Pemilihan Presiden dan Keberlanjutan IKN
Oleh: Yusuf Wibisono
(Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies)
Menjelang pemilihan presiden 2024, keberlanjutan megaproyek Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara menjadi isu panas. Berbeda dengan calon presiden Prabowo Subianto, yang dalam dokumen visi-misinya secara eksplisit menyatakan akan melanjutkan pembangunan IKN, dan bahkan calon presiden Ganjar Pranowo menyatakan akan mempercepat penyelesaian IKN, calon presiden Anies Baswedan tidak menyebutkan IKN sama sekali dalam visi-misinya.
Terlepas dari janji dan posisi para calon presiden hari ini, IKN adalah warisan Presiden Joko Widodo yang akan menyulitkan siapa pun presiden terpilih mendatang. Terdapat beberapa alasan untuk hal ini.
Pertama, megaproyek IKN membutuhkan anggaran yang sangat besar.
Dalam perencanaan awal, dibutuhkan Rp 466 triliun untuk membangunnya dengan APBN hanya menanggung 20 persen kebutuhan pembiayaan.
Namun, dengan lemahnya daya tarik IKN bagi modal swasta, APBN berpotensi menanggung mayoritas atau bahkan seluruh kebutuhan pembiayaan IKN.
Banjir fasilitas dan insentif "ekstra" kepada investor, termasuk pemberian hak guna usaha (HGU) hingga 190 tahun, membawa pesan yang jelas: tidak ada investor yang tertarik masuk ke IKN.
Ketika kini sejumlah investor domestik mulai masuk, hal ini terlihat bukan sebagai investasi, melainkan lebih sebagai “biaya” yang memang harus dikeluarkan untuk kelancaran dan keberlanjutan bisnis mereka.
Dalam skenario kenaikan biaya dan seluruh pembiayaan ditanggung APBN, IKN berpotensi membebani APBN di kisaran Rp 50 triliun per tahun hingga 15 tahun ke depan.
Maka, bagi siapa pun yang terpilih sebagai presiden, melanjutkan IKN akan memberi beban yang tidak ringan kepada APBN, sehingga akan mempersempit ruang gerak presiden terpilih untuk mewujudkan program-program prioritasnya.
Kedua, IKN membutuhkan penduduk dan talenta dalam jumlah besar.
Menarik penduduk dan manusia unggul dalam jumlah masif ke sebuah kota baru adalah mustahil tanpa visi keunggulan kota, kawasan industri dan perdagangan bebas, keberadaan pusat transportasi yang besar, serta kelengkapan fasilitas hidup, dari sekolah, rumah sakit, pusat belanja, hingga tempat wisata. Kabupaten Penajam Paser Utara sebagai lokasi IKN hanya memiliki penduduk tidak sampai 200 ribu jiwa. Menarik penduduk untuk masuk dan menetap di IKN akan menjadi tantangan besar.
Sebagai perbandingan, Batam dibangun sejak 1970 dari lahan kosong dengan lokasi sangat strategis dan ditujukan untuk menyaingi Singapura serta menikmati berbagai fasilitas investasi dan kemudahan ekspor-impor. Sejak 1978 dilakukan pembangunan infrastruktur berskala besar di sana. Dengan semua keunggulan tersebut, Batam butuh tiga dekade untuk mencapai populasi di kisaran 500 ribu jiwa dan butuh lima dekade untuk mencapai 1,2 juta orang. Seandainya IKN dibangun juga, tetap tidak ada jaminan penduduk bersedia pindah ke sana. Membangun kota bukan sekadar mendirikan gedung beton dengan desain yang indah. Jika penduduk tidak tertarik pindah, IKN berpotensi menjadi "kota hantu" seperti pengalaman ibu kota baru Myanmar, Naypyidaw.
Ketiga, IKN diputuskan dan direncanakan secara sangat tidak demokratis.
