Berita Negatif = Menghalangi Penyidikan?
ENTAH apa yang dipikirkan Kejaksaan Agung ketika melakukan ini. Kejaksaan Agung kemarin (22/4/2025) resmi menetapkan Tian Bachtiar, Direktur Pemberitaan Jak TV atas kasus perintangan penyidikan. Lebih kontroversialnya lagi, seorang dosen bernama Junaedi juga ditetapkan sebagai tersangka.
Bersama seorang pengacara, keduanya ditetapkan sebagai tersangka karena membuat narasi negatif tentang Kejaksaan Agung.
Tian diduga menerima aliran dana untuk membuat berita negatif tentang Kejaksaan Agung dan mendiseminasikannya.
Sementara Junaedi ditetapkan sebagai tersangka karena membuat perhitungan kerugian negara yang menunjukkan perhitungan Kejagung tidak benar.
Mereka juga kemudian membuat seminar dan podcast yang kemudian disiarkan Tian di program televisi dan media sosial.
***
Saya tak hendak membela Tian. Juga Junaedi. Bahhwa apa yang dilakukannya (menerima uang dan membuat berita pesanan) itu kemungkinan besar melanggar Kode Etik Jurnalistik. Namun, bukan itu yang menjadi poin saya.
Namun, apa yang dilakukan Kejaksaan Agung ini bisa menjadi preseden buruk ke depannya. Bagaimana bisa, Kejaksaan bisa langsung memutuskan menersangkakan keduanya atas dasar perintangan penyidikan karena membuat narasi yang berbeda dengan kepentingannya, dan langsung dianggap melakukan obstruction of justice (perintangan penyidikan)?
Kekeliruan pertama terkait kasus Tian adalah Kejaksaan tidak menempuh prosedur yang benar. Apa pun yang dilakukan Tian adalah produk jurnalistik. Dalam kasus ini, Kejaksaan harusnya berpijak pada UU Pers, di mana seharusnya mengadukan terlebih dahulu ke Dewan Pers.
Saya yakin, ketika dilaporkan, Dewan Pers akan memrosesnya, dan akan diproses berdasarkan Kode Etik Jurnalistik. Dalam proses itu, jika ditemukan pidana, maka proses pidananya akan diteruskan ke yang berwenang (Aparat Penegak Hukum). Artinya, Tian juga tak akan lepas dari jerat hukum. Ini harus dilakukan, karena ada asas hukum lex specialis derogate lex generalis. UU yang lebih khusus mengalahkan produk perundangan yang umum.
Namun, Kejaksaan langsung menersangkakan Tian begitu saja. Apalagi, jerat yang dipakainya sangat karet: merintangi penyidikan.
Simak saja alasannya “bahwa tujuan mereka jelas dengan membentuk opini negatif, seolah yang ditangani penyidik tidak benar, mengganggu konsentrasi penyidik, atau sehingga diharapkan, atau harapan mereka perkaranya dapat dibebaskan atau minimal mengganggu konsentrasi penyidik.”
Jelas sebuah tudingan yang aneh, dan berpotensi memberangus kebebasan berpendapat.
Setahu saya, yang masuk dalam kategori merintangi penyidikan itu adalah perbuatan kesaksian palsu, menghilangkan barang bukti, atau menghilangkan saksi.
Tapi berita negatif dianggap merintangi penyidikan? Mengganggu konsentrasi penyidik? Jelas mengada-ada.
Lebih jauh lagi, jika Kejagung bisa melenggang dengan penetapan tersangka ini, maka demokrasi bisa serius terancam.
Bagaimana jika anda melihat ada kriminalisasi, terus kemudian mengkritisinya, tiba-tiba saja anda bisa ditangkap jaksa karena dianggap merintangi penyidikan.
Atau jika ditarik lagi, anda yang kritis bisa saja tiba-tiba dianggap merintangi pembangunan, dan jaksa sudah ada di depan pintu untuk menangkap. Tak ada batasan yang jelas dari penafsiran sepihak para jaksa.
***
Logika kejaksaan yang mobat-mabit ini jelas bukan karena normatifnya. Tapi lebih karena kepentingan yang terganggu. Jika mau konsekuen, para buzzer yang dulu menarasikan ada Taliban di KPK, misalnya, juga harus ditangkap. Atau buzzer di berbagai isu lainnya. Dalam kasus buzzer, duit jelas ada. Menggiring opini negatif juga masuk. Tapi, kenapa kejaksaan tidak bergerak?
Atau bahkan bagaimana dengan pernyataan kejaksaan dulu mengenai kerugian korupsi PT Timah yang Rp 300 triliun, yang ternyata itu kerugian potensial dan banyak ahli yang meragukannya. Atau dengan kerugian korupsi pertamina, yang dihitung jaksa bahkan mencapai Rp 900 triliun (tapi ternyata tak ada penjelasan resmi dari mana angka Rp 900 triliun itu), dan yang kemudian narasi tentang itu berubah dan kejaksaan malah meminta masyarakat untuk tetap percaya pada Pertamina.
Di kalangan aktivis, langkah kejaksaan ini sekedar membersihkan citra dengan kepentingan terkait revisi UU Kejaksaan. Mereka tak ingin ketika revisi UU itu dibahas, kejaksaan banyak diterpa narasi buruk. Analisa yang cukup masuk akal. Namun, sepadankah dengan potensi ancaman pada hak demokrasi yang paling dasar: kebebasan berbicara?
Kasus ini sekarang sudah menjadi rasan-rasan di kalangan akademisi maupun jurnalis. Karena benar-benar mengancam kebebasan berbicara. Jika pers yang dilindungi UU Pers saja bisa dijerat begitu saja, bagaimana dengan kita, warga negara biasa? Bagaimana berani mengkritik jika ancamannya dikerangkeng karena semena-mena dianggap merintangi penyidikan.
(Oleh: Kardono Ano Setyorakhmadi)
Mulai aneh. Narasi negatif adalah bagian dari kebebasan bicara. Bahkan kalau dibayar untuk ini pun ga jelas pidananya apa.
— NasiAking (@NasiAking234) April 22, 2025
menyampaikan pembelaan dan narasi yang berbeda dengan proses penyidikan dan penuntutan, mengapa dianggap merintangi penyidikan?
— M. Fatahillah Akbar (@mfatahilahakbar) April 22, 2025
Apakah dengan narasi2 tersebut, menjadi sulit melakukan penyidikan ya? terhambat?
Dosen FH UI lagi dijerat.. goks bener ini kasus. https://t.co/MMqb7tXy47
gilak anjir.. media massa skrg bisa di kriminalisasi jg?.. lebih parah dari rezim jokowi ini mah.. bentar lagi tempo yang kena ini..
— Ojan (@OjanInter) April 22, 2025