Ribuan Ibu Muda di Jombang Ajukan Cerai, Alasannya Suami Tak Pernah Menafkahi, BAGAIMANA MENURUT SYARIAT ISLAM?

Sikap Istri jika Suami Tidak Mampu Memberi Nafkah (Kajian Fiqh & Aturan di Indonesia)

Oleh: Holilur Rohman

Secara normatif, jika suami tidak mampu memberi nafkah kepada istri, maka pilihannya istri tetap bersabar dg tidak menggugat cerai (fasakh) sembari terus berusaha, misal istri ikut bekerja, atau suami disupport bekerja, atau pilihannya istri menggugat cerai melalui Hakim walaupun suami tidak mau menceraikannya. Dalam kitab Syarah Muhadzzab dijelaskan:

وان أعسر بنفقة المعسر كانت بالخيار بين أن تصبر وبين أن تفسخ النكاح (بلقاضى أو المحكم)

“Jika (seorang suami) tidak mampu memberi nafkah (untuk istrinya secara mu'sir), maka (istrinya tersebut) diberi pilihan antara bersabar (dengan keadaan suaminya) atau memfasakh nikahnya melalui qodhi/hakim atau melalui muhakkam (tokoh masyarakat yang mengerti tentang hukum).” (Majmu' Syarah Muhadzdzab : 18/268)

Dalam kitab Nihayatuz Zain dijelaskan, ukuran tidak mampu dibatasi minimal 3 hari 3 malam. Artinya, jika lebih 3 hari 3 malam suami tidak bisa memberi nafkah, maka istri bisa menceraikannya melalui Hakim.

Hal ini juga sama dengan aturan di Indonesia, baik di UU No 1 tahun 1974 maupun di KHI (Kompilasi Hukum Islam), bahwa salah satu alasan boleh menggugat cerai dalag jika suami tidak memberi nafkah. Ditegaskan lagi di SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) no 1 tahun 2022, yang dimaksud tidak bisa memenuhi kewajiban nafkah adalah minimal 12 bulan.

Baik di fiqh ataupun aturan di Indonesia, sama penjelasannya bahwa suami yang tidak bisa memenuhi kewajibannya memberi nafkah bisa menjadi salah satu alasan perceraian melalui Hakim. Bedanya, di kitab Fiqh ada penjelasan minimal 3 hari, sedang di aturan (SEMA) minimal 12 bulan. Tentu hal ini disesuaikan dengan keadaan masing-masing suami istri, dan dilihat kemaslahatan yang akan dicapai untuk suami istri serta anaknya.

Satu hal yang penting, perceraian merupakan solusi terakhir ketika perseoalan keluarga tidak bisa diselesaikan. Selama masih bisa dipertahankan dengan cara bermusyawarah, saling bekerja sama, dan meniatkan nikah untuk ibadah, maka lebih baik mempertahankan pernikahan.

Kajian Kitab Kuning
Maqasid Syariah

Supportd by HKI FSH UIN SA

Baca juga :