Akui Saja, BPJS Bukti Kegagalan Pemerintah Jokowi


[PORTAL-ISLAM.ID]  Sebenarnya saya sudah bosan menulis tentang BPJS. Bagi saya, untuk ukuran negara yang kaya sumber daya alam seperti Indonesia, program BPJS (masyarakat dipaksa bergotong royong untuk mengcover masalah kesehatan mereka) adalah tanda kegagalan Pemerintah/ rezim berkuasa untuk mengelola kekayaan negaranya.

Pemerintah selalu berdalih, negara-negara lain juga mewajibkan warga negaranya ikut berpartisipasi untuk menanggung beban kesehatan sesama warga negara. Tapi biasanya mereka selalu mengambil contoh Singapura, negara yang bahkan air untuk minum saja harus impor dari Malaysia.

Sebagai sesama Negara kaya sumber daya alam, kenapa tidak mencontoh Brunai Darussalam?
Disana hak dasar warga negaranya dijamin oleh Kerajaan. Berobat dan pendidikan gratis. Bahkan bebas pajak.

Kalau alasannya karena Brunai kecil dan penduduknya sangat sedikit, maka seharusnya konsep kecil dan sedikit ini yang dipakai untuk memakmurkan Indonesia.

Ok. Kita fokus ke masalah BPJS.

Berkaca pada konsep kecil dan sedikit ala Brunai Darussalam, seharusya sistem pengelolaan BPJS dan semua yang berhubungan dengan hak dasar rakyat dibebankan kepada Pemerintah Provinsi atau kita sebut saja berbasis Otonomi Daerah.

Misalnya Aceh. Menurut saya, bagi hasil pengelolaan kekayaan Provinsi Aceh harusnya lebih dari cukup untuk bisa menjamin kesehatan dan pendidikan gratis untuk semua warga Aceh. Begitu juga dengan daerah-daerah kaya lainnya. Tentu saja, catatannya adalah : Kekayaan Alam dan pengelolaan keuangan daerah harus lebih mandiri sesuai fungsi Otonomi Daerah yang dulu kita dengung-dengungkan.

Tentu saja, kalau fungsi Otonomi Daerah diperkuat, maka yang paling dirugikan adalah Pemerintah Pusat dan pengusaha-pengusaha kelas kakap yang selama ini bermain mata dengan Pejabat-pejabat di pusat. Pengusaha-pengusaha kelas kakap itu selama ini tinggal "ngobrol" dengan menteri anu, atau anggota dewan nganu, maka 400.000 hektar hutan disulap jadi lahan kebun sawit. Tanahnya milik daerah, tapi pajak dan uangnya mengalir ke Pusat. Sadisnya lagi, si Pengusaha malah berkantor dan tinggalnya di Singapura.

Kalau kolaborasi curang dan haram antara Pejabat-pejabat Pusat dan para Pengusaha-pengusaha kelas kakap ini kita biarkan terus-menerus, sampai Bu Mega dan Pak SBY akhirnya jadian pun, bangsa ini akan tetap terpuruk. Kesejahteraan rakyat hanya isapan jempol belaka.

Dengan pengelolaan kekayaan daerah dibebankan kepada Provinsi dan sekaligus tanggung jawab untuk memakmurkan rakyat diletakkan dipundak kepala daerah masing-masing, maka pertama setiap daerah akan berusaha menjaga dan mengelola kekayaan serta potensi wilayahnya semaksimal mungkin (Rakyat juga tidak akan sembarangan lagi untuk memilih Kepala Daerahnya).

Kedua, Rakyat Indonesia juga tidak akan berlomba-lomba lagi mengadu nasib ke Jakarta kalau setiap Kepala Daerah sudah memaksimalkan potensi SDM dan SDA wilayah masing-masing.

Ketiga, akan tercipta kompetisi yang lebih sehat antar daerah untuk memakmurkan wilayah masing-masing. Tidak ada lagi daerah yang ketergantungan kepada Pemerintah Pusat. Lebih penting lagi, tidak perlu ada Kepala-kepala daerah yang harus jadi penjilat agar dana yang dikumpulkan oleh Pemerintah Pusat lebih banyak dicairkan ke wilayahnya. Sangat tidak adil, misalnya kekayaan alam Provinsi Kaltim tersedot untuk membangun Jalan Tol di Jakarta, sementara di Muara Amuntai masih banyak desa bahkan kecamatan yang listriknya cuma hidup 12 jam.

Keempat, daerah-daerah yang miskin sumber daya alamnya pasti terpacu untuk meningkatkan mutu SDA-nya. Sebut saja Singapura. Karena tidak memiliki kekayaan sumber daya alam, warganya terpaksa dan dipaksa meningkatkan mutu SDM-nya. Akhirnya negara kutu itu bisa maju dan kaya-raya.

Sebenarnya tidak masuk akal, kalau Indonesia yang lebih luas dan kaya sumber daya alamnya malah berhutang kepada Singapura.

Tapi faktanya, iya.

Jadi ada yang salah di sistem kita bernegara, tepatnya dipengelolaan kekayaan alam kita.

Yaitu : Negara ini terlalu luas untuk menyatukan apalagi menyamakan sistem pelayanan yang berhubungan dengan kesejahteraan rakyat disatukan di Pusat.

Iya, kalau Presidennya pintar dan memiliki kemampuan hebat. Kalau cuma kelas odong-odong ditambah tukang bohong, yang ada hutang negara akan semakin menumpuk, nilai mata uang semakin terpuruk dan ekonomi bangsa semakin memburuk.

Jadi menurut saya, seharusnya setiap daerah dibiarkan mengelola kekayaan wilayahnya masing-masing. Negara dalam hal ini Pemerintah Pusat harusnya hanya bertanggung jawab di biadang keamanan dan mencetak uang.

"Bang...bang, kita sedang membahas BPJS...?"

"Oh, iya. Maaf saya lupa. Hanya saja, bagaimana bisa kita memperbaiki keuangan BPJS, kalau laporan keuangan mereka memburuk tapi Menteri Keuangan malah menambah bonus buat para pejabat-pejabatnya? Ya cara satu-satunya bagi Menteri yang berotak dungu memang menaikkan iuran. Kalau rugi lagi, naikkan lagi. Masih juga rugi, naikkan lagi iurannya sampai tidak rugi. Inikan cuma rumus anak TK yang belum bisa berpikir. Cuma sayangnya sang Dirut kita gaji sampai 300 juta, aneh ya kita, ha...ha...ha..."

#TirikYaluk

By Azwar Siregar [fb]

Baca juga :