[PORTAL-ISLAM.ID] 21 tahun yang lalu, empat Mahasiswa Universitas Trisakti gugur terkena peluru panas aparat rezim Orde Baru pada 12 Mei 1998 yang kini disematkan sebagai pahlawan Bintang Jasa Pratama. Mengambil pelajaran atas tragedi itu, mahasiswa Indonesia saat ini dinilai kurang kritis.
Hal itu disampaikan Pengamat Politik dan Peneliti dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarief Hidayatullah, Adi Prayitno saat dihubungi Kantor Berita Politik RMOL, Senin 13 Mei 2019
"Lima tahun ini nyaris tak ada gerakan mahasiswa kritis yang bisa memberikan check and balances bagi penguasa. Entah pada kemana mahasiswa pewaris sejarah itu?," kata Adi.
Padahal kata dia, banyak kebijakan yang merugikan rakyat seperti impor beras, kenaikan BBM dan Tarif Dasar Listri (TDL) yang berulang, kebebabasan berekspresi, serta massifnya praktik money politik yang makin vulgar. Nyaris hampir tak pernah bersuara, Mahasiswa bahkan hampir kalah dengan suara kritikan emak-emak.
"Mahasiswa kini nyaris tak terdengar daya krititisnya, suara mereka tenggelam oleh gemuruh emak-emak yang kerap protes terhadap kebijakan tak populis. Mestinya mahasiswa malu pada emak-emak karena peran meran kritis mereka sudah diambil alih," tandas Adi.
Diketahui dalam kejadian tragedi Reformasi 12 Mei 1998, keempat pejuang gerakan mahasiswa 1998 itu gugur demi memperjuangkan aspirasi masyarakat yang menuntur perubahan atas orde lama. Kematian mereka juga mempercepat eskalasi perubahan politik di bawah kekuasaan rezim Orde Baru.
Keempat mahasiswa itu adalah Hendriawan Sie bin Hendrik Sie, Elang Mulya Lesmana bin Bagus Yoga Nandita, Herry Hartanto bin Syahrir, dan Hafidin Royan bin Raden Enus Yunus.
Eks Aktivis gerakan mahasiswa 1998, Julianto Hendro Cahyono mengatakan pasca kematian empat mahasiswa itu, rezim Orde Baru berusaha mengubur tuntutan perubahan total dari para mahasiswa pasca Tragedi Trisakti dengan menciptakan kerusuhan berbau SARA, namun para mahasiswa bergeming, dengan melanjutkan perjuangan, mengubah pola aksi jalanan dengan Aksi Pendudukan DPR-RI pada Senin, 18 Agustus 1998, dan berhasil memuat Presiden Soeharto mundur pada 21 Mei 1998.
Meskipun begitu kata Julianto, Soeharto yang menjadi simbol kekuasaan totaliter itu telah mundur, namun kekuatan Orde Baru belum pupus, bahkan semakin bermertamorfosa, dan memanfaatkan deregulasi politik berupa pendirian partai-partai politik.
"Pada saat yang sama para aktivis 98 yang memang berjuang berdasarkan gerakan moral kemudian kembali ke kampus. Aktivis 98 terus melakukan pengawalan transisi melalui gerakan moral hingga bertahun-tahun kemudian," papar Julianto saat ziarah makam pejuang reformasi di TPU Tanah Kusir, Jakarta Selatan, Ahad 12 Mei 2019.
Sumber: RMOL