Anis Matta: Mengubah Cara Kita Memikirkan Dakwah


[PENGANTAR: Asupan bagi yang memerlukan. Dikutip dari Hidayatullah edisi Sya'ban 1424/Oktober 2003. Bisa jadi, penulisnya tepat membaca perubahan zaman dan bagaimana respons kalangan harakah. Bisa juga sebaliknya, tulisan ini perlu diberikan masukan. Yang terpenting, bagaimana kita memikirkan kritik dan saran penulis. Bukan menepikan hanya karena mengetahui posisi penulisnya, apalagi mengikuti yang diberikan komunitas di sekitar kita./Yusuf Maulana]

Mengubah Cara Kita Memikirkan Dakwah

Oleh: Anis Matta

“Jembatan apa yang dibutuhkan di antara cita-cita yang menjulang dan kemampuan yang pas-pasan?”

Ada perasaan sia-sia yang menjalar perlahan di hati seorang dosen. Malam itu, semua usahanya untuk meyakinkan para mahasiswanya tentang keunggulan-keunggulan ekonomi Islam gugur berkeping-keping hanya karena sebuah pertanyaan sederhana seorang mahasiswa.

Rasanya, semua energi intelektualnya sudah dikerahkan. Enam belas kali pertemuan dalam satu semester. Menurut dosen yang juga aktivis itu, jumlah tersebut cukup untuk membangun keyakinan kokoh di benak para mahasiswa tentang keunggulan sistem ekonomi Islam di atas semua sistem lainnya.

Ia menyakinkan mereka dengan membuat perbandingan ideologi dan sistem yang sangat rasional-objektif antara Islam, kapitalis, dan komunis; perbandingan bisnis antara konsep bank tanpa riba dan bank konvensional; analisa komprehensif tentang kegagalan pembangunan dunia Islam; syarat-syarat yang diperlukan demi meningkatkan kesejahteraan umat dan memajukan perekonomian mereka.

Begitu seterusnya. Mahasiswa-mahasiswa antusias. Sampai pertanyaan sederhana itu muncul dari salah seorang mahasiswa: “Apakah ada sebuah Negara yang telah menerapkan sistem ekonomi Islam dan mencapai tingkat kemakmuran yang dijanjikan sistem itu seperti yang Bapak ceritakan, sehingga kita dapat menjadikannya model pengembangan ekonomi bangsa kita ke depan?”

Sederhana memang. Akan tetapi, itulah “lubang besar” yang menganga dalam cara kita mengomunikasikan Islam kepada masyarakat. Sementara kita menjelaskan keunggulan ideologi dan sistem yang abstrak, mereka mengharapkan contoh aplikasi yang sukses dalam kehidupan nyata. Sementara kita membanggakan keunggulan di dunia maya spiritual, mereka malah terpesona kepada keunggulan di dunia empiris (nyata -red). Sementara kita menjelaskan kehebatan Islam di masa lalu, mereka menyaksikan keterpurukkan kita saat ini. Sementara kita menjelaskan kebenaran-kebenaran Islam, meraka justru menantikan kehebatan-kehebatan kaum muslimin. Sementara kita menjelaskan teori, mereka memahami teori lebih baik melalui contoh kasus.

Cermin realitas

Kebanyakan orang belajar secara visual, tapi kita berkomunikasi secar abstrak. Ini hanya contoh kecil, sangat sederhana, tapi memadai untuk menjelaskan mengapa gerakan dakwah belum mampu menembus pusaran logika massa, apalagi melakukan penetrasi politik untuk kemudian mengubah, memobilisasi, dan mengendalikan mereka.

Di tingkat opini publik, Islam dan gerakan dakwah dengan mudah “diisolasi” tanpa pembelaan spontanitas dari masyarakat. Masyarakat juga belum begitu percaya dengan kemampuan gerakan dakwah beserta para pemimpinnya untuk mengelola Negara. Secara keseluruhan, Islam dan gerakan dakwah belum memegang peranan kunci dalam pembentukan kesadaran publik. Padahal, itu semua merupakan kondisi-kondisi pendahuluan yang mutlak ada dalam perjalanan kita menuju kekuasaan.

Rendahnya tingkat penerimaan publik dan kapasitas serta citra kita, sebenarnya merupakan realitas-realitas yang berakar pada cara kita berpikir. Tidak ada realitas kita yang tidak berakar pada pikiran kita. Pikiran adalah cermin besar yang memantulkan seluruh potret realitas kita secara apa adanya. Pikiran adalah ruangan kemungkinan (space of possibility), dan realitas adalah ruang tindakan yang telah jadi nyata (space of action). Seluruh realitas kita hanya bergerak pada ruang kemungkinan itu. Makin besar ruang kemungkinannya, makin besar ruang realitasnya. Bagaimana kita berpikir, begitulah kita akan bertindak.

Jadi jauh sebelum realitas tercipta di alam kenyataan, hal tersebut terlebih dulu tercipta di alam pikiran kita. sebaliknya, apa yang tidak pernah kita pikirkan tidak akan pernah jadi realitas pada masa mendatang. Maka, realitas-realitas kita hari ini, sesungguhnya merupakan buah dari benih-benih pikiran yang telah kita tanam bertahun-tahun yang lalu dan seterusnya. Realitas-realitas kita pada masa mendatang adalah buah dari benih-benih pkiran yang kita tanam hari ini.

Konflik dengan penguasa, misalnya. Ini realitas yagn mewarnai pola hubungan antara gerakan dakwah dengan penguasa selama ini. Realitas ini berakar pada persepsi gerakan dakwah tentang penguasa sebagai kumpulan para thaghut. Begitu persepsi ini menguasai pikiran ita, sense of war lansung menyalakan alarm perang ketika berhadapan dengan penguasa.

