HIJRAH, RADIKAL, TERORIS, BENDERA HITAM, PANCASILA, AL QUR’AN, SOEKARNO DAN NABI MUHAMMAD
Menyoal Narasi Ngawur Sukmawati
Oleh : Ahmad Sastra
Dosen Filsafat dan Peradaban
Sebenarnya sudah banyak tulisan-tulisan yang mengkritik Sukmawati karena dianggap menghina Nabi Muhammad SAW karena membandingkan dengan peran bapaknya dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia abad 20 ini. Padahal dari jarak kelahirannya, sangat jauh antara keduanya. Tak mungkin ada gerakan jihad mengusir penjajah, jika Rasulullah tidak dilahirkan ke dunia.
Tak mungkin akan lahir semangat jihad yang dipelopori oleh pangeran Diponegoro, Jenderal Sudirman, Cut Nyak Dien, Imam Bonjol, dan KH Hasyim Asy’ari dalam melawan negara-negara penjajah seperti Portugis, Belanda dan Jepang, jika tidak ada inspirasi dari Rasulullah SAW.
Karena kelancangan mulutnya, akhirnya justru peran bapaknya dipertanyakan oleh masyarakat dalam pencapaian kemerdekaan negeri ini. Berbagai data atas peran dan sepak terjang Soekarno beredar luas di sosial media. Fenomena ini adalah bentuk kemarahan kaum muslimin, saat Nabi Muhammad dilecehkan. Umat Islam sebenarnya telah menjaga nama baik Seokarno, tapi karen ulah anaknya, kini nama bapaknya tercoreng.
Jika Sukmawati ingin menceritakan peran bapaknya dalam kemerdekaan, maka ceritakan saja apa adanya, toh sejarah juga sudah banyak menuliskannya. Namun jangan pernah menyinggung dan membandingkan dengan Nabi Muhammad, karena selain SARA, maka sama sekali tak bisa dibandingkan antara keduanya. Membandingkan Nabi Muhammad dengan Soekarno, berarti sebuah pelecehan, jika tidak hendak dikatakan sebagai bentuk penistaan.
Michael H. Hart, seorang cendekiawan Barat dalam bukunya Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh Dalam Sejarah, bahkan menempatkan Rasulullah sebagai urutan pertama tokoh dunia paling agung dan berhasil dalam menegakkan peradaban kemanusiaan. Menurutnya, Muhammad adalah satu-satunya orang yang berhasil meraih kesuksesan luar biasa dalam hal dunia maupun agama. Dia sukses memimpin masyarakat yang awalnya terbelakang dan terpecah belah menjadi bangsa maju yang bahkan sanggup mengalahkan pasukan Romawi di medan pertempuran.
Bagaimana seorang anak bisa membandingkan kemuliaan Rasulullah dengan bapaknya, sementara bapaknya sendiri adalah salah satu pengagum kepemimpinan Rasulullah. Mestinya yang diungkap, jika benar Sukmawati cinta Nabi (sebagaimana pengakuannya), adalah bahwa Rasulullah adalah sumber inspirasi bagi kemerdekaan negeri ini dari belenggu penjajah, salah satunya adalah Soekarno yang sangat mengagumi sosok Nabi Muhammad.
Rasulullah adalah pribadi mulia yang mestinya menjadi inspirasi bagi kehidupan kita hari ini dan masa mendatang. Jadilah pribadi positif, seperti Rasulullah yang mulia. Perbanyak membaca kisah-kisah beliau. Mulailah dari yang paling sederhana. Nikmati setiap tahap perubahan. Hadapi setiap tantangan. Jikapun kita tidak bisa persis seperti Rasulullah dan pasti tidak bisa, setidaknya kita berusaha sekuat tenaga, semoga kelak kita diakui oleh Rasulullah sebagai umatnya. Jangan malah merendahkan merendahkan beliau.
Namun, selain terkait dengan kontroversi Sukmawati yang kedua kali ini (sebelumnya terkait dengan konde, kidung, jilbab dan suara azan), Sukmawati juga mencoba membangun narasi ngawur yang disampaikan dalam acara seminar tentang Nasionalisme dalam rangka menangkal radikalisme dan terorisme itu. Lebih ngawur lagi, karena narasi yang dibangun berdasarkan informasi “katanya, katanya”.
Sukmawati menyinggung istilah hijrah namun dikaitkan dengan radikal dan teroris. Padahal hijrah secara etimologis adalah perubahan seseorang dari satu kondisi kepada kondisi yang lebih baik. Hijrah pada dasarnya adalah sebuah kebaikan, dimana seseorang ingin menjadi pribadi yang lebih baik yang sebelumnya kurang baik atau tidak baik. Jika ada ahli maksiat, lantas bertobat dan menjadi muslim yang taat, itulah hijrah dalam arti bahasa.
Secara terminologis, hijrah adalah peristiwa berpindahnya Rasulullah dari Mekkah ke Madinah atas perintah Allah dalam rangka menegakkan peradaban Islam. Hijrah Nabi Muhammad SAW dari Mekah ke Madinah menjadi peristiwa besar bagi umat Islam. Kisah itu punya makna mendalam bagi muslimin dunia. Peristiwa itu kemudian menjadi awal tahun kalender Islam dan diperingati hingga sekarang.
