Pemerintahan Otoriter Sri Mulyani


[PORTAL-ISLAM.ID]  Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam sebuah wawancara di bulan Juli 2019 mengatakan bahwa meningkatkan investasi asing dalam pemerintahan demokrasi jauh lebih sulit ketimbang dalam pemerintahan otoriter dan sentralistis. Lebih jauh Sri Mulyani mengajukan bukti Orde Baru dan Cina, dua pemerintahan otoriter yang dianggapnya berhasil meningkatkan investasi asing.

Investasi adalah salah satu komponen pembentuk pendapatan nasional (PDB), selain konsumsi, pengeluaran pemerintah dan ekspor netto. Meningkatkan investasi berdampak kepada peningkatan pendapatan nasional, alias peningkatan kemakmuran. Mengikut jalan pemikirian Sri Mulyani, betulkah suatu pemerintahan otoriter lebih berpeluang dalam meningkatkan investasi ?

Banyak ahli (ekonomi maupun politik) akan mengakui bahwa hubungan politik dan kemakmuran itu kuat dan signifikan. Tetapi cara bagaimana politik mempengaruhi ekonomi bukanlah seperti dibayangkan oleh Sri Mulyani, yaitu bila pemerintah dibiarkan memusatkan kekuasaan dan menjalankan kekuasaan itu secara semau sendiri, maka kemakmuran akan datang.

Kalau cara berpikir Sri Mulyani dibenarkan, kita semestinya melihat Korea Utara jauh lebih makmur ketimbang Korea Selatan. Demikian juga dengan Jerman Timur terhadap Jerman Barat. Dan kita tidak bakal menyaksikan Blok Timur pimpinan Uni Sovyet bubar berkeping-keping. Sementara Eropa Barat dan Amerika Serikat akan menjadi wilayah termiskin di dunia.

Dalam kenyataan justru berlaku sebaliknya, negara-negara demokratis adalah negara-negara paling makmur di dunia sekarang ini. Tetapi kembali ke pertanyaan awal, bagaimana politik bisa menjadi alat memakmurkan bangsa?

Sumber kemakmuran: Institusi atau Otoritarianisme?

Politik adalah salah satu aspek dari kehidupan masyarakat. Politik lahir dari kebutuhan akan organisasi. Ketika jumlah orang sudah semakin besar ada kebutuhan pembagian kerja (division of labor) supaya kerja lebih efektif. Organisasi itu membutuhkan pemimpin. Hubungan antara pemimpin dan bawahannya disebut hubungan politik atau hubungan kekuasaan.

Hubungan antara pemimpin dengan rakyatnya disebut legitimasi. Seorang pemimpin yang tidak legitim rentan penentangan bahkan bisa digulingkan. Sebaliknya pemimpin yang legitim akan memperoleh penghormatan dan keputusan-keputusannya akan dipatuhi.

Menurut Francis Fukuyama (The Origin of Political Order, 2011) sumber legitimasi pertama adalah kekuatan. Pemimpin suatu puak akan bangkit dan memaksa puak-puak lain mengakui kepemimpinannya. Pemimpin itu mendirikan suatu negara. Pada sekitar tahun 1000 SM di Cina terbentuk 23 kerajaan. Selama ratusan tahun ke-23 kerajaan itu bertempur untuk menjadi penguasa tunggal di seluruh Cina. Tahun 221 SM negara Cin berhasil mengungguli negara lainnya, dan mengangkat Shin Huangdi sebagai kaisar pertama.

Setelah era warring states berakhir Cina damai dan kemakmuran menyesap ke seluruh Cina. Shing huangdi adalah penguasa otoriter, ia bisa membunuh puluhan ribuan orang tanpa berkedip. Apakah hal itu yang memakmurkan Cina? Di jaman sebelum maupun sesudah Shin Huangdi semua raja adalah otoriter, maka pasti bukan itu sebab kemakmuran Cina. Para ahli mencatat bahwa kemajuan ekonomi tercapai setelah Kaisar Shin Huangdi melancarkan reformasi yang sangat intensif. Sistem pemerintahan berubah dari konfusianisme yang berbasis keluarga menjadi legalisme yang berbasis prestasi (meritokrasi). Pejabat-pejabat negara dipilih melalui proses ujian yang berat, bukan lagi karena faktor keturunan. Aksara distandarisasi dan hanya satu bahasa dipergunakan di seluruh negeri. Shin Huangdi membangun jalan-jalan sampai ke pelosok. Tetapi apa yang benar-benar berperan besar membikin perekonomian maju pesat adalah inovasinya menstandarisasi timbangan dan mata-uang.

Shin Huangdi hanya berkuasa 15 tahun ketika maut menjemput. Dalam waktu yang singkat itu ia meninggalkan Cina dalam social trust yang kuat. Cina sekarang memiliki birokrasi yang besar namun profesional dan efektif. Untuk pertama kalinya Cina merasa bersatu, memiliki kepercayaan diri yang kuat, dan yakin mampu membangun dirinya sendiri dan melawan negara-negara asing di sekitar. Rakyat merasa aman tidak takut meninggalkan rumah, tidak khawatir ditipu dalam perdagangan, orang kecil tidak khawatir dianiaya orang kuat.

Shin Huangdi meninggalkan warisan hebat untuk rakyat Cina, yaitu sistem yang menjadikan bangsa Cina sangat liat, mampu mengatasi berbagai kendala dan beradaptasi dengan perubahan-perubahan di lingkungan strategisnya. Cina pernah dijajah oleh bangsa Mongol selama hampir 100 tahun dan Mancu lebih 250 tahun, namun kedua penjajah itu tidak bisa berbuat lain kecuali menjalankan sistem yang diwariskan oleh Shin Huangdi.

Yual Noah Hariri (Sapiens 2015) menyaksikan hal yang sama di Sumeria lima milenial lalu. Menurutnya adalah penerapan hukum (Hammurabi Code), dan pengaturan penggunaan uang dan tulisan di seluruh negeri yang menjadikan bangsa Sumeria makmur jauh melebihi bangsa-bangsa lain di Mesopotamia. Sumber kemakmuran itu adalah institusi atau aturan-aturan yang membentuk sistem ke dalam satu kesatuan. Hammurabi dan Shin Huangdi berketetapan untuk menegakkan aturan-aturan itu agar dijalankan di seluruh negeri.

Sumber kemakmuran itu bukanlah otoritarianisme. Penguasa berperan penting tetapi bukan karena kekejaman atau kesewenang-wenangan. Peran utama penguasa adalah memberikan keadilan (penegakan hukum) dan melakukan inovasi institusional yang memudahkan pergerakan ekonomi.

Sejarah kemudian membuktikan penguasa otoriter semakin sulit mempertahankan kemakmuran. Kepentingan-kepentingan pribadi menyusup di dalam kekuasaan otoriter untuk secara sewenang-wenang mengakuisisi aset-aset publik. Rejim otoritarian lambat tapi pasti menjadi korup. Pada saat itulah demokrasi meuncul sebagai solusi sistemik, 400 tahun lalu. Sungguh sebuah tragedi bila penemuan demokrasi Indonesia 75 tahun lalu ternyata sekarang berakhir menjadi negara sewenang-wenang lagi.

Penulis: Radhar Tribaskoro

Baca juga :