Konflik Iran-Isreal Memasuki Babak Baru
Baku hantam rudal dan misil antara Iran dan Israel sudah memasuki hari ke empat, pantauan di lapangan belum menunjukkan adanya tanda-tanda salah satunya akan melakukan aksi “menyerah”, justru eskalasi serangan semakin menunjukkan kebalikannya.
Israel meminta AS untuk intervensi secara militer, namun sampai saat ini decision maker di Pentagon masih ikhtilaf pendapat. Narasi-narasi “challenge” (perlawanan) juga terdengar dari beberapa negara, khususnya Pakistan, yang secara tegas menyatakan dukungan terhadap Iran.
Konflik Iran-Isreal sudah masuk ke babak baru, dimana konflik sudah head to head, tidak lagi melalui proxy yang selam ini terjadi. Iran menyerang Israel langsung dari wilayahnya, tidak lagi menggunakan milisi di Lebanon, Suriah, Yaman ataupun Irak. Suka atau tidak, ini adalah serangan rudal terbesar yang pernah terjadi, dan serangan pesawat tak berawak terbesar dalam sejarah militer. Tindakan Iran ini, in one way or another, telah meningkatkan deterrence Iran di kawasan dan soft power-nya di dunia Islam.
Kalau dilihat dari skor sementara, mungkin bisa dikatakan 2-1 untuk Israel. Dalam hal ini, Israel menang banyak, karena mereka memiliki pesawat tempur yang canggih dan Arhanud (Artileri Pertahanan Udara) yang kuat. Armada pesawat tempur generasi kelima Israel dengan gesit menyerang target-target di Iran melewati wilayah udara Suriah, atau Yordania yang tidak mampu melakukan apa-apa ketika wilayah udaranya “diperkosa” Israel.
Sementara Iran, hanya memiliki 30 unit Mig-29 generasi keempat tahun 1990, yang tidak selevel jika dibandingkan dengan F-35 Israel, sisanya F-14 Tomcat. Bicara F-14 Tomcat, lagi-lagi negara yang masih menggunakan pesawat itu di muka bumi adalah Iran. AS sendiri sejak 2006 telah memusnahkan seluruh F-14 nya, kecuali beberapa unit yang masih ada di museum.
Tahun 1978, pemerintah Pahlevi Iran membeli 80 unit F-14 tomcat dari AS, mengingat saat itu Iran masih sekutu AS. Tahun 1979 Pahlevi dikudeta oleh Ayatullah Khomeini, dan mendapatkan warisan 80 unit pesawat tempur F-14 yang hingga saat ini masih digunakan oleh angkatan udara Iran. Tidak hanya digunakan, tetapi juga dijiplak dan dikembangkan dikembangkan dengan nama seperti Kowsar, atau Saeqeh. Kamu ingat mobil Esemka, yang tidak akan pernah bisa ditilang oleh Polantas? Karena tidak kelihatan. Begitu juga pesawat-pesawat Iran, tidak dapat tertangkap oleh radar secanggih apapun, karena tidak bisa terbang! Just kidding bro.
Mengetahui kelemahan diri di pertahanan udara sedemikian rupa akibat sanksi dan embargo, maka Iran memperkuat diri dengan mengembangkan misil dan rudal-rudal canggih. Lihat saja bagaimana rudal balistik hypersonic yang mampu ngecengi Iron dome Isreal tadi malam, katanya yang begitu masih banyak dalam gudang senjata Iran, bahkan lebih dari itu, cuma belum dikeluarkan. Seandainya Iran punya banyak pesawat tempur generasi 4 setengah saja, mungkin skor akan berubah jadi 2-1 untuk Iran.
Pada akhirnya, assesment perang tidak melulu pada jumlah korban, tapi juga dinilai dari dampak strategis, psikologis, dan taktis. Kalau seandainya kemenangan diukur dari jumlah korban, maka AS menang dalam perang Vietnam setelah membunuh lebih dari 1 juta rakyat Vietnam. Israel juga menang dalam perang di Gaza sekarang, karena telah berhasil membunuh lebih dari 55 ribu rakyat Gaza. But it doesn't work that way, habibi.
