Whoosh (Kereta Cepat Jakarta Bandung/KCJB) menghemat BBM Rp3,2 triliun/tahun. Menyumbang Rp86,5 triliun untuk Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jakarta dan Jawa Barat 2019-2023. Sudah ditumpangi 4 juta orang sejak beroperasi tahun lalu.
Itu klaim Menteri BUMN Erick Thohir akhir pekan lalu.
Ia juga unggah di IG, foto dirinya tengah berbincang akrab di Whoosh, bersama Jokowi dan istrinya, dalam perjalanan ke Jakarta setelah membuka Piala Presiden di Bandung.
Mau dicitrakan bahwa kedekatan si menteri dengan presiden melebihi dekatnya presiden dengan urat lehernya sendiri. Maka suara si menteri lebih didengar oleh presiden melampaui suara hati presiden sendiri.
Ujungnya kira-kira mau bilang: "Bantuin gue lanjut jadi menteri BUMN, dong."
Belum ada media yang kejar bagaimana kalkulator menteri menghitung penghematan Rp3,2 triliun itu.
Jika alasannya karena penggunaan energi listrik, ada baiknya ditanyakan, dari mana asal listrik itu. Jangan-jangan ada bisnis pembangkit listrik batubara besutan perusahaan kakak sang menteri.
Klaim dan pencitraan bagi pejabat merangkap politisi dan pengusaha semacam itu sebenarnya sebiasa orang menghirup nafas sehari-hari tanpa perlu berpikir. Yang harus berpikir itu kita!
Rp86,5 triliun PDRB itu hitungan apa? Dirasakan oleh masyarakat kecil tidak? Jangan-jangan sama melompongnya dengan klaim lembaga riset ekonomi salah satu kampus negeri di Depok yang dekannya pernah merangkap jadi komisaris bank BUMN yang bilang kontribusi GOTO untuk perekonomian nasional mencapai Rp428 triliun.
Belakangan, saya duga, riset itu digunakan sebagai salah satu narasi pendorong BUMN Telkomsel menyetor Rp6,4 triliun ke GOTO yang terus merugi itu. Agar transaksi terlihat seolah masuk akal, prospek cerah, kredibel, dan intelek.
Padahal, sederhana saja: contoh penghematan paling nyata adalah jika waktu bisa diulang dan Rp6,4 triliun itu tidak pernah masuk rekening perusahaan kakak menteri itu.
Dengan logika yang sama maka penghematan Rp110,16 triliun (total biaya proyek) akan terjadi jika proyek kereta cepat, yang balik modalnya konon 40 tahun itu, tidak pernah ada.
Jika proyek Whoosh tidak ada maka utang Rp79 triliun ke China Development Bank (CBD) juga tidak ada.
Jika utang tersebut tidak ada maka bunga 3,4% tenor 30 tahun ke kreditur China itu tidak ada.
Jika bunga tidak ada maka takkan ada pembayaran utang pokok plus bunga Rp226,9 miliar yang menggemukkan kas bank China itu.
Racun yang diaduk di dalam gelas es teh manis khas Solo tetaplah racun. Ia tak berubah jadi gula aren.
Pemerintah kerap melakukan kebijakan menanam petaka yang akan berbuah badai di masa depan untuk anak-cucu kita.
Klaim menteri BUMN adalah 'ilusi' jika melihat fakta babak belurnya BUMN yang terlibat dalam proyek Whoosh seperti PT Wijaya Karya Tbk (WIKA).
Harga sahamnya turun drastis 71,5% sejak awal 2024 (ytd).
Total utangnya bengkak jadi Rp56,2 triliun (LK Triwulan I Tahun 2024), yang terbesar adalah utang jangka panjang Rp25 triliun dan obligasi Rp7,7 triliun.
Di laporan ekuitas, defisit mencapai Rp8,3 triliun.
Sebagian besar utang jangka panjang itu ditanggung oleh bank-bank BUMN juga: Bank Mandiri Rp7,8 triliun, BRI Rp1,9 triliun, BNI Rp1,7 triliun.
Proyek Whoosh jelas bikin WIKA sempoyongan. Setoran modal WIKA ke PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI)---sebagai operator Whoosh bersama Beijing Yawan HSR Co. Ltd di bawah bendera PT Kereta Cepat Indonesia China---mencapai Rp6,1 triliun.
Lalu ada dispute Rp5,01 triliun akibat klaim atas cost overrun (pembengkakan biaya).
Coba kita tanya, selain kasih bunga utang 3,4% selama 30 tahun dan sebuah persekutuan bisnis yang memukul limbung BUMN WIKA, pihak China sudah kasih apa lagi ke Indonesia?
WIKA bak BUMN yang digagahi oleh bapaknya sendiri sekadar untuk si bapak terlihat gagah di depan orang yang ingin dijilatnya.
Salam.
(AGUSTINUS EDY KRISTIANTO)