27 Juni 1596 silam, rombongan ekspedisi Belanda yang dipimpin Cornelis de Houtman tiba di Banten.
Itu adalah kali pertamanya Belanda berhasil menemukan jalur menuju Nusantara.
Pada kedatangan yang kedua (1599), Cornelis de Houtman berlabuh di Aceh. Di sanalah ia tewas di tangan Laksamana Malahayati.
Cornelis de Houtman boleh dibilang sebagai perintis penjajahan Belanda ke Nusantara. Sebelum berangkat ke Nusantara pada April 1595, Cornelis de Houtman terlebih dahulu mencari informasi tentang Nusantara di Lisboa. Ia menghabiskan waktu dua tahun melakukan investigasi sekaligus mencari informasi soal keberadaan Nusantara, seperti disebut George Masselman dalam bukunya The Cradle of Colonialism.
Setelah melakukan perjalanan dari 2 April 1595 hingga 27 Juni 1596 itu, akhirnya Cornelis de Houtman tiba di Banten. Awalnya Kesultanan Banten menerima rombongan ekspedisi dengan baik. Namun beberapa waktu kemudian, masyarakat menilai perangai orang asing itu tak menyenangkan. Mereka dianggap seenaknya keluar masuk kota Bangen.
Bahkan, selain Cornelis de Houtman yang tak menghargai Sultan Banten Sultan Abdul Mafakhir Mahmud Abdulqadir. Orang-orang Belanda juga memaksa pedagang pribumi menjual barang dengan harga rendah kepada mereka. Bekerja sama dengan Portugis, Sultan Banten akhirnya mengusir Cornelis de Houtman dan rombongan diusir dari Banten.
Duel Maut Cornelis de Houtman dan Laksamana Malahayati
Cornelis de Houtman kembali ke Nusantara pada pelayarannya yang kedua, bersama saudaranya, Frederick de Houtman.
Bukan Banten tujuannya, kali ini Cornelis de Houtman berlabuh di Aceh.
Namun dasarnya Cornelis de Houtman memang suka cari gara-gara. Di Aceh, ia berselisih dengan pihak kerajaan. Perselisihan ini berujung duel maut satu lawan satu. Cornelis de Houtman ditantang bertarung dengan pimpinan pasukan Inong balee, Malahayati.
Meski lawannya seorang pria, Malahayati ternyata mampu mengalahkan Cornelis de Houtman. Padahal kala itu Cornelis de Houtman bersenjatakan pedang. Sementara Malahayati menggunakan rencongnya.
Pertarungan berlangsung di geladak kapal Cornelis de Houtman pada 11 September 1599.
Tanggal ini dicatatkan sejarah sebagai hari kematian Cornelis de Houtman. Kapten itu tewas di tangan seorang perempuan Aceh ini. Malahayati kemudian mendapat gelar “Laksamana” untuk keberaniannya.
Laksamana Malahayati sendiri merupakan seorang Muslimah dari kesultanan Aceh, yang menjadi laksamana perempuan pertama di dunia. Ia merupakan putri dari Laksamana Mahmud Syah. Kakeknya, Laksamana Muhammad Said Syah merupakan putra Sultan Salahuddin Syah yang memerintah Kesultanan Aceh Darussalam sekitar 1530 hingga 1539. Sementara ayah Sultan Salahuddin Syah adalah Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah, pendiri Kesultanan Aceh Darussalam.
Pada rentang 1585 hingga 1604, Malahayati memegang jabatan sebagai Kepala Barisan Pengawal Istana Panglima Rahasia dan Panglima Protokol Pemerintah dari Sultan Saidil Mukammil Alauddin Riayat Syah IV. Kariernya di medan tempur berawal dari dibentuknya pasukan Inong balee atau janda-janda pahlawan yang telah syahid. Laksamana Malahayati sendiri kehilangan suaminya yang gugur dalam pertempuran melawan Portugis.
Saat kedatangan Belanda pada ekspedisi yang kedua, Malahayati memimpin armada laut dengan dua ribu orang pasukan “Inong balee”. Mereka berperang melawan kapal-kapal dan benteng-benteng Belanda pada 11 September 1599. Untuk mengenang kepahlawanan Laksamana Malahayati, namanya ditabalkan sebagai nama pelabuhan laut di Teluk Krueng Raya, Aceh Besar. Selain itu, salah satu kapal perang jenis Perusak Kawal Berpeluru Kendalikelas Fatahillah milik TNI Angkatan Laut juga dinamakan KRI Malahayati.
Di Bandar Lampung, namanya digunakan sebagai nama kampus, yakni Universitas Malahayati.
Pada 2021, Pemerintah DKI Jakarta menjadikan nama Laksamana Malahayati, sebagai nama salah satu jalan di ibu kota. Nama Laksamana Malahayati menggantikan Jalan Inspeksi Kalimalang sisi sebelah utara.
Pada Peringatan Hari Pahlawan pada 2017, Presiden Joko Widodo atau Jokowi menganugerahkan Gelar Pahlawan Nasional kepada Laksmana Malahayati.
Penganugerahan ini berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 115/TK/TAHUN 2017 tanggal 6 November 2017 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional.
Selain Laksamana Malahayati, Gelar Pahlawan Nasional juga diberikan kepada TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid dari Nusa Tenggara Barat (NTB), Sultan Mahmud Riayat Syah dari Kepulauan Riau, dan Lafran Pane dari Yogyakarta.
HENDRIK KHOIRUL MUHID
(Sumber: Tempo)