MENJELANG TUMBANGNYA SRIKANDI


[PORTAL-ISLAM.ID]  Di suatu negeri yang sedang lintang-pukang dihajar covid-19, menteri keuangannya --bernama Srikandi-- pusing tujuh keliling. Malah dialah pejabat negara yang mengalami stres paling berat. Kok bisa? Selama ini tak pernah rakyat menyaksikan Srikandi frustrasi. Apakah karena dia tipe orang optimis, yakin benar pada kebijakan negara yang dibuat Opung atas name Jae? Atau memang sebagai pejabat negara ia berkewajiban menjaga optimisme bangsa walaupun realitasnya bertentangan dengan apa yang dikatakan rezim? Kali ini Srikandi tak lagi mampu memperlihatkan wajah optimismenya.

Betapa tidak, krisis covid-19 telah menghantam ekonomi nasional tanpa belas kasihan. Terjadi kebangkrutan perusahaan di mana-mana, pengangguran masif, juga kemiskinan berlipat ganda. Sementara diklaim negara tak punya uang cukup. Utang juga sudah menggunung. Namun begitu, Opung tetap memerintahkan Srikandi mencari dana bagaimanapun caranya. Perintah Opung sungguh menakutkan karena tidak mudah mencari dana dalam situasi ekonomi dalam dan luar negeri yang mencekam.

Yang membuat Srikandi makin stres --kita berdoa semoga dia tidak depresi-- dana yang diminta bukan hanya untuk menangani dampak ekonomi akibat virus corona, tapi juga untuk membiayai proyek mercusuar pemindahan ibu kota negara, proyek yang tidak mendesak dengan kebutuhan dana yang mencekik leher. Apalagi dihadapkan dengan masalah covid-19 yang telah ditetapkan rezim sebagai bencana nasional non-alam dan dampak turunannya yang membuat orang panik seperti semut dikejar api.

Karena tidak ingin kehilangan jabatan, Srikandi tetap patuh pada garis kebijakan yang ditetapkan Opung. Saya mengatakan Opung, bukan Jae, karena de facto dialah the real president saat ini. Bahkan sejak rezim Jae terbentuk pada 2014. Hal ini sebenarnya disadari oleh semua orang yang memiliki kesadaran politik cukup baik. Tapi sebagian tetap gigih mendukungnya dengan raut wajah aneh, seperti wajah orang jujur yang harus berbohong. Sebagian lagi membela Jae mati-matian karena tidak mengerti kerusakan yang diproduksi Jae selama ini.

Guna memenuhi ambisi Opung, padahal dana sangat terbatas, maka sudah sejak awal opsinya adalah berutang dan memeras rakyat, yang juga hobi Srikandi. Sektor-sektor pajak terus diperluas dan dinaikkan jumlahnya. Subsidi-subsidi bagi rakyat kecil pun dihapus atau dikurangi. Kebijakan Srikandi yang pernah menyandang gelar menteri keuangan terbaik dunia dipertanyakan rakyat: sudah benarkah gelar yang diperoleh itu? Masalahnya, gelar yang demikian hebat tak sesuai dengan hasil kerjanya.

Rakyat, terutama yang berbekal kepekaan politik seadanya-- yang dulu sempat bangga pada mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia -- mulai ragu dengan segala julukan mentereng itu. Dengan pikiran yang sederhana, rakyat bersungut: mestinya kehebatan seseorang dikaitkan dengan seberapa besar dia bermanfaat bagi rakyat, bukan seberapa konsisten dia mewujudkan mazhab ekonomi neo-liberalnya. Masalahnya, mazhab itu tidak cocok untuk situasi dan struktur sosial-ekonomi negeri yang jumlah warga miskin dan rentan miskin masih lebih dari setengah jumlah penduduk. Malah kini diduga kuat yang rentan miskin telah jatuh ke kelompok miskin sejak covid-19 merebak.

