[CATATAN] HOLY HOAX WAR by Radhar Tribaskoro


[PORTAL-ISLAM]  Kalau hoax didefinisikan sebagai berita palsu/bohong, maka ada hoax yang penting diperhatikan ada yang tidak, ada yang berbahaya ada yang tidak, ada yang lucu ada yang tidak, dst. Hoaxnya anak kecil bolos sekolah penting untuk ibunya yang ingin anak jujur. Bagi masyarakat hoax anak itu tidak penting karena cuma kejadian lumrah di dalam keluarga.

Hoax oleh seorang presiden penting sekali diperhatikan sebab sangat berbahaya dan dapat menimbulkan kerugian jiwa maupun hartabenda yang banyak. Sebagai contoh, hoaxnya presiden Bush tentang senjata pemusnah massal di Irak dan Libya. Ratusan ribu jiwa punah karena hoax itu.

Hoaxnya orang berkuasa, itulah yang penting kita simak. Orang berkuasa suka "manufacturing consent". Rusia (dulu Uni Sovyet) pernah menembaki kotanya sendiri, mengaku diserang lalu menjadikannya alasan menginvasi Finlandia. Dalam skala lebih kecil, suatu partai mengaku diserang supaya punya alasan "senam politik".

Tidak ada yang membantah, pihak yang paling berkuasa di suatu negara adalah pemerintah. Dalam konteks itulah Rocky Gerung mengatakan "Pembuat hoax terbaik adalah pemerintah". Saya mengenal Rocky Gerung sejak tahun 1980an. Dia adalah tokoh mahasiswa UI dengan khas pemikiran yang kuat dan mendalam. Politik dan semua wacananya telah ia geluti sejak sangat muda.

Hoax personal, lucu-lucuan, april mob, boleh anda abaikan. Tetapi hoax yang "manufacturing consent", yaitu upaya terstruktur dan sistematis untuk memperoleh dukungan publik atas tindakan tertentu, sangatlah penting diwaspadai. Apalagi bila pemerintah yang merekayasa telah didukung oleh sebagian besar politikus, seperti misalnya Perang Vietnam bagi Amerika. Publik Amerika saat itu harus berdiri sendiri untuk memeriksa semua hoax yang dilemparkan pemerintah kepada mereka. Ketika publik menscrutiny semua aspek perang Vietnam mereka pun dengan cepat menemukan banyak sekali kebohongan2 yang diproduksi oleh pemerintah.

Tidak sedikit intelektual dan wartawan yang terpaksa mengorbankan hidupnya demi membongkar "government hoaxes". Tiga tahun lalu Michael Hastings meninggal dalam kecelakaan mobil yang dahsyat. Ia diketahui sedang menyelidiki kasus berkenaan dengan Paul Brennan seorang pejabat tinggi CIA. Soe Moe Tun wartawan koran kecil di Birma harus mati ketika menyelidiki penyelundupan kayu dan pembalakan liar yang dibekingi pejabat. Fyodor Dostojevsky divonis mati oleh pengadilan karena aktif dalam kelompok diskusi, pada detik terakhir ia diselamatkan tetapi harus dikirim ke Siberia.

Daftarnya sangat panjang, tetapi yang perlu digarisbawahi perang melawan government hoaxes sangat berbahaya. Julian Assange melarikan diri ke Rusia sebelum mendirikan
Wikileak yang membongkar dokumen-dokumen kebohongan banyak pemerintahan di dunia.

Hoax War di Indonesia

Hoax War yang berlangsung saat ini di Indonesia dimulai sejak akhir pilpres 2014. Di masa kampanye pilpres hoax sudah ada tetapi tidak terlalu direspon karena banyak orang tidak menyadarinya. Publik mulai merasakan ada "pabrikasi citra" yang berlebihan, dan menganggapnya sudah keterlaluan setelah pilpres. Public scrutiny menemukan janji-janji palsu, tagline "hanya karena jokowi", "jokowi terbaik, terhebat, dsb" yang memenuhi ruang publik secara sangat berlebihan dan menjadi sulit dicerna. Publik kemudian melawan "engineered information" itu dengan memblejetinya di media sosial, memproduksi memes bahkan melancarkan hoax vs hoax. Tentu saja ada tuduhan miring kepada mereka, misalnya tidak "move-on", "sakit hati", "panasbung (orang bayaran)", cyber army prabowo dsb.

