[PORTAL-ISLAM.ID] Evo Morales, Presiden Bolivia, petahana pada pemilihan umum presiden, pilpres, yang hasilnya diumumkan pada tanggal Oktober 2019 lalu, meletakan jabatan pada tanggal 10 kemarin. Mengapa? Hasil pemilu itu dinilai curang. Rakyat menolak dan tentu tidak tinggal diam. Rakyat seantero Bolivia protes. Laki dan perempuan, tua dan muda turun ke jalan-jalan memprotes kecurangan itu.
Sangat eskalatif. Dari waktu ke waktu protes bergerak naik. Skalanya semakin eksplosif menuju sumbu persoalan. Tidak hanya Electoral Organ - penyelengara pemilu- Bolivia, protes melebar ke berbagai kantor pemerintahan, termasuk ke kantor televisi pemerintah, Wali Kota dan kantor kepresidenan. Seiring waktu dan eskalasinya yang terus menanjak naik, korban pun berjatuhan. Ada yang luka-luka, dan tiga orang mati.
Petahana mulai terganggu. Ia pun meluncurkan propaganda. Pemrotes segera diasosiakan dengan oposisi. Sangat tipikal, petahana mengambil dari gudang politiknya senjata “kudeta.” Opisisi dituduh merancang kudeta kepada dirinya. Rakyat mundur? Tidak. Mlitansi mereka terjaga. Mereka terus saja bergerak, mengabaikan tuduhan itu.
Curang
Pemilu itu teridentifikasi sebagai pemilu keempat untuk Evo Morales, petahana. Ini menarik. Mengapa? Pasal 168 Konstitusi mereka tegas mengatur masa jabatan presiden hanya lima tahun dan dapat dipilih sekali lagi. Ketentuan ini praktis sama dengan pasal 7 Konstitusi Indonesia. Tetapi dalam kenyataannya tahun 2016 diadakan referendum menghapus batasan itu. Mahkamah Konstitusi Bolivia pun setuju.
Mahkamah Konstitusi Bolivia menyatakan ketentuan ini “membatasi” hak Morales. Morales untung. Morales pun menggunakan fasilitas konstitusional itu. Morales pun mengikuti pilpres untuk keempat kalinya pada Oktober kemarin. Tetapi menarik, walau maju dan eksis dalam pemilu itu sebagai petahana, dalam kenyataannya pemilu itu diidetifikasi berkubang kecurangan.
Supreme Electoral Court sebagai electoral organ tertinggi penyelenggara dan penanggungjawab pemilu Bolivia, yang menurut Konstitusi berstatus sebagai organ negara bersama dengan eksekutif, legislative dan yudikatif, teridentifikasi ikut bermain di dalam kecurangan ini. Begitu hasil pemilu terlihat menjungkalkan Morales, karena perolehan suaranya tidak 50% plus satu, penghitungan suara pun segera dihentikan sementara selama 24 jam.
Teridentifikasi terjadi perbedaan pendapat di internal di organisasi penyelengara pemilu. Tanggal 21 Oktober, sehari setelah proses penghitungan suara dihentikan sementara, seorang anggotanya mengundurkan diri. Besoknya KPU mengumukan perolehan suara.
Hasilnya mencengangkan. Evo Morales keluar sebagai pemenang. Evo memperoleh suara 47,1%, dari total suara pilpres. Unggul 10% dari Carlos Mesa di urutan kedua. Sial, rakyat tidak mempercayai kemenangannya. Meluncurlah tuduhan kecurangan. Rakyat, sejak itu melakukan protes (Indian Express, 11/11/2019).
The Organization of American State (OAS) yang berbasis di Amerika turun tangan, meresponsnya. Mereka membentuk TIM penyelidik berjumlah 30 orang. Dalam penyelidikannya ditemukan kenyataan adanya manipulasi pada sistem komputer (Dwnews, 10/11/2019). Morales menyangkal hasil penyelidikan ini. Ia mengatakan tidak melakukan kecurangan. Juga tidak akan mengundurkan diri. Tetapi Carlos Mesa, penantang terkuat Morales disisi lain, menyambut pengumuman OAS (BBC News, 9/11/2019).
Laporan OAS itu di sayap lain yang sedang di jalanan, disambut antusias. Fernando Camacho, pemimpin demonstran yang berasal dari Barat Kota Santa Cruz, menyambutnya dengan antusias. Camacho menaikan eskalasi dengan menuntut Morales, presiden dari suku asli Bolivia dan mantan tentara itu, mengundurkan diri.
Tentara, Polisi dan Jaksa
Demonstran terus bertebaran dihampir seluruh sudut Bolivia. Demo terus berlangsung. Dan Bolivia memasuki babak keras sesudah itu. Limbert Guzman, seorang demonstran mati. Ia menjadi orang ketiga yang mati dalam demonstrasi ini. Kematiannya segera tersiar luas. Masa meresponsnya, dengan cara yang sama sekali tak biasa.