Begitu cepatnya kemiskinan masif tercipta tidak semata-mata disebabkan covid-19, tapi sejak awal pengelolaan ekonomi negeri ini telah berada di tangan yang salah. Dan mestinya Srikandi merupakan salah satu pejabat yang harus memikul tanggung jawab paling besar. Tanpa persetujuan Srikandi, rezim tidak dapat bekerja. Sayangnya Srikandi menuruti apa saja yang dimaui Opung. Meskipun untuk mendukung pikiran Opung, Srikandi harus gali-tutup lobang. Sebenarnya rakyat tak berkenan Srikandi mengekor pada Opung, tapi apa yang dapat mereka lakukan untuk mencegahnya.

Srikandi sendiri memang bergantung secara mutlak pada opsi utang dan pemotongan subsidi yang mencekik rakyat banyak. Srikandi juga belepotan dengan kasus-kasus besar masa lalu seperti mega skandal Bank Century. Bahkan Srikandi di barisan depan melahirkan Perppu tentang penanganan dampak corono yang dapat menjadi pintu gerbang korupsi dan kekuasaan totaliter.

Memang menghadapi bencana nasional ini, mestinya yang resmi bertanggung jawab adalah Jae, dan yang tidak resmi adalah Opung. Tapi Srikandi mestinya mengundurkan diri kalau tuntutan-tuntutan Opung tidak sesuai dengan kapasitas ekonomi negara.

Ekonomi negara yang sehat adalah ekonomi yang seimbang antara penerimaan dan belanja. Yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir adalah lebih besar pasak daripada tiang. Sudah begitu, khayalan-khayalan rezim tentang kemajuan ekonomi ke depan, yang tidak berbasis ilmu ekonomi yang hakiki, tidak dibangunkan Srikandi. Ia malah menyokongnya, hingga terkesan ia hanyalah ekonom amatiran. Apa boleh buat Srikandi mempertaruhkan reputasinya tidak pada tempatnya.

Rakyat pun mulai mencurigai: jangan-jangan Srikandi memang bukan ekonom hebat. Tapi bagaimana mungkin? Reputasi hebat itu diakui dunia internasional. Srikandi sendiri adalah dosen ekonomi di salah satu universitas bergengsi di negeri ini. Akhirnya rakyat yakin, Srikandi menjadi bodoh karena harus mendukung mimpi, gagasan, rencana, dan strategi bodoh Opung.

Tak usah tanya di mana peran Jae dalam hal ini karena sejak dulu sekali Jae tidak punya peran apa-apa dalam hitam-putihnya negara. Opung yang mengendalikan sepenuhnya. Dan ini membuat Jae senang bukan main karena membebaskan dirinya dari memikirkan rumitnya ekonomi yang tidak mampu ia pikirkan. Maka Opung yang bukan ekonom yang bepikir ekonomi, sementara Srikandi yang adalah seorang ekonom, malah katanya ekonom jempolan, hanya bertugas merealisasikan mimpi non-ekonomis Opung. Sebegitu besarnya kemampuan Srikandi merendahkan dirinya untuk mewujudkan khayalan-khayalan kosong Opung sehingga keadaan menjadi seperti sekarang: kekacauan di mana-mana. Kekacauan dalam strategi mengatasi virus korona, dan kekacuan pula dalam menjalankan ekonomi darurat.

Perdebatan di warung kopi berkisar pada isu covid-19 dan strategi rezim menanganinya. Ada yang berpendapat seharusnya lockdown mutlak supaya efektif menghentikan penyebaran virus secara cepat. Meskipun beleid ini akan menghantam secara telak ekonomi nasional. Toh, kebijakan ini mulia dari sisi kemanusiaan dan seharusnya rezim bisa survive kalau saja rezim mau membatalkan proyek pemindahan ibu kota negara sehingga dana besar itu bisa dipakai untuk meringankan belitan ekonomi rakyat.

Yang menolak lockdown tak punya argumen logis kecuali berpendapat PSBB adalah jalan ideal menyelamatkan ekonomi negara sekaligus meminimalisir korban corona. Artinya mereka menolerir kematian warganegara bisa sampai puluhan kalau bukan ratusan ribu orang di ujung krisis ini. Dan Srikandi yang berperasaan halus itu menyetujui sikap ini. Kita pun dibuat bingung dan bertanya dalam hati: Apakah Srikandi mendukung sambil menangis ataukah dia sedang menikmati permainan konyol ini? Meskipun kebijakan itu tidak juga menolong ekonomi negara secara signifikan? Meskipun kebijakan itu mengharuskan negara menambah utang atas usul Srikandi? Meskipun utang baru menyalahi UU Keuangan Negara yang mengancam keberlangsungan negara ke depan?

