Snobisme atau Apa Arti Kemewahan
Oleh: Made Supriatma
Telah lama saya berpikir tentang hal ini. Apa sih sebenarnya arti kemewahan itu? Mengapa orang mau bayar US$100 ribu (1,5 milyar) hanya untuk sebuah tas kecil, yang oleh orang yang tidak mengerti itu akan dianggap sebagai barang tak berguna? Atau sebotol anggur seharga US$70 ribu (1 milyar)? Kabarnya, anggur ini sudah tua dan rasanya pun masam karena disimpan terlalu lama.
Mengapa orang rela membuang uang sedemikian banyak untuk sesuatu yang mereka bisa dapatkan hanya dengan 0,0001% harga? Misalnya, Omakase yang dimakan mantu presiden itu. 15-course meal atau 15 jenis makanan (porsinya kecil-kecil) seharga 13 juta!
Dan itu terjadi di negara yang rata-rata UMR 3 juta rupiah saja. Perlu 4 bulan lebih untuk seorang buruh upah minimum untuk bisa makan 15-course meal itu.
Psikolog dan ekonom mungkin bisa menjelaskan fenomena ini dengan lebih baik. Penjelasan gampangnya menurut saya adalah: status! Orang-orang superkaya ini, yang mendapatkan uang dengan sangat mudah (uang yang mendatanginya, bukan sebaliknya) merasa perlu mendapatkan 'competitive edge' atau keunggulan kompetitif.
Lalu, mereka berkompetisi dengan siapa? Ya dengan sesama orang kaya yang dikejar-kejar duit sehingga bingung untuk menghabiskannya. Di kalangan orang-orang ini, perlombaan untuk menjadi siapa yang lebih classy, siapa yang lebih mewah, siapa yang lebih punya selera, sangatlah tinggi.
Apa saja bisa jadi bahan kompeitisi. Halah, cuman skincare segitu. Punya gw langsung dari Paris! Memang sih kompetisi semacam ini tidak hanya terjadi di kalangan elit super kaya.
Ia terjadi di semua tingkatan. Termasuk di kalangan kaum kere. "Halah cuman hand body Pipa (Viva) aja ...," begtu sering saya dengar di toko Bapak saya ketika kecil ketika buruh pabrik rokok Panamas berbelanja.
Balik ke soal menantu itu tadi, ada kawan yang menanyakan, apakah dia nggak tahu apa yang dia lakukan? Kan kemarin dia dan suaminya sudah dirujak habis-habisan oleh khalayak? iki konslet po ra nduwe utek? begitu tanyanya sarkastik.
Saya cenderung menjawab: tidak keduanya. Untuk memahami ini, saya kira sangat penting kita menengok lagi bacaan-bacaan lama seperti studinya Hildred Geetz (The Javanese Family) atau Saya Siraishi tentang keluarga Jawa di masa Orde Baru (Silahkan Masuk, Silahkan Duduk), atau karya etnografi yang sangat jenial dari James T. Siegel (Solo in the New Order), atau John Pamberton (On the Subject of Java). Ini semua studi-studi lama yang dianggap ketinggalan jaman di studi antropologi.
Namun, menurut saya, pengetahuan tentang keluarga itu saja tidak cukup. Anda harus memfaktorkan itu dengan kekuasaan dan kekayaan. Barulah Anda bisa mengerti "Omakase 13 juta" ini dan paham bagaimana persaingan-persaingan untuk saling "umuk" ini berlangsung secara dinamis di dalam sebuah keluarga Jawa.
Juga akan bisa mengerti mengapa lakon "Keluarga Mulyono" ini tidak akan hilang dari pusaran hidup sosial ekonomi dan politik kita. Inilah yang kita dapatkan dari sebuah dinasti!
Apakah kita pantas mendapatkannya? Itu soal lain. Pilihannya hanya ada dua: lidah panjang untuk menjilat atau lengan baju disingsingkan untuk melawan -- termasuk yang melanjutkan dinasti ini!
(*)