Operation Rising Lion Israel yang awalnya, katanya, hanya untuk melucuti kemampuan Iran untuk membuat senjata nuklir, setelah melihat balasan Iran yang unpredicted, tujuan semakin diperluas, selain melucuti kemampuan nuklir dan produksi misil, ditambah menumbangkan rezim Iran, itu katanya. Hal itu diamini oleh Crown Prince of Iran, Reza Pahlavi, yang meminta pimpinan militer Iran untuk membelot dan mengkudeta rezim Khamenai.
Perang dunia ketiga tidak akan meletus sekaligus dalam 1 malam, tetapi akan merayap perlahan, sangat perlahan, tetapi pada titik tertentu akan mulai melaju sangat cepat. Para elit politik di Barat telah mempersiapkan masyarakat mereka untuk kemungkinan perang semacam itu, dan mereka harus mempersiapkan diri untuk itu.
Sejak pembunuhan Qassem Soleimani pada tahun 2020, Israel telah mulai menerapkan kebijakan serangan bertahap yang menargetkan infrastruktur penting Iran: fasilitas nuklir, ilmuwan, komandan lapangan, dan bahkan pusat kendali elektronik. Serangan ini tidak menimbulkan banyak reaksi global, tetapi menciptakan keretakan besar dalam rezim Iran dan sekutunya. Melalui serangan ini—bersama dengan aliansinya yang kuat dengan Amerika Serikat—Israel telah mampu membangun silent war dan wars between wars yang berkelanjutan yang tidak mengenal batas geografis dan tidak tunduk pada kalkulasi pencegahan klasik DK PBB. Respons Iran? Kecaman di forum internasional, atau operasi militer kecil-kecilan yang tidak mengubah Rules of the game.
Ketika perang di Gaza meletus pada tanggal 7 Oktober 2023, banyak yang mengira bahwa saatnya untuk full scale war telah tiba. Akan tetapi perang di Gaza, Lebanon, dan Suriah dengan cepat dilupakan sedikit demi sedikit, sementara Iran konsisten pada retorika "strategic patience," tanpa menyadari bahwa kesabaran ini berubah dari hari ke hari menjadi "strategic impotence."
Ketika Iran membiarkan Israel mengosongkan arena perlawanan di Gaza, kemudian menguras habis Hizbullah dalam konflik di perbatasan dengan Israel, dan menghancurkan infrastruktur sipilnya di Lembah Bekaa Lebanon, tanpa reaksi langsung dan kualitatif, Iran secara tidak langsung menawarkan hadiah strategis cuma-cuma kepada Israel, yaitu menghancurkan poros perlawanan.
Sementara Negara-negara Sunni besar di kawasan seperti Arab Saudi, Mesir, dan Turki, telah bertahun-tahun memilih untuk melepaskan diri dari "beban Palestina," dengan mengadopsi wacana normalisasi diam-diam atau terbuka. Saat ini, mereka diam-diam memantau runtuhnya tatanan perlawanan di wilayah Sham, dan mereka mengabaikan fakta sederhana bahwa “Setelah Israel membersihkan perbatasan utara dan selatannya dari ancaman Syiah, Israel akan mengalihkan perhatiannya ke Yerusalem dan Masjid Al-Aqsa, dan negara sunni lainnya." Di sana saat itu, retorika moderat tidak akan berguna, dan dana investasi Teluk tidak akan membantu, history is not a spectator sport, ya Akhi…
"Israel Raya" bukan lagi sekadar mimpi dalam Taurat, tetapi proyek strategis yang didukung oleh Amerika-Eropa dengan peralatan teknologi dan militer yang canggih. Pergeseran geopolitik dan disintegrasi internal dunia Arab dan Islam telah membuat proyek ini dapat dicapai dengan kecepatan yang stabil.
Kapan Masjid Al-Aqsa akan dihancurkan? Mungkin tidak hari ini. Namun, pertanyaan tentang waktu tidak lagi bergantung pada kemampuan Israel, melainkan pada sejauh mana dunia Islam tetap dalam koma politik dan sektariannya...padahal "Alkufru millah wahidah".
Biarlah waktu yang menjawab.
*fb