"CALON BONEKA" PILKADA JAKARTA
Oleh: Faisalohy
Saya tetap menggunakan terminologi "Kotak Kosong" untuk Pilkada Jakarta. Meskipun pada 15 Agustus kemarin, KPU telah meloloskan Dharma Pongrekun sebagai calon lewat jalur independen.
Lolosnya Dharma adalah bagian dari strategi Jokowi dan Prabowo untuk menghindari kritikan rakyat yang memang sudah bisa membaca perilaku politik premanisme keduanya menyalin pilkada Jakarta ke dalam skenario kotak kosong.
Hadirnya Dharma praktis menggagalkan skenario kota kosong. Itulah skenario alternatif mereka, Dharma didorong maju sebagai kompetitor melawan Ridwan Kamil agar Jokowi dan Prabowo bisa terlepas dari tudingan pengrusakan demokrasi pilkada Jakarta.
Artinya, Ridwan kamil versus Dharma, game over. Ridwan kamil pasti menang. Ini bukan lagi pertarungan popularitas, elektabilitas dan gagasan dalam memperebutkan pilihan rakyat secara profesional, jujur dan adil. Dharma yg sengaja dipasang sebagai "calon boneka", adalah wujud kecurangan Prabowo dan Jokowi untuk manipulasi pilkada jakarta agar terlihat demokratis.
Skenario loloskan Dharma, patut dicurigai turut melibatkan KPU di dalamnya. Aneh jika ditelisik keputusan KPU loloskan Dharma maju sebagai calon independen.
Awalnya, pada Juli lalu, Dharma dinyatakan tidak lolos verifikasi faktual lantaran dari 721.221 data dukungan administratif yg diserahkan, hanya 183.001 yg dinyatakan memenuhi syarat secara faktual. Artinya masih kurang 538.178 data dukungan.
Dharma melakukan perbaikan dan kembali menyerahkan 826.766 data dukungan. Pada 15 Agustus, KPU memutuskan 494.467 memenuhi syarat. Ditambah dengan verifikasi faktual pertama 183.001 jadi 677.468.
Namun KPU dinilai melakukan manipulasi data untuk loloskan Dharma. Keputusan KPU ditentang dan kritik banyak kalangan terkait tindak pidana pencatutan. Termasuk Anies Baswedan sendiri. Kedua anaknya dicatut NIK-nya oleh Dharma untuk didaftarkan ke KPU. Setelah diprotes Anies, KPU kemudian menghilangkan NIK keduanya dari daftar verifikasi faktual yg memenuhi syarat dukungan Dharma.
Artinya, KPU tidak melakukan verifikasi faktual ke lapangan, bertemu dengan kedua anak Anies sebagai pemilik NIK untuk memastikan kebenaran dukungan. Selain kedua anak Anies, banyak warga Jakarta mengeluh dan melaporkan data diri mereka dicatut Dharma dan diloloskan KPU.
Menurut Keputusan KPU Nomor 532 Tahun 2024, verifikasi faktual adalah tindakan lapangan atau menggunakan teknologi informasi untuk mencocokkan nama dan alamat pendukung dalam formulir yg disampaikan.
Dalam proses ini, pendukung harus memperlihatkan wajah yg jelas dengan KTP-el, surat keterangan berupa biodata penduduk, atau Identitas Kependudukan Digital.
Dengan adanya kasus pencatutan ini menunjukan KPU tidak melakukan verifikasi terhadap data pendukung yg disodorkan oleh Dharma. Patut dicurigai, KPU terlibat dalam skenario manipulasi data pendukung untuk loloskan Dharma.
Dua hari setelah keputusan KPU meloloskan Dharma, sudah ada 205 laporan pencatutan yg diterima Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI). Selain itu juga sudah ada puluhan laporan pencatutan ke Bareskrim Mabes Polri. KPU bahkan dilaporkan datang ke warga jakarta tidak untuk verifikasi faktual dukungan ke Dharma. Melainkan lakukan coklit daftar pemilih tetap. Sungguh penipuan yg nyata.
Jumlah pencatutan ini bisa saja terus bertambah. Banyak warga yg tidak tau NIK KTP-nya digunakan Dharma secara sepihak dan KPU tanpa melakukan verifikasi faktual, meloloskannya sebagai data sah pendukung Dharma.
Kini Dharma dan KPU Jakarta, harus menghadapi gelombang kritik warga yg sebagian besar mempertanyakan dan menolak NIK mereka digunakan serta diloloskan sebagai data pendukung kompetitor Ridwan Kamil di Jakarta.
Klarifikasi KPU sangat "membagongkan". NIK warga Jakarta yg terpampang di website informasi pilkada Jakarta digabungkan antara data administrasi dan verifikasi faktual. Dikiranya masyarakat ini bego. Kenapa harus dijadikan satu. Kenapa tidak ditampilkan secara terpisah. Kalau dijadikan satu, bagaimana dapat dibedakan antara data adminsitrasi dan verifikasi faktual.
Akal busuk seperti ini, semakin mempertegas buruknya profesionalitas, integritas dan moral KPU. Bertindak seolah langkah-langkah prosedural dijalankan dengan baik. Padahal menjadi bagian dari skenario kekuasaan yg manipulatif.
Lalu bagaimana tanggapan Bawaslu. Dengan gampangnya mengatakan, kami terlibat dalam semua prosesnya. Tapi kami hanya melakukan pengecekan secara faktual maksimal untuk 10 KTP di setiap kelurahan. Alasannya, jumlah data pendukungya terlalu banyak. Makanya hanya disampling saja.
Sampling secara minoritas 10 identitas di setiap kelurahan adalah langkah konyol yg makin memudahkan Dharma dan KPU memanipulasi data pendukung yg jumlahnya lebih dari 700.000.
Langkah konyol ini yg pada akhirnya membuat masyarakat DKI yg merasa NIK KTP-nya dicatut tidak mau mengikuti himbauan untuk melaporkan pencatutan ke Bawaslu. Mereka menilai Bawaslu juga merupakan bagian sari skenario kekuasaan dan KPU memanipulasi lolosnya calon jongos Dharma. Masyarakat lebih memilih melapor ke PBHI dan Bareskrim.
Dengan ini, saya tetap ngotot menggunakan terminologi Kotak Kosong Pilkada Jakarta. Ridwan kamil versus Dharma = Ridwan kamil melawan kotak kosong. Karena Dharma bukan dimunculkan bukan sebagai kompetitor, bukan sebagai lawan Ridwan Kamil. Tapi sebagai calon boneka untuk suksesi kemenangan Ridwan Kamil.
Kembali ke kalimat awal. Pilkada Jakarta udah selesai. Rakyat ga usah milih. Percuma. Udah ketahuan siapa yg menang.
Inilah kenyataannya, Jokowi dan Prabowo yg saat ini memang berjaya memegang kendali politik nasional, secara nyata menggunakan kuasa mereka untuk merancang penghancuran demokrasi secara sistematis dan terstruktur demi memenuhi ambisi dominasi kekuasaan di level nasional dan Jakarta.
Demokrasi indonesia yg liberal dan transaksional memang memberi jalan kepada para elit untuk bergerombol menurut kesamaan orientasi untuk memburu dan mempertahankan dominasi kekuasaan jangka panjang.
Termasuk memberi jalan para elit bertindak layaknya preman menggunakan cara-cara kriminal untuk mewujudkan ambisi pribadi dan kelompok. Rakyat bagaimana? Mampus juga bodoh amat.
(*)