PERTARUNGAN “MORAL” DI MAHKAMAH KONSTITUSI


PERTARUNGAN “MORAL” DI MAHKAMAH KONSTITUSI

✍Iramawati Oemar

Sejak Pilpres langsung pertama kali digelar di tahun 2004 yang diikuti oleh 5 pasangan capres dan cawapres, selalu saja ada yang menggugat ke Mahkamah Konstitusi dan sudah 3 kali pula MK menolak gugatan paslon.

Di tahun 2004 gugatan paslon Wiranto – Wahid ditolak, di tahun 2009 gugatan paslon Mega – Prabowo dan JK – Wiranto juga ditolak, terakhir tahun 2014 gugatan paslon Prabowo – Hatta pun ditolak.

Selama ini fokus gugatan hanyalah di masalah “angka” perolehan suara yang dianggap dicurangi. Selama jumlah suara yang dipersoalkan tidak signifikan untuk mengubah komposisi urutan perolehan suara, maka percuma saja meski paslon yang menggugat membawa setumpuk bukti-bukti kecurangan. Pun juga selama kecurangan yang dimaksud tidak dianggap TSM (terstruktur, sistematis dan masif), maka kecurangan itu hanya dianggap angin lalu saja, dianggap dilakukan oleh oknum.

Strategi Baru Gugatan 02

Kali ini, paslon Prabowo – Sandi menggugat hasil Pilpres, namun kali ini Tim Hukum BPN 02 tak mau terjebak pada paradigma bahwa kecurangan itu sebatas jumlah suara dan TSM saja.

Artinya, kali ini kita, seluruh rakyat Indonesia akan menguji apakah MK adalah benar-benar Mahkamah yang mengawal KONSTITUSI ataukah sebatas mahkamah yang fungsinya ibarat kalkulator saja, hanya peduli hitung-hitungan suara.

Ada yang menarik dalam acara talk show “Dua Sisi” di TV One semalam, kubu 02 diwakili oleh Miftha Sabri, politisi Gerindra, dan Ahmad Yani, pengacara yang juga mantan anggota DPR RI.
Sementara di kubu tergugat diwakili oleh Wahyu Setiawan, komisoner KPU dan dari TKN 01 sebagai pihak terkait hadir Taufik Basari, politisi Nasdem.

Menariknya, kali ini Dua Sisi menghadirkan figure independen yang duduk di tengah, yaitu Prof. Refly Harun, pakar hukum Tata Negara, yang memberikan pendapat dan argumennya dari sisi akademis dan hukum.

Topik yang dibahas adalah keberadaan Kyai Ma’ruf Amin (KMA) yang ternyata hingga Pilpres usai masih terdaftar sebagai anggota Dewan Pengawas Syariah di 2 bank syariah yang keduanya adalah anak usaha bank BUMN, yaitu BNI dan Bank Mandiri.

Pak Wahyu dari KPU mengaku KPU sudah tahu tentang keberadaan KMA di kedua bank tersebut dan berpendapat tidak ada masalah, tak ada persyaratan yang dilanggar, sebab menurut KPU, KMA adalah BUKAN pegawai BUMN dan BUKAN pula pejabat.

Nah lho, bukan karyawan dan bukan pula pejabat, jadi apa dong nama “makhluk”nya? Kan tetap harus ada status.

Kubu BPN 02 berpendapat KMA adalah PEJABAT BUMN menilik saham dari kedua bank syariah tersebut mayoritas adalah milik BUMN. Kalau karyawan memang bukan, namun posisi KMA adalah pejabat setara dengan Dewan Komisaris.

Kebetulan di kedua bank syariah itu tidak ada nomenclature “Dewan Komisaris”, yang ada “Dewan Pengawas Syariah”. Jadi kurang lebih tupoksinya sama dengan Komisaris pada perusahaan/bank BUMN.

Refly Harun memberikan pendapatnya: kalau KMA SUDAH PASTI PEJABAT, sebab siapapun yang menerima gaji dari suatu perusahaan maka dia adalah pejabat di perusahaan tersebut. Dan KMA menerima gaji untuk posisinya di Dewan Pengawas Syariah.

Nah lho, mingkem lah KPU. Kalau KMA bukan karyawan bukan pula pejabat, mau disebut apa? Masa iya disebut “relawan” sedangkan beliau menerima gaji rutin atas posisinya tersebut.

Refly juga berpesan, MK hendaknya berhati-hati sekali dalam menetapkan kasus ini, sebab jika diputuskan bahwa KMA BUKAN pejabat BUMN, artinya anak perusahaan BUMN dianggap BUKAN BUMN, maka otomatis itu akan berlaku pada semua orang yang menjadi karyawan dan pejabat (Direksi, Komisaris) di anak usaha BUMN. Konsekwensinya maka mereka boleh berpolitik (karena statusnya dianggap “SWASTA”), boleh mencalonkan diri dalam jabatan-jabatan politik tanpa harus mengajukan cuti apalagi mengundurkan diri. Dampak lainnya adalah : Kementerian BUMN tidak punya kewenangan lagi ikut campur urusan anak usaha BUMN.

