Oleh: Ahmad Khozinudin
Ormas Muhammadiyah akhirnya memutuskan mengikuti langkah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dengan menerima izin usaha pertambangan (IUP). Sikap persyarikatan Muhammadiyah, telah dikonfirmasi oleh salah satu Pimpinan Muhammadiyah, Anwar Abas, yang menyatakan hal itu sudah diputuskan dalam rapat pleno PP Muhammadiyah.
Hanya saja, Muhammadiyah memberikan catatan dalam dua aspek dalam isu penambangan ini, yakni aspek pelestarian lingkungan dan dampak bagi masyarakat disekitar lokasi tambang. (Tempo, Kamis, 25/7/2024).
Secara terpisah, Sekretaris Umum Muhammadiyah Abdul Mu'ti lewat akun Instagramnya, Kamis (25/7/2024), mengkonfirmasi bahwa PP Muhammadiyah membenarkan sudah ada tawaran pengelolaan tambang yang disampaikan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia. Namun, Muhammadiyah baru akan menyampaikan keputusan resmi mengenai pengelolaan tambang tersebut pada akhir pekan ini.
Sebelumnya, PBNU telah lebih dahulu menyatakan menerima tawaran pemerintah untuk mengelola tambang bagi ormas keagamaan. Kebijakan ini digulirkan, melalui Penerbitan Perpres Nomor 76 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Perpres Nomor 70 Tahun 2023 Tentang Pengalokasian Lahan Bagi Penataan Investasi.
Dalam Perpres Nomor 76 Tahun 2024 tersebut, diantaranya memuat aturan soal teknis pelaksanaan izin tambang untuk organisasi masyarakat (ormas) keagamaan. Pada pasal 5A ayat 1, dijelaskan bahwa wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK) yang berasal dari wilayah eks Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dapat dilakukan penawaran secara prioritas kepada badan usaha yang dimiliki oleh ormas keagamaan.
Kebijakan ini, sebenarnya adalah bagian dari manuver politik rezim Jokowi untuk membungkam Ormas yang selama ini aktif menjalankan dakwah amar ma'ruf nahi mungkar. Selama ini, telah banyak kemungkaran dalam pengelolaan tambang yang tidak dikelola dengan syariat Islam, yang dikelola dengan sistem sekulerisme kapitalis, yang berdampak pada kerusakan lingkungan, rusaknya ekosistem sosial masyarakat sekitar, pemiskinan rakyat secara sistematis, dan hanya menambah kaya raya oligarki tambang, baik oligarki domestik, asing maupun aseng.
Dalam pengelolaan tambang, juga sarat dengan korupsi yang merugikan keuangan negara. Kasus korupsi sektor tambang timah sebesar Rp270 triliun di Bangka, termasuk penyelundupan tambang nikel sampai 5,3 juta ton, adalah kemungkaran yang seharusnya dicegah.
Dengan mengumpan izin tambang bagi ormas, melibatkan ormas dalam berbisnis tambang, akan menjadikan lidah ormas kelu, tak akan lagi menjalankan aktivitas dakwah amar ma'ruf nahi mungkar. Ibaratnya, rezim Jokowi memberikan permen receh bagi ormas agar tidak ribut dengan berbagai kerusakan tata kelola pertambangan. Rezim Jokowi 'menyuap' ormas, dan sayangnya ormas menerima suap receh kebijakan rezim Jokowi ini dengan riang gembira tanpa menyadari bahayanya bagi masa depan bangsa.
PBNU dan Muhammadiyah semestinya tidak latah nimbrung bisnis tambang. Bahkan, PBNU dan Muhammadiyah yang merepresentasikan Islam, seharusnya terdepan mendorong negara untuk mengambil alih seluruh tambang dengan deposit melimpah, karena terkategori milik umum (Al Milkiyatul Ammah), sebagai sumber penerimaan APBN. Bukan malah mengobral tambang untuk kepentingan swasta, asing dan aseng.
Pengelolaan tambang oleh individu, swasta, asing dan aseng sangat bertentangan dengan Islam. Sebagai ormas Islam, semestinya NU dan Muhammadiyah menentang kebijakan zalim ini, yang menjadikan kekayaan alam Indonesia hanya dinikmati para oligarki tambang. Bukan malah ikut meraup dan mengeruk tambang, yang tidak sah menurut Islam dikelola oleh jama'ah atau persyarikatan, karena wewenang untuk mengelola harta milik umum hanya ada pada Negara/Daulah.
Bahan galian tambang merupakan sumber bumi terpenting yang harus mendapatkan perhatian khusus karena betapa berharganya bahan tersebut di mata dunia. Al-Quran dan al-Hadis pun menunjukkan betapa pentingnya membangun sebuah industri yang bisa menghasilkan dan mengolah kekayaan alam berupa bahan galian tambang di dalam perut bumi.
Menurut Imam Taqiyuddin an-Nabhânî, hutan dan bahan galian tambang yang tidak terbatas jumlahnya (depositnya melimpah) adalah milik umum dan harus dikelola oleh negara. Hasilnya harus diberikan kembali kepada rakyat dalam bentuk bahan yang murah berbentuk subsidi untuk berbagai kebutuhan primer masyarakat atau warga negara semisal pendidikan, kesehatan dan fasilitas umum.