Gagasan IKN baru diperkenalkan oleh Presiden Joko Widodo pada 2019 dan tanpa konsultasi publik langsung diputuskan menjadi program utama pemerintah. IKN kemudian menjadi "program prioritas" pemerintah dengan Rancangan Undang-Undang IKN ditetapkan tanpa debat publik yang memadai dan secara tergesa-gesa diserahkan ke DPR pada akhir 2021. Perencanaan IKN terlihat ala kadarnya meski ia adalah proyek jangka panjang dengan biaya sangat mahal dan memiliki implikasi sangat luas karena akan memindahkan ibu kota negara. IKN adalah megaproyek secara ekonomi, sosial, maupun politik. Selayaknya ia dibahas secara mendalam dan ditetapkan dengan sangat hati-hati. Namun, hanya dalam 43 hari, rancangan itu disahkan menjadi undang-undang pada Januari 2022. Hanya berselang setahun, pada Oktober 2023, Undang-Undang IKN direvisi, bukan untuk mengakomodasi aspirasi publik, melainkan untuk memenuhi aspirasi investor.
Puncak dari tidak demokratisnya IKN adalah pemerintahan lokal IKN yang berbentuk pemerintahan otorita tanpa kepala daerah dan DPRD yang dipilih secara demokratis. Padahal, IKN adalah daerah setingkat provinsi. Kepala Otorita IKN ditunjuk dan diberhentikan oleh presiden dengan masa jabatan yang bisa diperpanjang tanpa batas. Dengan ketiadaan DPRD, warga IKN tidak memiliki representasi sama sekali dalam pemerintahan. IKN menjadi satu-satunya daerah yang tidak demokratis di Indonesia dan ironisnya menyandang status sebagai ibu kota negara.
Sebagai salah satu negara demokrasi berpenduduk terbesar di dunia, Indonesia sejak dulu memiliki tradisi kuat dalam memfasilitasi publik untuk menyuarakan aspirasinya dengan pusat dialektika warga, yaitu di ibu kota negara, Jakarta. Jakarta adalah pusat artikulasi aspirasi publik dan menjadi saksi sejarah dari peristiwa jatuhnya Orde Lama pada 1966 hingga jatuhnya Orde Baru pada 1998. Semua itu akan berpotensi sirna ketika ibu kota dipindahkan ke IKN. IKN yang sangat tidak demokratis akan sulit memfasilitasi aspirasi publik dan debat kebijakan yang berkualitas. Lebih jauh, penduduk IKN saat ini secara kuantitas dan kualitas masih jauh di bawah penduduk Jakarta dan sekitarnya, sehingga tidak akan mampu merepresentasikan masyarakat Indonesia.
Maka, keputusan memindahkan ibu kota sejauh 2.000 kilometer dari Jakarta ke Kalimantan Timur, alih-alih mendorong pemerataan pembangunan sebagaimana klaim pemerintah, justru menjadi lebih terlihat sebagai upaya pemerintah untuk menjauhkan pembuatan kebijakan dari debat publik yang berkualitas.
Hal ini mengingatkan kita pada pengalaman Myanmar, yang memindahkan ibu kota dari Yangon ke Naypyidaw pada 2005 yang diklaim bertujuan meningkatkan keamanan negara dan mengkonstruksi identitas nasional baru tapi secara empiris lebih didasarkan pada ketidaksukaan rezim penguasa atas sejarah tradisi "nasionalisme revolusioner" yang melekat pada Rangoon.
Maka, meneruskan IKN akan menjadi beban bagi presiden terpilih mendatang, yang akan dicatat sejarah sebagai pelopor yang mengantarkan Indonesia ke era baru yang tidak demokratis.
Memindahkan ibu kota bukan hal baru di dunia. Banyak negara telah melakukannya. Seandainya pun kita memilih memindahkan ibu kota, hal tersebut harus dilakukan secara hati-hati dengan perencanaan yang mendalam dan partisipatif.
Langkah kompromi yang lebih realistis bagi presiden terpilih nanti adalah mempertahankan Jakarta sebagai ibu kota (capital city) tapi memindahkan pusat pemerintahan (seat of government) ke kawasan khusus di sekitar Jakarta, sebagaimana Kuala Lumpur dan Putrajaya di Malaysia serta Seoul dan Sejong di Korea Selatan.
Jakarta mendapatkan dukungan kuat sebagai ibu kota secara historis, spasial, ekonomi, dan politik. Memindahkan pusat pemerintahan dari Jakarta akan memperkuat dinamika bisnis dan keberlanjutan kota. Pada saat yang sama, dengan pusat pemerintahan berlokasi tidak jauh dari Jakarta, resistansi aparatur sipil negara untuk pindah akan jauh menurun, sehingga menjamin keberlanjutan dan kinerja pemerintahan.
(Sumber: Koran TEMPO, Rabu, 29 November 2023)