[PORTAL-ISLAM.ID] “Rusaknya rakyat tidak lain adalah karena kerusakan para penguasa. Dan rusaknya para penguasa ialah karena kerusakan ulama. Kalau bukanlah karena qadhi-qadhi yang jahat dan ulama yang jahat, akan sedikitlah kerusakan pada para penguasa; karena mereka takut perbuatan mereka yang salah akan ditegur.”
Buya Hamka (disampaikan saat Pekan Orientasi Ulama/Khatib Seluruh Indonesia pada 6-12 Desember 1976 di Jakarta; ucapan ini menyitir perkataan Imam al-Ghazali).
Imam al-Ghazali mengatakan, “Sesungguhnya, kerusakan rakyat disebabkan oleh kerusakan para penguasanya, dan kerusakan penguasa disebabkan oleh kerusakan ulama, dan kerusakan ulama disebabkan oleh cinta harta dan kedudukan, dan barang siapa dikuasai oleh ambisi duniawi ia tidak akan mampu mengurus rakyat kecil, apalagi penguasanya. Allah-lah tempat meminta segala persoalan.” (Ihya’ Ulumuddin II hal. 381).
Setelah membaca uraian Al-Ghazali barulah paham justru segala kerusakan itu berawal dari rusaknya ulama.
Ulama yang diam, yang hanya sibuk berzikir dan mengaji di mihrabnya. Tidak mau turun ke masyarakat untuk membetulkan mereka, tidak mau mengkritik penguasa agar kembali ke jalan yang benar. Menyampaikan ilmu di mimbar hanya untuk popularitas dan nama. Menyampaikan ilmu yang hanya sekiranya tidak membuat penguasa tersinggung. Berusaha dekat dan tidak mengusik penguasa meskipun mereka bergelimang dosa.
Andai ulama Indonesia cerewet mengritik pemerintah, cerewet membimbing pemerintah, cerewet menasehati DPR, cerewet membenarkan umat, pastilah Indonesia akan berjaya. Lepas dari berbagai macam dosa dan bencana.
Namun untuk melakukan hal itu mereka akan mengalami berbagai macam ujian, penjara sampai nyawa taruhannya. Tapi itulah perjuangan amar ma’ruf nahi munkar. Jihad yang paling besar adalah berkata yang benar di depan penguasa yang zalim.
Imam Ibnu Hajar sebuah meriwayatkan hadis Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika telah nampak fitnah agama, maka orang berilmu (alim) wajib menampakkan ilmunya” (HR. al-Hakim).