Dan yang lebih “mengerikan” lagi : jika diputuskan anak usaha BUMN BUKANLAH BUMN, maka anak usaha BUMN itu tidak lagi menjadi obyek BPK, BPKP, dan KPK.

Artinya jika ada kasus penyalahgunaan keuangan perusahaan yang merugikan keuangan negara/keuangan BUMN induknya, maka KPK tidak berwenang masuk.

Nah lho! Ini kabar baik bagi yang berniat tidak baik terhadap anak usaha BUMN.

Maka, sekali lagi MK harus ekstra hati-hati dan memikirkan segala dampak ikutannya terhadap seluruh anak usaha BUMN dan para karyawan serta pejabatnya.

Sampai disini, seharusnya jika MK berpikir untuk kepentingan negara, maka gugatan tim hukum paslon Prabowo – Sandi (soal status Maruf Amin) seharusnya diterima, dan paslon Jokowi – Ma’ruf Amin layak untuk didiskualifikasi.

KPU jangan hanya berpikir untuk menyelamatkan pihaknya saja yang telah teledor meloloskan KMA yang saat itu tidak mengundurkan diri.

Taufik Basari sempat menuduh BPN 02 hanya mencari-cari kesalahan saja, kenapa tidak digugat sejak awal saja.

Sebab jika sejak awal digugat, maka sengketa ini hanyalah masalah sengketa administrasi yang menjadi ranahnya Bawaslu. Rupanya kubu TKN 01 lebih percaya diri jika harus berhadapan dengan Bawaslu.

Namun untuk soal ini pun Refly Harun memberikan jawaban yang masuk akal: diketahuinya KMA masih aktif menjabat di kedua bank BUMN Syariah tersebut oleh paslon 02 baru setelah Pilpres berakhir, sedangkan pengaduan ke Bawaslu ada masa kadaluarsanya, yaitu sekian hari dari tanggal kejadian.

Nah, jika baru diketahui setelah lewat, maka sudah tidak mungkin lagi dibawa ke Bawaslu. Oleh karena itu tim hukum BPN 02 membawanya ke MK sekaligus untuk mengujinya disana.

Bersamaan dengan diketahuinya posisi KMA yang masih aktif di kedua bank syariah tersebut, belakangan ini viral pula di medsos dan brup-grup chating, rincian posisi jabatan KMA di 9 lembaga/ perusahaan.

Walaupun yang layak dipersoalkan hanya posisinya di Bank Syariah Mandiri dan Bank BNI Syariah saja, namun informasi ini membuka mata publik: betapa berkebalikannya paslon 01 dengan 02.

Paslon 01 capres nya tidak mau cuti, Bawaslu membelanya dengan mengatakan capres petahana cuti hanya hitungan jam saja, yaitu ketika naik ke panggung kampanye. Baguslah, dengan demikian maka seluruh biaya perjalanan ke berbagai daerah lokasi kampanye, fasilitasnya, akomodasinya, semua tetap melekat sebagai presiden aktif. Ternyata, cawapresnya pun tidak cuti atau mundur dari berbagai jabatan.

Bandingkan dengan Sandiaga Uno, yang langsung mengundurkan diri dari jabatan Wagub DKI sebelum dirinya mendaftar ke KPU sebagai cawapres mendampingi Prabowo. Ya, Sandi memilih MUNDUR, TIDAK SEKEDAR CUTI.

Artinya Sandi rela bertaruh dia tidak akan bisa kembali duduk di jabatan tersebut jika kontestasi Pilpres tak dimenangkan 02.

Inilah PERTARUHAN MORAL yang ditonton dan dinilai oleh seluruh rakyat Indonesia. Ternyata, orang yang “sudah selesai” dengan hidupnya bukanlah orang yang sudah berumur dan sudah selesai menikahkan semua anaknya.

Sandi punya 3 anak, yang 2 anak perempuan keduanya masih kuliah, yang bungsu bahkan baru masuk SD, anak lelaki satu-satunya.

Tapi Sandi telah menunjukkan kepada seluruh rakyat Indonesia : dia tidak “kemaruk” jabatan. Dia rela melepas satu jabatan sebelum dia running untuk kontestasi pada jabatan yang lain.

Ini pelajaran paling berharga, sebab baru kali ini terjadi seorang CAWAPRES BERANI MUNDUR DARI JABATAN YANG SUDAH DIRAIHNYA.

Bahkan Jokowi pun tak berani mundur dari jabatan Gubernur DKI tahun 2014 ketika dia sedang di puncak popularitas dan diyakini bakal menang oleh para pengamat.

