[PORTAL-ISLAM.ID] Ternyata, penyerahan mandat kepada Presiden bukan berarti mundur dari posisi pimpinan KPK. Dan pimpinan yang sudah menyatakan mundur bukan pula berarti mundur, tapi sedang cuti. Jadi, penyerahan mandat dan mundur itu sejenis reaksi apa? Petantang-petenteng, provokasi, ingin rusuh, atau apa?
Kain hitam yang menutup merek KPK di gedung KPK sudah dibuka. Dibuka secara paksa pula. Pimpinan KPK kembali berkirim surat kepada DPR agar dilibatkan dan dikirim poin-poin yang mau dibahas dalam Revisi UU KPK. Lupa, kalau mereka sudah menyerahkan mendat. Berarti, penyerahan mandat itu, betul-betul sudah batal.
Berarti, berkirim surat itu lanjutan dari manuver yang entah jilid ke berapa? Tujuannya, bukan sekadar dilibatkan, ikut membahas, tapi tetap menolak atau bahasa halusnya menunda Revisi UU KPK itu. Bukan pembuat UU, tapi merasa penting dilibatkan setelah sebelum terang-terangan menolak karena berbagai alasan.
Sementara pintu istana Presiden terus saja digedor dengan berbagai macam protes dari penentang Revisi UU KPK, terutama di kampus-kampus. Kampus-kampus yang sebelumnya tertutup dengan berbagai aksi politik praktis, kini justru diberikan karpet merah. Kampus-kampus menjadi seolah-olah pejuang rakyat.
Padahal, rakyat sudah lama menderita. Terbaru kasup asap, rencana kenaikan BPJS, kisruh di Papua, dan lain-lain, kampus-kampus seolah-olah tak peduli. Kini, merasa paling peduli pula dengan masa depan republik. Tak sekadar dosen biasa, dikabarkan guru besar pun berani ikut ambil bagian, agar pintu istana Presiden jebol oleh tuntutan mereka.
Padahal KPK itu sudah beroperasi selama 17 tahun, bukan baru setahun dua tahun. Tapi tetap saja ingin dibutuhkan sampai batas waktu yang tak ditentukan. Manuver-manuver ini belum akan berhenti, hingga tuntutan dipenuhi. Berbagai cara akan ditempuh, keras dan halus. Apakah kasus-kasus tertentu akan dijadikan manuver juga, kita lihat saja? Dan apakah pintu istana Presiden akhirnya jebol? Agaknya masih panjang permainan.
17/09/2019
Oleh: Erizal