BANSER dan PAPUA


[PORTAL-ISLAM.ID]  Cuma mau ketawa sama caption Gus Miftah bagian bawah..

"Yang lucu itu kalau gak punya wewenang sebagai aparat, tetapi berprilaku dan berlagak seperti aparat."

Ini dia lagi ngetawain Banser atau lagi musuhan sama si Yakult?

Kehebohan masalah krisis di Papua dan menyangkut pautkan dengan nama Banser, sebenarnya hanya bahasa satire netizen atas berbagai kelakuan Banser di tanah air. Dengan slogan penjaga NKRI dan membanggakan bahwa mereka akan menjaga tanah air dari ancaman perpecahan dijadikan cermin oleh netizen dengan keadaan di Papua saat ini.

Seharusnya, jika NKRI itu mencangkupi wilayah Papua, maka mereka harus hadir di tengah masyarakat Papua sebagai ikon perdamaian yang mereka banggakan.

Menjaga NKRI gak harus berhadapan dengan OPM, tetapi memberikan nilai dan etika kecintaan pada negara melalui aksi ditengah masyarakat Papua. Jika ada aksi, maka akan ada respek pada mereka atas apa yang mereka banggakan. Dan pastinya, masyarakat Papua akan berlaku damai atas isu-isu yang berkembang di luar sana tentang tanah dan generasi mereka.

Namun apa yang terjadi?

Kemarahan warga Papua, harus disikapi bahwa mereka juga punya emosi. Teriakan Papua merdeka dari masyarakat yang demo, menandakan ada keinginan untuk melepaskan diri dari NKRI. Sampai disini, jadi bertanya: dimana peranan ansor dan Banser atas ancaman perpecahan negeri?

Bukan berharap banyak pada Banser dan Ansor. Tanpa dijelaskan oleh Gus Miftah pun, kita semua dah paham bahwa Banser itu hanyalah sekumpulan orang yang diperbantukan dalam internal NU saja. Tugas utama Banser adalah menjaga ulama. Di luar itu, adalah tugas tambahan yang gak wajib. Karena gak ada kewajiban mereka untuk turun ke medan laga berhadapan secara langsung dengan oknum pemberontak. Bisa mati konyol kalau membanggakan ilmu kanuragan ajian tumbarjahe jeng-jeng.

Netizen +62, emang dikenal dunia sebagai gudangnya masyarakat satire yang gak ada matinya.

Melihat konflik Papua, dan melihat kegagahan Banser berbaju loreng dan slogannya. Publik iseng dengan menyentil Banser atas kejadian itu. Ocehan publik jangan disikapi secara serius. Seharusnya, sindiran pada Banser bisa membuat mereka merenungkan langkah yang selama ini mereka ambil.

Kenapa Banser selalu jadi bahan cemoohan?

Kalau mempunyai hati dan rasa, saya yakin mereka bener-bener gak nyaman. Ketidaknyaman ini SALAH apabila dilawan dengan cara arogansi seperti Gus Miftah lakukan. Melawan publik, justru membuat mereka akan jadi sasaran empuk.

Dan terbukti dengan caption ucapan Gus Miftah di atas tadi.

Selama ini yang berlagak macam aparat siapa?
Selama ini yang memberlakukan hukum rimba hadang, tolak dan bubarkan siapa?
Selama ini yang mengambil peranan aparat siapa?
Selama ini yang mengangkangi hukum dengan tuduhan HTI dan Radikal siapa?

Saya melihatnya, di Banser saat ini komplit.

Ada TNI, ada polisi, ada hakim sebagai pengetuk palu jalanan. Walau bentuk mereka hanya duplikat, tetapi tugas mereka melebihi aparat. Padahal, UU ormas sudah menuliskan dengan jelas, bahwa ormas dilarang bertindak dan menjalankan tugas yang menjadi wewenang aparat hukum yang resmi.

Saya pernah menuliskan, baju loreng yang mereka pakai, harusnya diganti dengan warna yang tidak menipu masyarakat. Pakailah warna selain loreng yang sudah khas menjadi milik TNI. Jika paham arti loreng dan mengapa warna loreng yang dipilih TNI, pastinya mereka akan malu sendiri.

Karena gak cocok dengan cara kerja mereka dan arti kamuflase dari warna loreng itu.

Buat saudara Banser, maklumi netizen Indonesia ketika terus memanggil namamu untuk ke Papua. Kemungkinan mereka rindu atas aksi heroik mu yang selalu menuliskan NKRI harga mati di tengah masyarakat yang damai. Kalau damai, jangan digelorakan gegap gempita harga mati. Namun, sejukkan suasana dengan sebuah ucapan yang merangkul semua. Menjaga dan rawat NKRI tanpa ada diskriminasi tuduhan dan sebutan RADIKAL dan HTI.

Di mana meneriakkan NKRI harga mati yang tepat?

(1) Teriakkan di daerah konflik dengan ikut memberikan sumbangsih kegiatan di sana.

Sepeti TNI dan polisi, dalam jiwa mereka tetap NKRI harga mati, namun tidak mereka teriakan setiap pagi. Mereka ucapkan melalui pelaksanaan tugas yang sepenuh hati. Menjaga setiap jengkal tanah Indonesia dari ancaman yang akan merenggutnya.

(2) Teriakkan di tanah yang di kuasai asing dan tidak memberikan kesempatan anak negeri untuk mengais rezeki.

Bagi saya, walaupun berbalut baju loreng. Banser tetap sipil biasa seperti saya, seperti petani di sawah, seperti tukang cendol, seperti pemulung di tempat sampah. Sama hak dan kewajibannya dengan kita semua

Gak ada keistimewaan dan gak ada yang spesial untuk dibanggakan. Bangga apabila apa yang kau kerjakan akan membantu orang lain. Tidak membanggakan apabila aksi yang kalian lakukan justru menimbulkan perpecahan baru.

Seorang petani, berbicara arti NKRI harga mati.

"Pekerjaan mengurus sawah dan menjaga hasilnya, adalah bukti bahwa cinta NKRI sudah saya jalankan. Dengan hasil sawah ini, saya bisa memberi makan orang-orang yang menjadi generasi negeri. Nasi yang kau makan, adalah hasil dari orang-orang seperti kami."

Di situ peranan kami menjaga NKRI, dengan menyediakan pangan bagi anak negeri. Kami Pancasila, kami yang mengamalkannya pertama kali. Dan wujud itu adalah cinta NKRI.

Itu arti NKRI harga mati bagi seorang petani. Bagaimana dengan yang lain? Apakah ada arti NKRI harga mati pada diri tukang parkir, kondektur bus kota, tukang sampah, atau preman pasar sekalipun?

Walau tidak mengenakan baju loreng, arti NKRI bagi mereka sangat besar. Mereka simpan di dada dan mereka jalankan dalam kehidupan setiap hari, tanpa perlu diteriakkan pada setiap orang.

Buat Gus Miftah dan para Banser di sana..

Jangan sensi dan galau dengan cibiran netizen. Jadikan perenungan, jadikan lecutan atas segala kritik yang ada. Perubahan yang baik itu, dari yang buruk menuju yang bagus. Jangan sebaliknya.

"Lebih baik mantan Preman, dari pada mantan santri."

Dari saya, 'NKRI tetap di hati.

(By Setiawan Budi)

*Sumber: fb penulis

Baca juga :