Ahok pun, sempat bersikeras tidak mau cuti ketika dia maju sebagai cagub DKI pada 2016 – 2017 lalu, meski akhirnya terpaksa cuti karena MK menolak permohonan Ahok untuk tidak cuti.

DANA KAMPANYE

Soalan lain yang digugat oleh tim hukum BPN 02 adalah adanya dana sumbangan kampanye dari paslon pribadi, yaitu dari capres petahana, yang jumlahnya lebih 3x (tiga kali) lipat dari harta kekayaannya yang resmi dilaporkan dalam LHKPN dan diumumkan oleh KPU pada 12 April 2019.

Dalam LHKPN itu, capres 01 Ir. Joko Widodo menyatakan dirinya memiliki harta kekayaan berupa kas dan setara kas (harta likuid) “hanya” sebesar 6,1 milyar rupiah.

Namun, hanya selang 13 hari kemudian KPU mengumumkan adanya sumbangan dari Ir. Joko Widodo sendiri sebesar 19,4 milyar rupiah, artinya harta kekayaannya berlipat ganda naik 13 milyar dalam 13 hari, mungkinkah?!

Ada 2 kemungkinan : LHKPN-nya yang dilaporkan dengan TIDAK JUJUR, ataukah dana kampanyenya yang memuat informasi TIDAK JUJUR.

Jika capres petahana telah mengisi LHKPN-nya dengan BENAR dan JUJUR, maka dari mana uang sebanyak 19,4 M yang disumbangkan untuk dana kampanye?! Bukankah logikanya orang menyumbang pastilah jumlahnya lebih sedikit sumbangannya dari pada harta kekayaan yang dia miliki.

Kalau misalnya akan diakui bahwa capres 01 melego asset-assetnya, maka harus ada bukti transaksi penjualan sejumlah asset, kepada siapa dijual dan bagaimana metode pembayarannya.
Jumlah 13 milyar lebih tidak sedikit lho!

Sebaliknya, jika sumbangan kampanye itu benar dari capres 01, maka berarti Jokowi TIDAK BENAR dalam melaporkan LHKPN-nya. Dan selisihnya tidak sedikit, bukan hanya beberapa juta rupiah saja yang mungkin masih bisa dimaklumi.

Tapi ini jumlahnya sampai 3x lipat lebih. Itu baru jumlah yang disumbangkan lho, mestinya jumlah total harta kekayaan kas dan setara kas yang dimiliki lebih besar lagi dari yang disumbangkan.

Itu logika sederhana saja. Nah, kalau mengisi LHKPN dengan TIDAK BENAR, semestinya KPK harus aware, harus turun memeriksa kebenaran dan kejujuran LHKPN Jokowi.

Dengan menggandeng PPATK, KPK harusnya bisa membuktikan mana yang benar. Jika PPATK tidak bisa menemukan aliran dana secara transfer perbankan, maka akan lebih rumit lagi bagaimana menjelaskan adanya dana 13 milyar lebih yang mendadak muncul sebagai sumbangan.

Dari siapakah sebenarnya uang itu?! Dari manakah sumbernya?!

Ini tantangan menarik bagi 9 orang hakim MK. Gunakan mata hati dan mata batin, disamping mata lahiriah, untuk mencermati semua bukti dan logika yang menyertai semua kejanggalan ini.

Sebab KECURANGAN itu BUKAN HANYA SEKEDAR MANIPULASI ANGKA PEROLEHAN SUARA, namun juga manipulasi status, manipulasi dana kampanye, dll. Sebagai bangsa yang BERMARTABAT kita tentu ingin mendapatkan pemimpin yang dihasilkan dari proses Pilpres yang BERSIH, JUJUR, ADIL. Seorang Presiden yang dihasilkan dari proses yang penuh kecurangan sejak awal, dari hulu hingga hilir, jelas tidak mungkin melahirkan pemimpin berkualitas, berintegritas dan legitimate.

Jika para hakim MK sampai tidak berhati-hati menguji gugatan-gugatan kualitatif yang sarat dengan nilai-nilai moral, maka akan menjadi tonggak bagi moralitas bangsa ini.

Putusan MK mengikat dan akan jadi acuan bagi pemilu dan pilkada di berbagai daerah. Akan jadi pelajaran ataukah akan jadi “contoh” buruk bagi kandidat pejabat publik.

Mereka akan mengisi LHKPN sesuka hati, tak peduli bahwa pengeluarannya jauh lebih banyak dari pada kekayaan yang dia laporkan. Maka dari itu, harapan rakyat Indonesia tertumpu pada 9 hakim MK.

Semoga saja mereka berpikir panjang untuk kemaslahatan negeri ini, jangka panjang, bukan hanya 5 tahun ke depan.[]
Baca juga :