MAMPUS


MAMPUS

Berat jadi Jokowi. Seharusnya, ia menjadi pihak yang paling bahagia dengan kemenangan pemilu 2019. Tapi, kebahagiaan itu harus di ramaikan dengan permasalahan yang mulai muncul satu persatu dan langsung meminta tindakan segera.

Dulu di masa Soeharto, saya menilai Soeharto itu membendung semua masalah untuk kesejahteraan dan kebahagiaan rakyatnya. Berbagai kemudahan di berikan oleh Soeharto untuk rakyatnya. Sembako murah, jalan-jalan di buka walau tidak beraspal namun sudah menjadi penghubung daerah satu dan lainnya. Biaya sekolah murah.

Walau ada tudingan uang bermain kolusi, korupsi dan nepotisme, ia tidak melupakan apa yang diinginkan rakyatnya. Swasembada beras terjadi di era Soeharto dan mustahil bisa terulang lagi di periode setelah beliau.

Sayangnya, akibat membendung banyak masalah membuat bendungan itu akhirnya gak bisa menampung lagi bebannya. Krismon dan aksi 98 menjadi final kepemimpinan Soeharto harus berakhir. Bertubi-tubi hantaman ekonomi meluluh lantakkan sektor usaha dan Indonesia berada di titik terendah dalam sejarah ekonominya.

Di era Jokowi, pola itu di lakukan. Tetapi beda caranya dengan soeharto. Seburuk-buruknya Soeharto, masalah kebutuhan rakyat ia perhatikan benar. Indonesia menjadi raja di bidang pertanian. Di era Jokowi, sudah kesejahteraan rakyat tidak ia raih, dirinya membungkam semua masalah dengan sebuah citra kerja.

Sehebat-hebatnya ia bermain senyum pada rakyat, akhirnya saat ini mulai terkuak satu persatu masalah yang ada.

Di mulai Dengan keadaan BUMN yang awalnya Untung ternyata merugi di saat terakhir jabatan. Tamparan keras dan harusnya tau malu.

Defisit BPJS membuat pemerintah menaikkan iuran bulanan peserta. Kenaikan ini bukannya yang pertama. Sebelumnya juga sudah ada kenaikan iuran dengan alasan mengatasi defisit BPJS kesehatan yang lebih besar pasak pada tiang.

Saat itu mereka yakin, bahwa kenaikan ini akan membuat keadaan kas BPJS kesehatan akan stabil. Namun, gak bertahan lama sekarang mereka mengatakan kembali kas BPJS minus dan buruh kenaikan iuran. kembali mereka mengulang 'cara bodoh' seperti tahun lalu. Dan tidak ada jaminan bahwa defisit akan bjsa teratasi. Bisa jadi tahun esok mereka akan naikkan kembali iuran dengan alasan yang sama.

Suram cara mereka bekerja.

Saat defisit semakin membesar, justru pejabat BPJS di berikan tunjangan wah atas fasilitas yang mereka dapat. Berdarah di bidang kerja, namun bermewah-mewah di fasilitas diri. Itu gambaran BPJS dan pelaku kebijakannya.

Rakyat berteriak dan menganggap ini pemaksaan atas hak yang harusnya mereka dapatkan. Apakah pemerintah peduli?

Gak..

Mereka gak peduli, toh pemilu sudah di menangkan. Suka gak suka, mereka tetap akan jadi pemimpin negeri ini. Dan saya hanya bisa berkata MAMPUS pada mereka yang sudah berjasa menjadikan ia memimpin sekali lagi.

Satu keluarga, mempunyai 3 orang anak. Berarti ada 5 tanggungan untuk membayar premi Bpjs kesehatan setiap bulan. Jika awalnya mereka membayar 125 ribu perbulan, esok ada biaya tambahan menjadi 220 ribu/bulan. Ada kenaikan 100 ribuan perbulan. Artinya, pengeluaran mereka bertambah di kala pendapatan tetap karena perekonomian belum ada perubahan yang nyata.

Mau mengeluh? Gak ada gunanya ..

31/8/2019

(By Setiawan Budi) [fb]

Baca juga :