[PORTAL-ISLAM.ID] Pakar hukum dari Universitas Trisakti, Abdul Ficar Hadjar, punya penilaian terhadap para menteri dalam tim hukum yang membantu Jokowi di Kabinet Kerja. Mereka adalah Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Wiranto; Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, dan; Jaksa Agung, HM Prasetyo.
Menurut Ficar, ketiga tokoh tersebut tidak punya terobosan apa pun selama duduk di Kabinet Kerja. “Ketiga tokoh ini justru menjadi salah satu faktor penyebab mundurnya demokrasi Indonesia dibandingkan dengan sejak reformasi digulirkan 20 tahun lalu,” kata dia kepada Indonesiainside.id, pekan lalu.
Khusus tentang Wiranto, Ficar menilai mantan panglima ABRI itu kerap menggunakan instrumen hukum makar untuk merespons hak dan kebebasan masyarakat mengeluarkan pendapat maupun pikiran. “Demikian juga alasan mencari-cari siapa penunggangnya (aksi massa); demikian juga tindakan represif aparat dalam menangani demo sehingga memicu anarkisme,” ujarnya.
Ficar menganggap demokrasi Indonesia perlahan mulai berjalan, tetapi menjadi terlihat mundur karena kebijakan-kebijakan yang represif dan tidak demokratis. Ia lalu memberikan nilai 4 untuk kinerja Wiranto selama memegang jabatan menko polhukam.
Pengamat politik dari Universitas Paramadina, Hendri Satrio menilai, sebenarnya ada kebijakan menonjol yang dilakukan oleh Wiranto yaitu berhasil meloloskan RUU Terorisme menjadi sebuah undang-undang pada 2018. Selain itu, Wiranto juga berhasil membentuk Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Satgas Saber Pungli).
“Satgas ini untuk mengatasi permasalahan pungutan liar yang merebak di Indonesia. Tapi, Wiranto juga punya beberapa catatan yang dipandang negatif oleh publik,” ujar Hendri.
Pandangan negatif dari publik yang dimaksud adalah masalah Papua. Hendri mengatakan, Wiranto mempunyai penanganan yang buruk terhadap kerusuhan yang terjadi di bumi cenderawasih maupun daerah-daerah lain. “Misalnya, pembatasan akses informasi (internet) dan tindakan represif dari aparat terhadap masyarakat,” tuturnya.
Dia juga menyinggung soal rencana Wiranto membentuk Tim Asistensi Hukum Kemenko Polhukam. Seperti diketahui, salah satu tugas tim itu adalah melakukan kajian terkait ucapan dan tindakan yang melanggar hukum selepas Pemilu 2019, untuk menentukan dapat tidaknya dilakukan upaya penegakan hukum.
Hendri menganggap tindakan Wiranto itu bentuk pembredelan kebebasan berpendapat, karena tim tersebut dibentuk untuk mengawasi ucapan para tokoh yang dianggap berseberangan dengan selera penguasa. Atas dasar itu, Hendri memberikan nilai 5 untuk Wiranto.
Sementara, pengamat politik dari Lingkar Madani Indonesia, Ray Rangkuti berpendapat, Wiranto harus diganti dan tidak boleh ada di kabinet periode selanjutnya. Ray pun memberikan nilai 4 untuk Wiranto atas kinerjanya selama menjadi menko.
“Kedekatan tidak lagi sesuai dengan kebutuhan zaman. (Wiranto) secara memandang, secara melihat, itu masih sama dengan dulu, tidak ada perkembangan sementara pertahanan negara masih kritis,” kata Ray.
Dengan begitu, berdasarkan penilaian tiga pakar dan pengamat di atas, nilai rata-rata rapor Menko Polahukam Wiranto adalah 4,3. (Inside)