Catatan Agustinus Edy Kristianto:
Mungkin otak saya terlalu bodoh untuk percaya perkataan Ray Dalio—pendiri firma hedge fund Bridgewater Associates—di Istana Kepresidenan (Jumat, 7 Maret 2025). Dalam pertemuan yang momentumnya berdekatan dengan kumpul 12 taipan tanah air (Nagantara) bersama Presiden Prabowo Subianto, Dalio menyatakan bahwa kehadirannya di Indonesia bukan untuk uang, melainkan karena inspirasi untuk membantu Indonesia.
Saya memahami bahwa sahabat dekat Prabowo ini membutuhkan penerimaan politik di Indonesia, tetapi tetap saja, narasi "tidak butuh uang" terdengar terlalu bombastis. Jujur saja, kalau mengakui bahwa ia datang demi uang, semua orang juga akan maklum. Sebaiknya tak perlulah bicara seperti itu. Tak ada gunanya juga. Kalau "demi inspirasi" mungkin masih masuk akal—inspirasi cuan!
Mana ada orang hedge fund tidak butuh uang? Bridgewater itu bukan lembaga amal. Para investor yang menyimpan dananya di Bridgewater—baik individu ultrakaya maupun institusi tajir global—pasti tidak berharap pahala, tetapi keuntungan.
Bahkan, semakin sering media membesar-besarkan Aset Kelolaan (Asset Under Management/AUM) Danantara yang diklaim mencapai USD 980 miliar (Rp15.680 triliun), semakin besar keuntungan elite pengelola investasi Danantara, bukan rakyat miskin. Kenapa? Karena dalam industri investasi, semakin besar AUM, semakin besar fee!
Banyak pintu bagi Ray Dalio untuk menangguk untung dari Danantara. Jika ia masuk sebagai hedge fund manager dalam pengertian tradisional (meskipun skenario ini agak mustahil), maka ada dua jenis fee standar industri yang bisa ia peroleh: Fee Manajemen (1-2% dari AUM per tahun) dan Fee Kinerja (15-20% dari keuntungan tahunan).
Mari kita hitung. 1% dari USD 980 miliar = USD 9,8 miliar (Rp 156 triliun) per tahun. Jika return Danantara 10% per tahun (USD 98 miliar), maka 15%-nya adalah USD 14,7 miliar (Rp 235 triliun). Total fee tahunan: Rp 392 triliun.
Bagaimana jika Dalio tidak mengelola seluruh Danantara, tetapi hanya sebagian—misalnya USD 200 miliar? Fee Manajemen 0,5% = USD 1 miliar (Rp 16 triliun). Fee Kinerja 10% dari return 10% = USD 2 miliar (Rp 32 triliun). Total Fee = USD 3 miliar (Rp 48 triliun) per tahun.
Bisa juga melalui skema konsultasi dan advisory fee, misalnya Consulting fee = USD 100-500 juta per tahun atau Success fee = 1-2% dari nilai proyek yang berhasil diinvestasikan.
Selain fee, Ray Dalio juga bisa masuk sebagai investor langsung dengan berbagai model hedge fund: Membeli obligasi Danantara dengan bunga menarik (8-12%), Structured finance (pembiayaan proyek dengan proteksi downside), Co-investment (membiayai proyek dengan bagi hasil tertentu). Misalnya, jika Bridgewater menanamkan USD 10 miliar (Rp 160 triliun) dalam proyek Danantara dan mendapatkan return konservatif 15% per tahun, maka mereka akan memperoleh USD 1,5 miliar (Rp 24 triliun) per tahun—cukup lumayan.
Banyak peluang dan akses ke pemerintah serta taipan Nagantara yang bakal memberikan "inspirasi cuan" buat Ray Dalio dan Bridgewater.
Menurut data historis per 2024, Bridgewater memiliki dana kelolaan (AUM) sebesar USD 124 miliar (Rp 1.984 triliun). Saya mengecek Formulir 13F di Securities and Exchange Commission (SEC) AS, dan menemukan bahwa per 31 Desember 2024, total nilai portofolio yang dilaporkan Bridgewater adalah USD 21,8 miliar dengan 691 posisi aset.
Hanya 17,6% dari total dana kelolaan Bridgewater yang dilaporkan sebagai ekuitas yang diperdagangkan secara publik. Kepemilikan terbesar mereka adalah ETF: SPDR S&P 500 ETF Trust (SPY), iShares Core S&P 500 ETF, iShares Core MSCI Emerging Markets ETF (IEMG) serta saham Alphabet Inc (GOOGL) dan NVIDIA Corporation (NVDA). Sisanya, 82,4% dari dana kelolaan Bridgewater (USD 102 miliar / Rp 1.634 triliun), kemungkinan besar dialokasikan ke: Obligasi dan instrumen pendapatan tetap (50-60%), Komoditas dan derivatif lindung nilai (15-20%), Private equity dan structured financing (10-15%), Aset lain (5-10%).
👉Pokoknya, hedge fund global seperti Bridgewater selalu mencari cara agar tetap untung dalam kondisi apa pun (All Weather Fund). Bahkan jika terompet kiamat berbunyi, mereka masih akan menemukan peluang profit.
Inilah kenapa Danantara sangat cocok bagi Bridgewater. Hedge fund seperti mereka selalu punya strategi hedging (lindung nilai), misalnya Takut harga komoditas naik? Beli kontrak berjangka (futures) sekarang. Takut harga bensin naik? Beli saham perusahaan minyak agar keuntungan dari kenaikan harga saham menutupi biaya bensin. Takut harga saham turun? Short selling (pinjam saham lalu jual, beli kembali saat harga turun). Takut negara gagal bayar utang? Pakai asuransi obligasi Credit Default Swap (CDS).
Dan ini masuk akal karena Bridgewater kemungkinan besar akan menyerap obligasi Danantara, apalagi jika ada embel-embel hijau dan berkelanjutan. Selain itu, mereka juga bisa masuk sebagai mitra pendanaan proyek infrastruktur dan energi. Cuma ya, waspada saja aksi para spekulan obligasi. Jika mereka mulai bermain short selling atau derivatif terhadap obligasi Danantara, bisa jadi biaya utang kita meningkat secara artifisial. Krisis Asia 1997, Rusia 1998, Krisis Keuangan Gobal 2008 (Lehman Brothers & CDS) jadi pelajaran.
Bisnis hedge fund seperti Ray Dalio itu sah-sah saja. Danantara sebagai proyek investasi global juga tidak masalah. Tapi, jangan meremehkan publik Indonesia dengan bilang tidak datang untuk uang.
Saya pribadi setuju Indonesia harus jadi pemain bisnis global yang kuat. Tapi syaratnya jelas: korupsi dan kemunafikan pejabatnya harus diberantas dulu. Masalahnya, saya ragu Danantara bebas dari korupsi dan kemunafikan itu!
Buat Ray dan calon investor asing lainnya, saya punya kisah. Baru-baru ini kawan saya seorang advokat bercerita ada seorang pengusaha kapal dari negeri jiran berurusan dengan penegak hukum Indonesia. Dimintalah 'uang beres-beres' Rp 3 miliar yang padahal disanggupi, tapi ketika hendak diberikan malah naik jadi Rp 5 miliar. Si pengusaha keberatan angka segitu. Akhirnya apa? Beberapa waktu kemudian semua surat dan bukti kepemilikan atas seluruh aset kapalnya sudah berubah atas nama orang lain.
Salam.