Patricia Arce, Wali Kota Vinto, yang teridentifikasi sebagai sekutu dekat Morales ditangkap para demonstran. Ia dituduh pembunuh oleh demonstran. Demonstran menangkapnya, mencukur rambutnya, lalu disiram dengan cat warna merah dan mengaraknya disepanjang jalan, sebelum akhirnya diselamtakan oleh Polisi (Aljazera, 8/11/2019).
Demonstrasi terus tereskalasi, dan Bolivia bergerak mendekat ke sisi politik mematikan dalam pilpres ini. Hasil penyelidikan OAS yang laporan sementaranya telah diumumkan yang secara jelas menyimpulkan terjadi kecurangan, membawa Morales kesudut yang semakin menyempit. Tetapi belum menyerah. Morales masih bisa bermain dengan sisa-sisa pengaruhnya. Morales pun segera mengumukan hasrat untuk mengulangi pemilu.
Dalam pernyataan itu juga Morales menyatakan mengganti seluruh anggota electoral organ –organ penyelenggara pemilu. Juga mengubah sistem pemilu (Associated Press, 10/11/2019). Menariknya pada hari itu juga Kantor Kejaksaan Agung Bolivia mengumumkan akan memeriksa, menyelidiki anggota electoral tribunal (Reuters, 10/11/2019).
Menit demi menit Bolivia segera menjadi menit demi menit yang berat buat Morales. Situasi terus membawa Morales memasuki babak perhitungan final dengan demonstran, karena muncul satu perkembangan luarbiasa. Perkembangan itu adalah polisi menarik diri dari penjagaan. Mereka menyatu dengan demonstran menolak kecurangan. Tegas mereka menyatakan tidak bisa membiarkan Morales menjadi diktator.
Campuran faktor-faktor itu atau bukan, yang teridentifikasi oleh Angkatan Bersenjata, tetapi segera terlihat pimpinan mereka mengambil sikap berbeda. Jendral William Kaliman, Panglima Angkatan Bersenjata Bolivia segera mengeluarkan satu pernyataan mematikan. Cukup khas mewakili perspektif fundamental tentara, Jendral ini menyatakan “setelah menganalisis situasi konflik, kami meminta Presiden mengundurkan diri, melepaskan mandat.” Ini agar perdamaian dan stabilitas dapat dipulihkan demi kebaikan Bolivia (BBC, 10/11/2019). Morales habis, Jenderal Vladimir Yuri Calderon, Kepala Kepolisian Bolivia pun setelah pernyataan Kaliman, juga meminta Morales mengundurkan diri (DWnews, 10/11/2019).
Morales pun akhirnya menemukaan akhir karirnya di hari minggu 10 November dengan pahit. Ia secara resmi dan terbuka mengumukan pengunduran diri, disertai pernyataan bahwa ia dikudeta. Tetapi cukup berkelas, dalam penyataan itu ia masih menunjukan kecintaannya pada rakyat. Morales menyatakan tidak ingin rakyatnya menderita. Sialnya Wakil Presiden, Ketua Senat dan Parlemennya juga ikut mengundurkan diri.
Praktis tidak ada lagi yang memegang jabatan presiden. Menurut konstitusi Bolivia dalam hal terjadi kevakuman jabatan presiden dan wakil prersiden, maka jabatan itu dilaksanakan sementara oleh Ketua Senat. Dalam hal Ketua Senat juga kosong, maka kekuasaan diselenggarakan oleh Ketua DPR-nya. Sayangnya semua telah berhenti.
Morales yang hebat, karena mengundurkan diri atau Jendral William Kaliman (Panglima Angkatan Bersenjata) dan Jendral Yuri (Kepala Kepolisian) yang hebat karena meminta Morales mundur atau Luis Fernando Camacho, pemimpin demonstrasi yang konsisten itu, yang hebat? Itu urusan lain yang sangat menarik. Perhatian utama artikel ini adalah bagaimana kecurangan itu terjadi, dan mengapa?
Apa yang dapat dijelaskan dari kenyataan ini? Konstitusi Bolivia berisi 411 pasal, 10 aturan peralihan dan satu ketentuan penutup. Aturan tentang hak asasi manusia tersebar dari politik, ekonomi hingga sosial budaya. Cakupan masing-masing aspek itu begitu luas. Sangat banyak dan luas cakupan materi muatannya untuk ukuran materi konstitusi.
Tetapi faktanya? Pemilu curang, kendati sudah pakai komputer untuk penghitungan. Mengapa begitu? Tidak ada jawaban konklusif. Tetapi sangat beralasan menunjuk tidak adanya kaidah non hukum - kebijaksanaan dan kerarifan - sebagai pranata alamiah dalam game ini. Padahal dalam sejumlah kasus kaidah-kaidah itulah yang dipegang politisi dan partai politik melengkapi konstitusi. Menjadi sarana non hukum dalam mempromosi kebaikan disatu sisi, dan disisi lain mencegah kehancuran.
Penulis: Margarito Kamis