Mengkaitkan istilah hijrah dengan radikalisme dan terorisme adalah tuduhan tendensius Sukmawati kepada umat Islam. Sebab istilah hijrah hanya ada dalam terminilogi Islam. Sementara istilah radikalisme dan terorisme adalah istilah yang diambil dari terminologi Barat. Mengkaitkan keduanya adalah narasi ngawur yang tidak punya dasar sama sekali. Jika Sukmawati benar seorang muslimah dan cinta Nabi, maka tidak akan mengkin mengkaitkan hijrah dengan radikalisme. Apalagi jika ia dapat dari sumber informasi yang tidak jelas.
Lebih ngawur lagi, saat Sukmawati menyinggung soal Al Qur’an dan Pancasila, padahal kedua adalah dua hal yang berbeda seperti langit dan bumi. Al Qur’an adalah kitab suci panduan hidup seluruh muslim seluruh dunia, sementara Pancasila adalah nilai-nilai filosofis hasil kesepakatan bangsa ini, meski istilah-istilahnya banyak yang diambil dari terminologi Islam seperti : adil, rakyat, musyawarah, beradab, dan hikmah.
Membandingkan Nabi Muhammad dengan Soekarno adalah perbandingan yang sama sekali tidak pantas, begitupun membandingkan Al Qur’an dengan Pancasila. Bahkan keduanya sama sekali bukan bandingannya, bagaimana membandingkan yang suci dan yang tidak suci dan yang mulia dengan yang tidak mulia. Mestinya membandingkan dengan sesuatu yang sejajar, jangan yang tidak sebanding sama sekali. Apalagi jika Soekarno dianggap lebih berjasa atas kemerdekaan Indonesia dibanding Nabi Muhammad, itu penghinaan namanya.
Begitupun dengan bendera hitam bertuliskan kalimat Tauhid, maka Sukmawati justru harus belajar sejarah lagi. Sebab sebelum ada bendera merah putih, justru bendera Tauhid inilah yang telah menjadi energi perjuangan para ulama dan santri dalam melawan pendudukan penjajah yang sudah ada sejak 450 tahun yang lalu sejak Portugis datang. Pada saat itu bahkan Soekarno pun belum lahir, apalagi Sukmawati.
Sebagai salah satu bukti adalah apa yang diungkapkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X dalam pembukaan Kongres Umat Islam Indonesia VI 2015 (KUII) di Yogyakarta tangga 8-11 Februari 2015 yang menyatakan bahwa pada tahun 1479, Sultan Turki mengukuhkan Raden patah sebagai Khalifatullah Ing Tanah Jawa.
Sri Sultan melanjutkan bahwa Raden Fatah merupakan perwakilan kekhalifahan Islam Turki untuk Tanah Jawa dengan menyerahkan bendera Laa ilaaha illa Allah berwarna ungu kehitaman terbuat dari kain kiswah Ka’bah dan bendera bertuliskan Muhammadurrasulullah berwarna hijau. Duplikatnya tersimpan di Keraton Yogyakarta sebagai pusaka, penanda keabsahan Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat wakil Kekhalifahan Turki.
Jadi betapa ngawurnya Sukmawati dalam membangun narasi tentang hijrah, radikalisme, terorisme, Pancasila, bendera tauhid, Al Qur’an, Soekarno, kemerdekaan dan Nabi Muhammad. Relasi diantara kesemua aspek itu sebenarnya bisa dianalisa secara obyektif, jika benar-benar mencintai nabi dan belajar sejarah dari sumber yang benar. Bukan malah mempertentangkan dan membandingkan dengan cara melakukan stigma negatif atas ajaran Islam. Selain tentensius karena menyinggung SARA, Sukmawati juga telah menghina Islam dan layak dihukum karena melanggar konstitusi negeri ini.
Itupun jika negeri ini berlaku adil atas seluruh rakyatnya, berbeda jika negeri ini tak lagi berlaku adil dan anti terhadap Islam. Alih-alih Sukmawati dipenjara karena telah melecehkan Islam, bisa jadi yang terjadi malah sebaliknya, yang menyebarkan video biasanya malah yang diburu dan ditangkap. Kasus Sukmawati adalah ujian bagi penegak hukum yang baru dilantik, harus adil kepada siapapun yang bersalah, jangan cuma bisa memusuhi Islam dan kaum muslimin saja.
Tulisan ini saya buat, sebagai tanda cinta saya kepada Rasulullah. Tulisan ini adalah bentuk pembelaan saya atas Nabi Muhammad SAW. Sebab kelak, saya akan ditanya di pengadilan Allah, sejauh mana cinta saya kepada Rasulullah saat beliau dihina. Sementara saya tidak bisa berbuat apa-apa, apalagi menghukum Sukmawati. Sebab saya hanyalah rakyat jelata, berbeda jika negara ini menarapkan hukum Islam, maka siapapun yang menghina Rasulullah, maka akan dihukum berat.
Semoga tulisan ini sampai kepada Sukmawati dan juga penegak hukum di negeri ini. Semoga Sukmawati segera bertobat dan meminta maaf kepada seluruh kaum muslimin di dunia. Semoga penegak hukum segera bisa memproses hukum atas pelecehan agama yang dilakukan oleh Sukmawati. Jika hal ini dibiarkan, maka berbagai pelecehan yang lebih parah akan terus terjadi. Tunjukkan bahwa negara ini berdasarkan hukum, tunjukkan !.
(Ahmad Sastra, KotaHujan, 19/11/19 : 10.05 WIB)