Misalnya lagi, fenomena eksklusivitas para aktivis di tengah masyarakat. Fenomena ini berakar pada persepsi bahwa masyarakat kita saat ini hidup dalam kubangan jahiliah modern. Begitu seseorang berubah menjadi aktivis dakwah, segera saja ia merasakan superioritas spiritual dan moral, dan menemukan tembok pemisah antara dirinya dengan masyarakat.

Ambil contoh lain lagi: dana. Keterbatasan dana adalah ironi besar yang membatasi ruang gerak dakwah kita. Uang adalah sarana pendukung yang tidak pernah mengisi atau bahkan tak punya tempat dalam ruang pikiran kita selama ini. Kalau toh kita memikirkannya, itu hanya sambil lalu. Pikiran kita selalu terfokus pada bagaimana menyiasati keterbatasan, bukan pada bagaimana menciptakan kelimpahan. Karena yang kita pikirkan adalah bagaimana menyiasati keterbatasan maka selamanya keterbatasan menjadi realitas kita. Kelimpahan tidak pernah jadi nyata karena kita memang tidak memikirkannya.

Menggeser pusat perhatian

Sekarang sepakatlah kita bahwa tindakan-tindakan kita muncul sebagai buah dari benih-benih pikiran kita. Realitas dakwah juga begitu. Pikiran-pikiran yang berkembang di lingkungan du’aat lah yang menciptakannya. Jadi, pikiran adalah pusat kekuatan yang mengendalikan tindakan-tindakan dan menciptakan realitas-realitas kita.

Jika sistem kendali tindakan dan realitas kita ada pada pikiran-pikiran kita, sudah saatnya gerakan dakwah memikirkan kembali caranya berpikir, memikirkan kembali apa yang selama ini kita pikirkan, dan mengapa kita memikirkannya, serta mengapa kita memikirkannya dengan cara begitu.

Generasi pertama para pemikir dakwah seperti Al-Banna, Al Maududi, Sayyid Quthb, dan lainnya memfokuskan perhatian pada pembangunan ideologi. Generasi kedua seperti Muhammad Al-Gazali, Yusuf Al-Qaradhawi, Fathi Yakan, dan lainnya menfokuskan perhatiannya pada pembangunan kerangka pemikiran pergerakkan.

Ketika gerakan dakwah memasuki era kerbukaan, bermetamorfosis menjadi institusi terbuka, bermain di domain publik, memasuki pusat-pusat kekuasaan, persoalan terbesar kita adalah sumber daya. Inilah persoalan yang dihadapai gerakan-gerakan dakwah di berbagai Negara Islam seperti Sudan, Yaman, Aljazair, Turki, Mesir, Indonesia, dan lainnya. Di semua kawasan ini, gerakan dakwah mengalami persoalan tersebut secara fundamental: beban kerja yang muncul akibat perluasan wilayah aksi dakwah, tidak seimbang dengan sumber daya yang dimiliki gerakan-gerakan dakwah tersebut.

Animo besar masyarakat terhadap Islam akibat kegagalan pembangunan di akhir dekade 80-an memang pada mulanya menghasilkan kemenangan-kemenangan politik di awal 90-an, seperti FIS di Aljazair atau Refah di Turki. Namun, itu tidak lama. Situasi segera berubah. Tantangan-tantangan yang menghadang kita melampaui sumber daya yang kita miliki.

Dengan menggunakan cermin realitas seperti di atas, persoalan sumber daya ini muncul karena pusat perhatian kita belum bergeser dari tema besar generasi pertama dan generasi kedua para pemikir dakwah. Kita masih becara ideologi dan belum bicara sumber daya. Kita masih bicara sistem pemerintahan Islam dan belum bicara kompetensi kepemimpinan umat. Kita masih bicara slogan “Islam adalah solusi” dan belum bicara agenda aksi penyelesaian persoalan bangsa. Kita masih bicara kegagalan musuh dan belum berbicara kesuksesan-kesuksesan kita. Kita masih bicara konspirasi asing dan belum berbicara sistem pertahanan dakwah. Kita masih bicara fiqhul ikhtilaf dan belum bicara manajemen organisasi. Kita masih bicara sabar dalam menyiasati keterbatasan dana dan belum bicara menciptakan kelimpahan dana. Kita masih bicara apa yang kita inginkan dan belum bicara sumber daya yang diperlukan untuk mencapainya.

Selama pusat perhatian pikiran kita belum bergeser ke masalah penciptaan sumber daya-sumber daya, selama itu kita akan mengalami kemunduran dan keterpurukan. Ini hanya konsekuensi antara ketidakseimbangan; antara beban dan daya pikul. Kita akan tampak tua dan lelah, berjalan tertatih-tatih memikul beban khilafah yang terasa semakin menjauh.

Para pendiri dan ideolog gerakan dakwah telah meletakkan dasar-dasar ideologi yang kokoh bagi kebangkitan umat. Mereka merampungkan tugas mereka dengan sempurna. Para pemikir pergerakan -berikutnya- juga telah membangun kerangka pemikiran pergerakan bagi pertumbuhan gerakan dakwah menuju kematangan. Mereka juga telah menunaikan tugas mereka dengan sempurna. Kini, tiba saatnya bagi generasi ketiga -generasi kita- untuk membawa bendera, menunaikan tugas sejarah mereka: generasi pencipta sumber daya. Biarlah di tangan mereka kebenaran menjadi nyata di muka bumi karena menyatu dengan kekuatan.[]

*Sumber: Majalah Hidayatullah edisi Sya'ban 1424/Oktober 2003


Baca juga :