Nikel di Raja Ampat
Oleh: Hanibal Wijayanta
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia bilang tambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya, berjarak 40 km dari kawasan konservasi Raja Ampat. "Masih jauh," ujarnya. Jadi menurut dia, lokasi tambang nikel itu masih aman dan tidak mencemari kawasan konservasi.
Lah, kata siapa.
Menurut para ahli kelautan, 40 km itu termasuk dekat... Contohnya, berdasarkan penelitian kawan-kawan dan adik-adik kelas saya di IPB, diduga penyebab turunnya populasi ikan Lemuru di selat Bali, adalah karena cemaran tailing Newmont Batu Hijau di Sumbawa Barat, NTB ke perairan Samudera Indonesia.
Sejak 1999 Newmont membuang tailing sebanyak 170.000 ton per hari. Jika dibuatkan bendungan penampung di darat akan butuh lahan seluas 2.310 ha. Karena itu akhirnya Newmont memilih membuang limbahnya ke palung atau parit di dasar laut. Ternyata buangan tailing itu berdampak di perairan.
Biasanya ikan lemuru (Sardinella lemuru) berpijah di Samudera Indonesia di selatan Bali dan Nusa Tenggara. Nah, diduga gara-gara cemaran tailing dari tambang emas PT Newmont Batu Hijau, populasi ikan Lemuru akhirnya turun drastis.
Di masa lampau panen ikan Lemuru di Selat Bali bisa berlangsung selama 10 bulan dalam setahun. Sekarang nelayan hanya panen selama 3 bulan saja. Akibatnya produksi pabrik ikan kalengan di Banyuwangi menurun drastis, dan akhirnya gulung tikar.
Lokasi tambang PT Newmont Batu Hijau jauh sekali dari Selat Bali. Mungkin sekitar ratusan kilometer. Tapi dampaknya ternyata dirasakan dengan nyata di wilayah yang berjarak jauh itu. Jadi kalau baru 40 km, itu jelas masih akan berdampak.
Coba cek siapa yang punya tambang-tambang nikel itu, dan mengapa setelah ditutup dihidupkan lagi!
Mari kita selamatkan Raja Ampat...