Ketika Rakyat Duka Asap, Pejabat Pesta Suap?


[PORTAL-ISLAM.ID]  Duka asap karena karhutla sepertinya akan menjadi makanan pokok rakyat. Pasalnya karhutla ini selalu terjadi berulang setiap tahun. Namun, makanan pokok ini bukannya mengenyangkan dan membuat tentram, tapi menjadi racun yang mematikan. Beberapa hari yang lalu, tersiar kabar bayi usia 4 bulan di Sumatera Selatan meninggal akibat sesak nafas dikarenakan terkena Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) akibat fenomena kabut asap. Korban sempat dirawat sebelum akhirnya dinyatakan meninggal dunia.

Lagi-lagi masyarakat menjadi korban. Efek asap ini pun tidak hanya di lingkup lokal namun sudah merambat ke negara tetangga yakni Malaysia dan Singapura. Wajar kalau negara tetangga tersebut protes. Selain itu, sekolah harus diliburkan karena anak-anak kecil rawan terpapar. Efek asap ini pun selain sangat buruk terhadap kesehatan juga berefek kepada aspek psikologis. Ini sudah menyangkut kenyamanan menjalani kehidupan. Merugikan secara ekonomi karena masyarakat tidak bisa bekerja secara produktif. Padahal, udara bersih adalah kebutuhan mendasar yang harusnya dijamin oleh pemegang kebijakan sebagai bentuk pengurusannya kepada rakyat.

Beberapa waktu lalu,  sejumlah warga provinsi Riau menggelar aksi dengan menggunakan masker di lokasi Car Free day, sebagaimana dilansir oleh kompas.com. Mereka membentangkan spanduk dengan tulisan ‘Riau dibakar bukan terbakar’. Luas lahan yang terbakar akibat karhutla menurut catatan BNPB adalah seluas 49.266 hektar.

Menurut Peneliti Center for International Forestry Research (CIFOR) Herry Purnomo, masalah kebakaran hutan kebanyakan terjadi karena ulah manusia bukan oleh alam. Kebakaran hutan adalah kejahatan terorganisasi karena lebih dari sembilan puluh persen disebabkan manusia atau sengaja dibakar. Tujuannya membuka lahan perkebunan (vivanews.com).

Memang, pembakaran hutan biasanya dimaksudkan untuk meraih nilai komersial, misalnya dalam rangka pembukaan lahan perkebunan dan Hutan Tanaman Industri (HTI). Pembakaran ini ditempuh oleh perusahaan karena alasan efisiensi, cepat dan murah membersihkan lahan sehingga lahan siap diolah.

Pembukaan lahan yang bermasalah ini dilakukan perusahaan besar yang telah diberi izin mendirikan usaha (konsesi lahan) oleh negara bukan pada masyarakat yang luas lahannya kecil. Jaringan Kerja Penyelamatan Hutan Riau (Jikalahari) mengungkapkan bahwa menurut data satelit ada puluhan titik panas indikasi awal kebakaran hutan dan lahan di 13 area perusahaan kehutanan dan kelapa sawit di Provinsi Riau (antaranews.com).

Ironis! Di satu sisi Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sibuk memadamkan api, sementara Pemerintah masih saja sibuk memberikan kewenangan bagi para korporasi (jawapos.com). Tak sedikit fakta bahwa izin tersebut agar berjalan mulus maka harus ada “uang pemulus”. Suap pejabat untuk menjaul aset negara adalah kasus yang paling banyak ditangkap oleh KPK.

Sebagaimana pernah dijelaskan oleh wakil ketua KPK Laode M.Syarif, sumber daya alam Indonesia kerap disalahgunakan oleh segelintir orang. KPK mencatat, lebih dari 12 kasus korupsi di sektor sumber daya alam sepanjang 2004-2017. Sementara itu, ada lebih dari 24 orang pejabat yang diproses KPK karena terbukti melakukan korupsi di sektor kehutanan. Bahkan, di sepanjang 2004-2017, sudah 144 orang anggota dewan yang terlibat. Disusul 25 orang menteri atau kepala lembaga, 175 orang pejabat pemerintah, dan 184 orang pejabat swasta (nasional.tempo.com).

Ketika kita melihat kondisi ini, jelas bahwa karhutla dan duka asap yang dialami rakyat tidak bisa dihentikan hanya dengan sekedar sholat meminta hujan. Meski, kebijakan sholat meminta hujan sebenarnya sangat bagus karena ini adalah bentuk permohonan kepada Zat Penguasa Alam. Zat yang Maha segalanya. Namun, harusnya juga diikuti dengan taubat nasional, karena bencana tersebut terus terjadi karena kelalaian manusia. Karena ulah manusia! Karena keserakahan manusia, hingga menjual aset negara kepada korporasi untuk mendapat sekantong uang. Semoga sekantong uang itu tidak digunakan untuk memberi makan keluarga pejabat, karena itu uang haram. Makan dari uang haram kembalinya ke neraka.

Selain itu, harus difahami bahwa fakta untuk mencegah kebakaran hutan ini butuh kebijakan dari pemerintah. Selama ini, ketika izin diberikan kepada pengusaha dalam membuka lahan mereka selalu menggunakan konsep kapitalis. Menurut konsep ini, membersihkan atau membuka lahan dengan dibakar dinilai paling murah. Sehingga demi keuntungan, nasib masyarakat sekitar tidak pernah dipikirkan.

Pun jika ditangkap pelaku individunya ataupun perusahannya, sepertinya juga tidak membuat jera. Apalagi jika hukuman yang diberikan dinilai tidak tertegakkan sempurna lantaran ada celah yang bisa dipakai berkelit. Berulangnya kebakaran di tahun berikutnya adalah buktinya.

Hutan seharusnya dikelola oleh negara, karena ini termasuk di dalam kepemilikan umum sebagaimana UUD 1945 pasal 33. Namun nyatanya, konsep negara selama ini justru tidak tunduk kepada UUDnya sendiri. Justru kapitalismelah yang menaungi negeri ini. Konsep kapitalisme yang akhirnya memberikan jalan agar para pemilik modal (kapital) bisa mengelola sumber daya alam yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Dan negeri ini telah menjual sebagian besar aset dan sumber daya alamnya kepada swasta bahkan kepada asing. Sedang rakyat hanya menjadi buruh di negerinya bahkan menjadi korban terhadap perilaku para korporasi.

Senada dengan konsep Islam, hutan ini termasuk kepemilikan umum. Negaralah yang bertanggung jawab penuh mengelolanya, sebab hutan termasuk bagian dari kepemilikan umum yang tidak benar jika diberikan kepada individu atau perusahaan swasta sekalipun. Rasulullah bersabda: “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api (HR Abu Dawud dan Ahmad)”. Pengelolaan hutan sebagai milik umum dilakukan untuk kemaslahatan rakyat dengan tetap memperhatikan aspek kelestarian, keuntungan ekonomi, dan kesejahteraan rakyat secara seimbang.

Sudah saat ini, negeri ini melakukan taubat nasional. Taubat untuk tidak lagi mengambil pengaturan kapitalisme untuk mengatur negeri ini. Sebab jelas konsep ini telah menyakiti rakyat bahkan merusak rakyat Indonesia. Sudah saatnya negeri ini mau mengikuti aturan dari Tuhan Semesta Alam. Karena hanya dengan hal ini semua permasalahan akan bisa terselesaikan. Termasuk permasalahan karhutla.

Penulis: Ifa Mufida
Baca juga :