Fahri dan Budaya Berisik


Fahri dan Budaya Berisik

Kalau rakyat Indonesia ditanya soal Fahri, pasti jawabannya Fahri adalah tokoh kritis, bahkan ada yang bilang Fahri super galak dan berisik.

Iya, itu cerita-cerita di lapangan yang saya dengar langsung dari masyarakat, saya orang yang paling suka di lapangan, bukan pengamat belakang meja.

Fahri tokoh galak, kritis dan sangat berisik. Inilah yang melekat pada "branding" seorang Fahri Hamzah.

Rakyat masih banyak yang gak paham, bahwa posisi Fahri waktu itu memang posisi "wajib berisik". Kalau gak berisik maka jangan berada di posisi Fahri waktu sebagai anggota DPR.

Fahri bukan hanya berisik, tapi dia menghidupkan budaya saling berisik. Jadi Fahri selalu siap berisik dan siap juga diberisikin balik.

Fahri model legislator yang paham Tupoksinya, dia bukan tipikal legislator yang jaim dan super jaga citra. Fahri apa adanya.

Saat jadi pejabat, Fahri mengajarkan budaya demokratis. Demokratis itu identik dengan debat, identik dengan challange gagasan, identik juga dengan berisik.

Budaya demokratis itu budaya saling check and balance, bukan pencitraan sebelah pihak. Bukan kamera sebelah pihak without reverse.

Fahri mengajarkan agar pejabat harus siap dikritisi, siap dibongkar, siap dikuliti. Bukan siap dipuji puji dan di sanjung puji setiap saat.

Fahri 15 tahun di Senayan mengajarkan agar menghidupkan budaya demokratis, kritis, menolak feodalisme dan menolak perintah satu arah.

Ini yang justru banyak tidak dipahami oleh pejabat Indonesia hari ini, mereka menuntut taat tsiqoh secara total, menuntut pujian, sanjungan, karpet merah, dan kalungan bunga.

Mereka selalu menuntut tepuk tangan dan pujian, mereka gak sadar, bahwa era millenial sekarang adalah era kritis dan era sangat terbuka.

Pejabat sekarang baper baper, sedikit sedikit marah. Gak suka dikritisi, gak suka diajak diskusi, maunya taat total. Itu budaya apa?

Dikritik marah, pecat, lapor, kriminalisasi, takut debat, takut diajak dialog, takut di challange gagasannya. Itu budaya apa?

Fahri walaupun beda generasi dengan millenial, dia masih mampu mewakili millenial dalam berdemokrasi. Fahri selalu terdepan dalam menghidupkan kebebasan berpikir.

Fahri paham, bahwa era sekarang bukan era asal bapak senang, Karena itulah Fahri dulu ikut menumbangkan rezim totaliter yang mengekang kebebasan berbicara.

Coba anda lihat di AS kemarin, saat ketua DPR AS merobek naskah pidato presiden AS di depan sidang. Karena gak ada yang lebih di ruang sidang demokrasi walaupun dia seorang Trump, semua berhak dikoreksi.

Budaya kritis inilah sekarang yang jadi hantu bagi sebagian pejabat. Ketakutan dia kalau ada intelektual yang ktitis. Makanya dengan segala cara intelektual itu dibungkam, baik dengan jabatan dan uang, maupun dengan penjara dan tahanan.

Kita hidup di era serba terbuka, era borderless dalam hal cashflow of information. Era dimana semua bisa di akses kasat mata.

Budaya feodalisme yang melekat di banyak kepala orang maupun melekat di institusi harus dikikis habis, karena akan menghambat perkembangan demokrasi kedepan.

Fahri yang saat ini berwadah di partai Gelora juga fahri yang dulu di DPR. Dimana mindset dia tidak ada tempat buat kedikatatoran pemikiran dan lack of narrative. Ini possitioning gagasan yang terus Fahri kembangkan.

Pejabat negara atau pejabat partai yang meminta taat total, perintah satu arah, perintah untuk jadi yes man, menghapus hak jawab, menghapus hak bicara, hak interupsi, semua itu harus dilawan. Karena sudah gak zaman.

Jadi kalau mau jadi leader, budayakan berargumen, budayakan challange gagasan, budayakan diskusi dan banyak mendengar, budayakan banyak piknik dan banyak jalan jalan.

Sering-seringlah berkumpul dengan orang orang bebas, orang orang kreatif, orang orang merdeka. Sering seringlah duduk dengan mereka mereka yang mencintai kebertumbuhan dan kemajuan.

Biar demokrasi kita tambah dewasa, biar hidup kita tambah bergelora.

Terus Gelorakan Semangat Indonesia!

(By Tengku Zulkifli Usman)

Baca juga :