Dalam Islam kepemilikan dibagi berdasarkan tiga bentuk: Pertama, kepemilikan individu (private property). Kedua, kepemilikan umum (collective property). Ketiga kepemilikan negara (state property). Dari ketiga bentuk kepemilikan tersebut, bahan galian tambang adalah merupakan hak kepemilikan umum dan haram diserahkan kepemilikannya kepada individu/korporasi.
Islam sebagai sebuah ideologi yang sempurna, memiliki sistem ekonomi yang khas. Di dalamnya ada konsep bagaimana mengelola sumber daya alam milik umat.
Menurut pandangan Islam, hutan, air, dan energi adalah milik umum. Ini didasarkan kepada hadits Rasulullah SAW:
‘‘Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput dan api“ (HR Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah) (Imam Asy Syaukani, Nayl al Authar, halaman 1140)
Dari hadist di atas, segala model pengelolaan SDA yang mampu menghilangkan status SDA beralih dari milik umum menjadi milik pihak lain (swasta atau perorangan) maka hukumnya terlarang. Tambang dengan deposit melimpah, adalah milik umum sehingga wajib dikelola oleh negara, tidak boleh dikelola individu, korporasi atau ormas.
Harusnya, hal inilah yang diserukan oleh PBNU dan Muhammadiyah. Bukan malah nimbrung ikut mengelola tambang.
Pada Januari 2023 lalu, penulis bersama Tim dari Koalisi Persaudaraan & Advokasi Umat (KPAU) dengan tim Ekonomi Muhammad Ishaq, telah menghitung potensi pendapatan negara dari sumber kekayaan alam Indonesia jika dikelola dengan syariah Islam, sebagai berikut:
1. Batubara Indonesia memiliki jumlah cadangan hingga 37.6 miliar ton, dengan harga jual US$ 318 per Ton, dengan biaya prosuksi hanya US$ 30 Per ton. Jika 1 US$ kursnya Rp.15,200, maka Indonesia memiliki potensi pendapatan dari Batubara sebesar Rp. 167,840,572 triliun. Saat ini, produksi Batubara mencapai 687 juta ton per tahun. Itu artinya, ada pendapatan Batubara sebesar Rp. 3,007 triliun per tahun.
2. Gas Alam Indonesia memiliki jumlah cadangan hingga 62 Miliar MMbtu, dengan harga jual US$ 20.15 per MMbtu, biaya prosuksi US$ 5 per MMbtu. Jika 1 US$ kursnya Rp.15,200, maka Indonesia memiliki potensi pendapatan dari Gas Alam sebesar Rp. 5,635 triliun. Saat ini, produksi Gas Alam Indonesia mencapai 2.1 miliar MMbtu per tahun. Itu artinya, ada pendapatan Gas Alam sebesar Rp. 483 triliun per tahun.
3. Emas Indonesia memiliki jumlah cadangan 2,600 ton, dengan harga jual US$ 60,999,996 per ton, biaya produksi US$ 1,344,000 per ton. Jika 1 US$ kursnya Rp.15,200, maka Indonesia memiliki potensi pendapatan dari Emas sebesar Rp. 167,840,572 triliun. Saat ini, produksi batubara mencapai 687 juta ton per tahun. Itu artinya, ada potensi pendapatan sebesar Rp 2,097 triliun dari cadangan Emas Indonesia. Saat ini, produksi Emas 70 ton per tahun dengan pendapatan Rp. 63 Triliun per tahun.
4. Nikel Indonesia memiliki jumlah cadangan 81 juta ton, dengan harga jual US$ 28,195 per ton, biaya produksi US$ 1,111 per ton. Jika 1 US$ kursnya Rp.15,200, maka Indonesia memiliki potensi pendapatan dari Nikel sebesar Rp. 20,568,643 triliun. Saat ini, produksi Nikel mencapai 1,6 juta ton per tahun. Itu artinya, ada pendapatan nikel Rp. 659 Triliun per tahun.
5. Kekayaan Laut Indonesia menurut perhitungan Prof Rohmin Dahuri memiliki cadangan kekayaan senilai US$ 1,330 miliar. Jika 1 US$ kursnya Rp.15,200, maka Indonesia memiliki potensi pendapatan dari Kekayaan Laut sebesar Rp. 18,886 triliun. Jika diasumsikan, per tahun tergarap 10 % nya, maka Indoensia mendapatkan kekayaan dari hasil laut sebesar 18,886 triliun per tahun.
6. Kekayaan hutan Indonesia menurut perhitungan Prof Fahmi Amhar memiliki hutan 100 juta hektar. Jika per pohon nilainya 1 juta, per pohon x 20 pohon/ha, maka akan ada potensi 2,000 triliun. Jika yang ditebang separuhnya saja per tahun dari potensi tersebut, maka akan didapat pendapatan dari hasil hutan sebesar Rp. 1,000 triliun per tahun.
Jika dihitung secara total, maka dari 6 (enam) kekayaan alam tersebut didapatkan potensi cadangan pendapatan sebesar Rp. 20,655,696 triliun dan yang berhasil di ekspoitasi produksinya menghasilkan Rp. 7.101 triliun per tahun.
Saat kekayaan alam kita dikelola oleh syariah Islam, kebutuhan anggaran Rp 3.500 triliun per tahun itu bisa dicukupi tanpa menarik pajak dan tidak perlu utang hingga Rp 600 T untuk menutupi anggaran makan siang gratis. Bahkan, utang negara bisa dilunasi hanya dalam waktu 3 tahun APBN.
Apakah PBNU dan Muhammadiyah telah menyampaikan seruan dakwah ini?
(*)