Srikandi sadar ini tidak mudah, meskipun ia telah mengeluarkan beleid yang mengharuskan pempus sampai pemda menghemat belanja. Aliran belanja hanya ditujukan untuk menangani covid-19 dan membantu perusahaan. Tapi piutang baru mendapat perlawanan keras dari ekonom senior dan tokoh-tokoh bangsa.

Meskipun begitu, nampaknya ia akan maju terus dengan rekayasa ekonomi yang harus dilakukan untuk menyesuaikan dengan kebijakan Opung dan hobinya. Rekayasa yang akan berakhir sia-sia dan menenggelamkan nama Srikandi untuk selamanya.

Selain membeo pada garis ekonomi yang ditetapkan Opung, Srikandi juga kerap salah dalam asumsi-asumsi ekonominya sejak awal. Misalnya, dia beranggapan pembangunan infrastruktur secara masif -- ini keinginan bukan pemikiran Jae -- akan meningkatkan produktifitas dan besaran ekonomi bangsa. Ini, menurutnya -- dikatakan sejak 2017 dan diulang pada 2019 -- akan melambungkan bangsa hingga menempatkan Indonesia di posisi kelima dunia dalam besaran ekonomi pada 2045. Luar biasa! Indonesia mengalahkan Jerman, Inggris, dan Perancis!

Realistiskah mimpi ini? Kemarin saya ragu-ragu, sekarang saya tak percaya. Terlalu indah untuk dibayangkan dan terlalu pahit untuk melihat kenyataan. Too good to be true. Pembangunan infrastruktur memang vital bagi pertumbuhan ekonomi bangsa, tapi kalau lebay sebagaimana dilakukan rezim ini, justru membawa negara pada kubangan utang yang membahayakan kedaulatan, bahkan eksistensi negara.

Asumsi salah Srikandi yang lain adalah tentang tax amnesty. Waktu itu, ia beranggapan orang-orang Indonesia bermasalah yang menyimpan uangnya di luar negeri -- menurut Srikandi jumlahnya Rp 11.000 T -- akan membawa pulang uang-uang gelap itu ke dalam negeri melalui tax amnesty. Faktanya, hasilnya jauh panggang dari api. Dana besar itu tetap saja diparkir di luar negeri. Sehingga hitung-hitungan Srikandi meleset jauh dari target.

Masalahnya, dalam berhitung itu, Srikandi tidak memasukkan mentalitas para buron ekonomi itu. Juga keberadaan duit mereka di luar negeri yang lebih menguntungkan dibanding perputarannya di dalam negeri. Alhasil, banyak faktor tidak dimasukkan dalam perhitungan itu sehingga targetnya gagal total. Sehingga Jae harus menyipir dari wartawan yang kepo tentang hasil dari kebijakan tax amnesty itu. Jae malu karena waktu itu dia menjajakan ide dari Srikandi dengan wajah optimis disertai tertawa cengengesan.

Tentu saja tidak semua yang dilakukan Srikandi salah. Ada juga yang baik. Tapi orang ingin melihat Srikandi yang “konon hebat” dapat menangani krisis keuangan negara saat ini karena orang hebat hanya dilihat dari kemampuannya menangani krisis. Dan saya belum melihat kemampuan itu pada saat ini. Srikandi tidak berani tampil di depan dalam rangka penyelamatan negara dengan mengenyampingkan semua kebijakan Opung dan ambisi neoliberalnya. Bagi saya, dan mungkin banyak orang lain yang masih menyisakan akal sehatnya, Srikandi berada dalam satu tarikan nafas dengan ambisi Opung mewakili Jae.

Negara sedang mengalami masalah besar, jauh lebih besar dari kapasitas Opung maupun Srikandi untuk menanganinya. Dan rakyat sedih, jauh lebih sedih dari kesedihan jika Srikandi tumbang bersama Jae dan Opung.

Jakarta, 18 April 2020

Penulis: Smith Alhadar
(Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education)

Baca juga :