POLISI KITA ADALAH POLISI KOLONIAL. TUGAS UTAMANYA MENGONTROL MASYARAKAT AGAR TUNDUK KEPADA PENGUASA. STRUKTUR ORGANISASINYA PERSIS ZAMAN KOLONIAL. SENTRALISTIS. TIDAK DESENTRALISTIS SEBAGAIMANA DI NEGARA DEMOKRASI MODERN.
TAPI INI ADA TULISAN JENDERAL (PUR) POLISI YANG MENULIS POLISI BERADAB ERA NEGARA MODERN DEMOKRATIS. MUDAH2AN MEMGINSPIRASI PETINGGI POLISI DAN PEMERINTAH MEREFORMASI LEMBAGA KEPOLISIAN.
Tulisan Jenderal (Purn) Polisi yang visioner dan beradab. Beda dengan potret kerja polisi sehari-hari.
👇👇
Dari Institusi Kekuasaan Menuju Pelayanan Publik
Oleh Arief Sulistyanto
(Mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri)
Selama ini, Kepolisian Negara Republik Indonesia cenderung diwarisi sebagai power institution, yakni institusi kekuasaan yang menampilkan dominasi otoritatif. Ukuran keberhasilan kerap dilihat dari penguasaan wilayah dan angka penindakan hukum, bukan dari kualitas keadilan yang dirasakan masyarakat.
Di tengah era keterbukaan dan kesadaran sipil yang makin tinggi, pendekatan ini kian usang. Kini masyarakat menuntut Polri menjadi service institution—institusi pelayanan publik yang humanis, transparan, dan akuntabel. Polisi yang datang pertama saat masyarakat butuh pertolongan, yang menyimak laporan dengan empati, bukan intimidasi.
Transformasi ini tidak cukup dilakukan melalui branding atau perubahan simbolik, tapi melalui perombakan mendasar dalam orientasi nilai, kepemimpinan, dan budaya kerja. Kampanye citra akan selalu kalah oleh kenyataan di lapangan.
Karena itu, citra tidak boleh menjadi pengganti profesionalisme. Ia hanya bisa menjadi hasil dari pelayanan yang tulus, adil, dan terasa manfaatnya.
Lima pilar reformasi
Ada lima pilar reformasi Polri menuju profesionalisme.
Pertama, aspek operasional: dari pemadam ke pencegah. Profesionalisme Polri harus beranjak dari paradigma responsif ke paradigma antisipatif. Pendekatan proactive policing strategy adalah kunci.
Polisi harus mampu membaca arah dinamika sosial, mendeteksi potensi konflik sejak dini, dan membangun kehadiran yang menenangkan sebelum peristiwa terjadi. Deteksi dini tak cukup hanya dengan alat canggih, tetapi juga perlu kepekaan sosial dan analisis lapangan yang tajam.
Di sisi lain, pelayanan publik harus cepat, mudah, dan bersih. Masyarakat sudah muak dengan birokrasi lamban dan aroma transaksional. Digitalisasi layanan seperti SIM, SKCK, atau pelaporan daring adalah langkah maju. Namun, transformasi tidak akan terjadi jika mentalitas manual masih dominan. Digitalisasi harus menyentuh pola pikir (mindset).
Penegakan hukum pun harus bebas dari intervensi. Polisi adalah wakil keadilan, bukan alat kuasa. Maka, keberanian moral adalah syarat utama dalam melaksanakan tugas penyidikan—berani berkata ”tidak” pada tekanan, dan ”ya” pada keadilan, meski berisiko.
Kedua, aspek manajemen internal: tanam profesionalisme dari hulu. Kualitas personel ditentukan sejak proses perekrutan. Rekrutmen harus berbasis merit, bebas dari kolusi, dan benar-benar menjaring yang terbaik—fisik, intelektual, psikologis, dan moralitasnya.
Jika proses ini tercemari oleh ”titipan”, maka yang masuk bukan calon profesional, melainkan potensi masalah masa depan.
