"Tanduk"
Oleh: Made Supriatma (jurnalis senior)*
Saya mengerti kata ini ("Tanduk") saat pindah ke Jogja pertengahan tahun 1980an. Ketika makan di rumah seorang teman, tuan rumah menawari, "Tanduk, Mas?"
Saya raba kepala saya. Pura-pura gatal. Ah kepala ini tetap, tidak bertanduk. Kemudian baru saya mengerti. Artinya, apakah saya mau "nambah" makanan atau tidak.
Presiden Putin memutuskan untuk menginvasi Ukraina. Ini negara baru, yang merdeka pada tahun 1991, melepaskan diri dari Uni Sovyet. Ukraina tidak pernah menjadi negara sebelumnya. Ia adalah wilayah Kekaisaran Rusia.
Dan menjadi wilayah Uni Sovyet ketika kaum Bolshevik berkuasa. Ketika Sovyet runtuh, Russia melemah, Ukraina memerdekakan diri.
Sebenarnya sejak abad-19, nasionalisme Ukraina sudah tumbuh. Nasionalisme mereka adalah nasionalisme anti-elit. Sebagian besar rakyat Ukraina tumbuh sebagai budak orang-orang kaya Rusia. Sehingga tidak heran, kalangan atas Ukraina juga menjadi orang Rusia. Namun mereka juga bersentuhan dengan kebudayaan Polandia. Kaum elit perkotaan bercakap dengan bahasa Rusia atau Polandia.
Semalam saya membaca tulisan bagus dari Anne Applebaum di The Atlantic. Ia persis bicara soal ini: nasionalisme Ukraina. Ia mengupas sebuah puisi berjudul "Petaka Lagi" karangan Taras Shevchenko, penyair Ukraina yang bekas budak.
Kebudayaan Ukraina tumbuh di pinggiran, di desa-desa. Dulu, kalau orang mengatakan "aku orang Ukraina" itu artinya pengakuan bahwa dia berasal dari desa, kebudayaannya rendah.
Secara perlahan, nasionalisme ini tumbuh. Para penguasa Rusia bukannya tidak melihat ini. Hal pertama yang mereka lakukan, tentu saja, menindasnya. Mereka membakar buku-buku, melarang pentas kesenian, mematikan ide-ide kreatif dan memenjarakan atau membunuh kaum intelektualnya.
Namun nasionalisme yang kemudian menjadi fondasi negara Ukraina ini tumbuh. Walaupun baru pada 1991 menjadi sebuah negara.
Inilah yang tidak bisa diterima oleh penguasa Rusia. Bagi mereka, Ukraina tetaplah bawahan Rusia. Terlalu banyak orang di Ukraina yang memiliki keluarga di Rusia dan sebaliknya. Untuk Rusia, negara Ukraina merdeka dan berdaulat tidak masuk akal.
Itulah yang mendasari pikiran Presiden Putin untuk menginvasi dan menduduki (kembali) Ukraina. Di samping soal invasi militer ini, saya juga tertarik tentang bagaimana Putin membangun legitimasinya untuk menginvasi Ukraina.
Selama berbulan dia menyangkal akan menginvasi Ukraina. Banyak orang tidak percaya bahwa Putin akan berani melakukan invasi karena akibatnya yang akan sangat fatal untuk Rusia. Dan orang percaya, Rusia tidak punya sumber daya yang cukup untuk berperang. Dan ini adalah "a war of choice" bukan "a war of necessity" untuk mempertahankan eksistensi negara.
Namun lain kata, lain perbuatan. Putin meletakkan militernya dalam formasi perang di perbatasan Ukraina. Amerika Serikat mengerti itu. Taktiknya untuk menggagalkan perang ini adalah dengan membocorkan semua informasi intelijen ke publik. Amerika dan negara-negara Barat tidak ingin perang ini menjadi serangan kejutan atau blitzkerig.
Sebagian besar analisis yang saya baca sebelum invasi mengatakan bahwa Putin tidak akan menginvasi. Penambahan jumlah militer di perbatasan hanyalah sekedar gertak sambal, sebuah gertakan agar apa yang diinginkan tercapai.
Namun toh akhirnya Putin menginvasi juga. Kalkulasinya adalah bahwa negara-negara Barat akan menghindari perang terbuka. Sangsi ekonomi bisa dihadapi dengan berpartner dengan China. Sejauh ini, kita belum tahu bagaimana ini akan berakhir.
Nah, lalu apa hubungannya dengan "tanduk" di atas? Kalau soal ini ada hubungannya dengan situasi di negara Wanakanda. Presiden Wanakanda ingin berkuasa lagi. Masa jabatannya dibatasi dua periode saja, selama lima tahun.
Namun Presiden Wanakanda merasa diri masih kuat. Dia masih muda. Lagipula, banyak program yang dia canangkan belum terwujud.
Berbulan-bulan Presiden Wanakanda mengatakan bahwa dia tidak ingin nambah masa jabatan. Dia taat kepada konstitusi. Lha ya ndak mungkin saya mau jadi presiden melebihi daripada yang ditentuken konstitusi, demikian katanya selalu.
Partai-partai koalisinya hampir sepenuhnya mendukung ide kalau masa jabatannya diperpanjang. Alasannya? Pandemik sudah menghancurkan ekonomi Wanakanda.
Nah, sekarang malah ada perang lagi. Niscaya ekonomi akan makin hancur. Tidak baik mengganti nakhoda ditengah badai, begitu kira-kira sekutu Presiden Wanakanda berpikir.
Presiden Wanakanda bermain persis seperti Presiden Putin. Ia membantah keras kalau dia mau 'tanduk' tapi orang-orangnya membikin formasi persis untuk 'tanduk' tadi. Piring-piring sudah ditata, MC sudah disewa, penyanyi dangdut sudah diberi uang muka, meja kursi dan tenda sudah pesan.
Nanti akan ada saatnya, Presiden Wanakanda akan bilang, ya saya masih lapar. Tanduk sedikit ya?
Seperti pepatah, lama-lama jadi bukit.
*fb penulis (26/2/2022)