezim China mengharuskan semua orang China untuk menggunakan ponsel mereka guna menghasilkan kode kesehatan. Hanya dengan kode kesehatan hijau orang China diizinkan pindah di China sekarang. Tidak mungkin bagi seseorang untuk meng-cancel ponselnya," kata Tang Jingyuan, seorang komentator urusan China yang berbasis di Amerika Serikat, kepada The Epoch Times pada 21 Maret.

Menurut The Epoch Times, pemerintah China pertama kali meluncurkan kode kesehatan berbasis ponsel pada 10 Maret. Semua orang di negara itu diharuskan memasang aplikasi ponsel dan mendaftarkan informasi kesehatan pribadi mereka. Kemudian aplikasi menghasilkan kode QR, yang muncul dalam tiga warna untuk mengklasifikasikan tingkat kesehatan pengguna. Merah berarti orang itu memiliki penyakit menular, kuning berarti orang itu mungkin punya penyakit menular, dan hijau berarti orang itu tidak memiliki penyakit menular.

Pemerintah China telah mengatakan bahwa kode kesehatan dimaksudkan untuk mencegah penyebaran virus corona baru.

Menurut laporan surat kabar tersebut, pertanyaan besarnya adalah apakah penurunan dramatis pada akun pengguna ponsel mencerminkan penutupan akun mereka yang telah meninggal karena virus corona atau bukan.

"Saat ini, kami tidak tahu detail data. Jika hanya 10 persen dari akun ponsel ditutup karena para pengguna meninggal karena virus, korban jiwa akan menjadi 2 juta," kata Tang kepada The Epoch Times.

Pada 25 Maret, Direktur Administrasi Informasi dan Komunikasi Kementerian Perindustrian dan Teknologi Informasi, Han Xia, seperti dikutip China News Network, mengatakan bekurangnya akun ponsel sebagian disebabkan oleh bisnis yang ditutup pada Februari sesuai dengan kebijakan karantina pemerintah.

Xia menambahkan bahwa penurunan jumlah pengguna tersebut juga dapat dijelaskan oleh fakta bahwa sejak perusahaan telekomunikasi menutup toko fisik mereka selama lockdown nasional, di mana orang tidak dapat membuka akun baru.

Namun, The Epoch Times menyatakan; "Korban tewas yang dilaporkan di China tidak sejalan dengan apa yang dapat ditentukan tentang situasi di sana."

Media itu lantas membandingkan angka kematian akibat COVID-19 di Italia dan China.

Pada hari Senin lalu, menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), jumlah kematian di Italia berjumlah 10.781 dari 97.689 kasus yang dikonfirmasi, dan di China 3.310 kematian dari total 82.447 kasus yang dikonfirmasi.

Itu berarti tingkat kematian 11,03 persen di Italia dan 4,01 persen di China, meskipun negara Tirau Bambu memiliki populasi yang jauh lebih besar yang terpapar virus.

Laporan The Epoch Times juga mengatakan bahwa tujuh rumah duka di kota Wuhan dilaporkan mengkremasi mayat 24 jam sehari, tujuh hari seminggu pada akhir Januari, dan provinsi Hubei telah menggunakan 40 kremator keliling, masing-masing mampu membakar lima ton limbah medis dan tubuh manusia sehari, sejak 16 Februari.

"Kurangnya data, jumlah kematian sebenarnya di China adalah misteri. Bekurangnya 21 juta ponsel memberikan titik data yang menunjukkan jumlah sebenarnya (korban meninggal) mungkin jauh lebih tinggi dari angka resmi," tulis surat kabar tersebut.
Baca juga :