Pendidikan kepolisian harus membentuk karakter, bukan sekadar memberikan ijazah. Nilai kejujuran, pengabdian, dan loyalitas kepada hukum harus ditanamkan. Pendidikan adalah fondasi moral, bukan formalitas administratif.
Setelah perekrutan dan pendidikan, sistem karier juga harus menjunjung meritokrasi.
Ketika promosi jabatan dijadikan komoditas politik atau hubungan personal, rusaklah tatanan kepemimpinan. Profesionalisme hanya tumbuh jika yang dipromosikan adalah yang pantas, bukan yang dekat.
Ketiga, aspek kepemimpinan: pemimpin bukan produk instan. Pemimpin Polri tidak bisa muncul tiba-tiba. Ia harus dibentuk melalui proses panjang: pemetaan potensi, penugasan yang menantang, pendidikan yang membangun visi, dan pengawasan yang obyektif. Jabatan bisa diberikan, tapi kepemimpinan harus ditempa.
Kepemimpinan bukan sekadar soal tampil di depan. Ia soal nilai, keberanian, dan ketegasan memimpin perubahan. Seorang pemimpin sejati memiliki tiga kualitas utama kemampuan: 1) membangun kepercayaan dari bawah, 2) menahan godaan dari atas, dan 3) menjaga arah di tengah tekanan.
Kepemimpinan yang sejati membuat bawahan tumbuh, bukan takut, dan ia menjaga marwah institusi dengan keberanian, bukan membungkus kelemahan dengan pencitraan.
Program talent pool, pembinaan kepemimpinan strategis, dan promosi berbasis kompetensi harus dijalankan dengan konsisten. Pemimpin yang lahir dari sistem merit akan membawa organisasi pada orbit peradaban.
Keempat, aspek evaluasi: ukur kinerja, bukan persepsi. Evaluasi kinerja Polri harus obyektif, terstruktur, dan berbasis sistem digital. Penilaian tidak cukup hanya dari atas ke bawah, tapi juga harus ada umpan balik dari masyarakat. Komplain publik harus dilihat sebagai peluang koreksi, bukan ancaman.
Evaluasi ini juga harus menilai keseimbangan antara sikap humanis dalam pelayanan dan ketegasan dalam penegakan hukum. Polisi yang baik tidak hanya ramah, tapi juga adil. Sistem dashboard kinerja yang transparan akan memperkuat akuntabilitas dan memotivasi perbaikan berkelanjutan.
Kelima, reformasi tugas pokok dan fungsi (tupoksi) dan struktur: kembali ke jalan konstitusi. Polri adalah alat negara sipil. Ia tidak boleh dipakai sebagai cadangan multifungsi bagi semua tugas lembaga lain.
Prinsip subsidiaritas harus dijaga, yaitu bantu jika diminta, tapi jangan menggantikan. Ketika polisi menjadi petugas seremonial atau alat kampanye terselubung, profesionalismenya ikut terdegradasi.
Struktur penggelaran Polri harus dimaksimalkan secara fungsional—bukan hanya ada secara administratif, melainkan hadir dalam pelayanan riil di lapangan. Setiap personel harus paham bahwa tugas utamanya ialah melindungi masyarakat, bukan melayani kekuasaan. Polisi bukan sekadar bagian dari sistem birokrasi negara, melainkan penjaga moral publik.
Profesionalisme tidak bisa lahir dari ruang nyaman, tapi dari kesediaan jujur melihat luka, dan keberanian untuk menyembuhkannya. Di tengah dunia yang berubah cepat, masyarakat hanya ingin satu hal: polisi yang jujur, adil, dan berpihak pada kebenaran.
Bukan karena dipuji, melainkan karena merasa bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Adil. Karena tugas polisi sejatinya bukan sekadar menjaga ketertiban, melainkan menjaga harapan rakyat bahwa hukum masih bisa ditegakkan dan keadilan masih mungkin ditemukan.
(Sumber: KOMPAS edisi 05 Juni 2025)
___________
Profil lengkap Komisaris Jenderal Polisi (Purn) Arief Sulistyanto