Serangan-serangan itu sangat deras tetapi gagal meredakan. Mengapa? Sebab mereka yang mencermati pemerintah memang publik yang sesungguhnya, bukan orang bayaran atau afiliasi politik. Mereka akan menyerang siapa saja yang terduga hoax. Misalnya saja, saya tidak akan heran bila Prabowo pun akan diserang hebat kalau positif bergabung ke dalam kabinet Jokowi. Publik akan melihat dia sebagai orang yang tidak konsisten, sebagai produsen hoax juga.

Kebangkitan publik memblejeti Presidential Hoaxes memasuki tahap baru dan lebih aktual ketika publik mulai memblejeti governor hoax di pemerintahan Ahok di DKI. Publik menemukan bahwa klaim-klaim bersih, jujur, kerakyatan, yang disampaikan Gubernur Ahok ternyata adalah hoax. Beberapa kasus yang diindikasikan korupsi ditemukan tetapi sayang tidak ditindak-lanjuti dengan pantas oleh penegak hukum. Janji kampung deret yang tinggal janji saja, penggusuran orang miskin secara paksa, kontrak politik yang diabaikan, pengelolaan dana off-budget yang tidak sesuai aturan, janji independen yang tinggal janji, dsb.

Pemblejetan publik atas hoax presiden dan gubernur itu saya yakin telah telah dianggap menurunkan legitimasi pemerintah. Inilah alasan yang sesungguhnya mengapa pemerintah bersikap keras kepada hoax.

Holy Hoax War

Dalam pada itu perang hoax telah berubah menjadi perang suci (Holy Hoax War) ketika kaum ulama dan santri mulai melibatkan diri. Mereka mempersoalkan pidato Ahok yang dianggap menyinggung agama Islam. Keterlibatan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam hal ini sebetulnya diinisiasi oleh pihak pemerintah sendiri. Ketika masyarakat menuntut polisi memproses sangkaan penistaan agama oleh Ahok polisi terkesan enggan. Salah satu alasan mereka adalah "belum ada fatwa dari MUI". Hal inilah yang menyebabkan orang berbondong-bondong meminta MUI mengeluarkan fatwa. MUI tidak mengeluarkan fatwa itu tetapi mengeluarkan pendapat yang kedudukannya lebih tinggi dari fatwa.

Sejak puluhan tahun lalu fatwa MUI selalu menjadi rujukan penegak hukum bila ada kasus berkenaan dengan agama Islam. Entah bagaimana walaupun MUI telah mengeluarkan fatwa atau pendapatnya kepolisian tetap enggan memproses kasus penistaan ahok. Berbagai alasan dimunculkan untuk merelativisir fatwa MUI itu.

Publik menilai semua alasan itu adalah hoax untuk melindungi kepentingan politik penguasa. Penilaian itu mengubah perang hoax di media sosial menjadi perang suci. Gerakan melawan hoax pemerintah berubah menjadi gerakan melawan kemunafikan.

Inilah saya kira semangat dibalik Aksi Bela Islam 411 dan 212. Publik menuntut pemerintah bekerja dengan integritas. Kurangi janji-janji dan pencitraan yang tidak berguna. Celakanya bukan itu yang dilakukan pemerintah. Mereka berlagak suci dan justru menuduh publik sebagai produsen hoax, menutup sejumlah situs dan memata-matai media sosial. Mereka malah memompa konflik melalui tuduhan makar, gerakan anti-pluralisme, anti-Pancasila, dsb.

Publik pasti tidak akan surut dengan berbagai ancaman itu. Ini jaman yang sangat berbeda dengan jaman ketika Stalin masih hidup. Publik memiliki tuntutan yang legitimate, yaitu pemerintahan yang bebas dari kepalsuan dan kebohongan. Pemerintahan tanpa kemunafikan. Saya kira itu jalan yang hebat untuk demokrasi di Indonesia.

Baca juga :