Pasal Berlapis Siap Menjerat Firli

Pasal Berlapis Mengarah ke Firli

Ajudan Firli Bahuri akhirnya bersaksi di Polda Metro Jaya dalam perkara dugaan pemerasan yang menjerat bosnya.

Keluar dari gedung Promoter Kepolisian Daerah Metro Jaya sekitar pukul 22.37 WIB tadi malam (13/10/2023), Kevin Egananta Joshua tak menjawab pertanyaan awak media yang menunggunya sejak siang. Raut muka ajudan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Firli Bahuri itu terlihat lesu. Lebih dari delapan jam tim penyidik gabungan Sub-Direktorat V Tindak Pidana Korupsi Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya memeriksanya sebagai saksi dalam kasus dugaan pemerasan yang disinyalir melibatkan bosnya.  

Kemarin malam, Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya Komisaris Besar Ade Safri Simanjuntak juga enggan membeberkan hasil pemeriksaan tersebut. Ade hanya menjabarkan bahwa penyidik mengusut kasus ini dengan Pasal 12e, Pasal 12b, serta Pasal 11 Undang-Undang Tidak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Pasal-pasal itu berisi tindak pidana pemerasan serta penerimaan hadiah atau janji oleh penyelenggara negara.  

Ade juga menegaskan bahwa seluruh saksi yang dimintai keterangan, termasuk Kevin, merupakan saksi fakta dari peristiwa dugaan tindak pidana korupsi yang tengah diusut timnya. Khusus terhadap Kevin, Ade mengatakan, penyidik akan kembali memeriksa ulang pada Rabu pekan depan. "Untuk menggali, mencari, dan mengumpulkan bukti," kata Ade pada Jumat, 13 Oktober 2023. "Dengan bukti itu diharapkan bisa membuat terang tindak pidana dan menemukan tersangkanya."

Sejak memulai penyidikan pada 6 Oktober lalu, Polda Metro Jaya memang belum mengungkap tersangka dalam kasus pemerasan ini. Namun, dengan pemeriksaan Kevin kemarin, penyidikan polisi semakin mengarahkan bidikannya pada dugaan keterlibatan Firli. Sebelumnya, penyidik telah meminta keterangan Syahrul Yasin Limpo dan kerabatnya yang juga Kepala Kepolisian Resor Kota Besar Semarang Komisaris Irwan Anwar. 

Syahrul adalah bekas Menteri Pertanian yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK karena diduga menerima duit saweran anak buahnya untuk keperluan promosi dan mutasi jabatan. Selain Syahrul, komisi antikorupsi menjerat Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian Kasdi Subagyono serta Direktur Alat dan Mesin Pertanian Muhammad Hatta. Penanganan kasus di KPK inilah yang melatarbelakangi mencuatnya kasus dugaan pemerasan oleh Firli terhadap Syahrul. 

Dugaan keterlibatan ajudan Firli, Kevin Egananta Joshua, diungkap oleh Muhammad Hatta dalam keterangan tertulisnya kepada Polda Metro Jaya pada 1 Oktober lalu. Dalam keterangan tertulis itu, Hatta mengaku turut mendampingi Syahrul Yasin Limpo ketika bertemu dengan Firli di lapangan bulu tangkis kawasan Mangga Besar pada sekitar Desember 2022. Belakangan terungkap bahwa lapangan bulu tangkis yang dimaksudkan adalah Gelanggang Olahraga (GOR) Tangki di Mangga Besar, Jakarta Barat. 

Seusai pertemuan itu, masih dari dokumen kronologi yang ditulis tangan oleh Hatta, ajudan Syahrul menyerahkan tas berisi dolar Singapura senilai Rp 1 miliar kepada ajudan Firli. Dari penjelasan Hatta, pemberian duit kepada Firli itu adalah yang ketiga kalinya. Sebelumnya, menurut Hatta, Syahrul bersama Irwan Anwar pergi ke kediaman Firli sekitar Juni 2022 dengan membawa duit senilai yang sama. Hatta pun mengaku menyerahkan amplop berisi fulus kepada Irwan yang diduga untuk Firli pada Oktober 2022.  

Rentetan pertemuan yang ditengarai untuk pemberian dana kepada Firli itu bermula dari pesan yang disampaikan Irwan kepada Syahrul pada pertengahan tahun lalu. Irwan, bekas anak buah Firli saat masih menjadi Kepala Polda Nusa Tenggara Barat, disebut-sebut menyampaikan informasi dari Firli bahwa akan ada tim KPK yang  menyelidiki beberapa masalah di Kementerian Pertanian. Menurut Hatta, Irwan pulalah yang mengatur pertemuan awal antara Syahrul dan Firli. 

Febri Diansyah, kuasa hukum Syahrul dan Hatta, pernah dimintai konfirmasi mengenai dokumen kronologi yang dituliskan oleh kliennya. Namun Febri menyatakan tak mengetahuinya. 

Kepada Tempo, Irwan membantah pernah bertemu dengan Syahrul dan Firli dalam kurun waktu Juni-Desember 2022. Dia menyatakan bertemu keduanya pada Februari 2021 dalam acara kerja sama pencegahan korupsi di Kementerian Pertanian. "Itu saja yang saya tahu," kata Irwan, Selasa lalu. "Penyerahan uang itu tidak betul. Saya tidak pernah merasa." 

Sementara itu, Firli awalnya membantah pernah bertemu dengan Syahrul di lapangan badminton. Namun belakangan ia mengakuinya setelah sejumlah saksi membenarkan pertemuan yang dokumentasi fotonya beredar luas sejak akhir pekan lalu itu. 

Lewat keterangan tertulis, Firli menyatakan bertemu dengan Syahrul di lapangan bulu tangkis pada 2 Maret 2022. Tapi dia membantah telah memeras Syahrul. Dia berdalih, saat pertemuan itu digelar, status Syahrul bukan tersangka, terdakwa, terpidana, ataupun pihak yang beperkara di KPK. "Kejadian tersebut bukan atas inisiasi atau undangan saya," katanya. 

Ade Safri Simanjuntak enggan menjawab ketika ditanya tentang rencana penyidik Polda Metro Jaya memanggil Firli. Dia hanya memastikan pemanggilan sejumlah saksi masih akan dilakukan, termasuk Direktur Pelayanan Laporan dan Pengaduan Masyarakat KPK Tomi Murtomo yang sebelumnya tak bisa memenuhi agenda pemeriksaan pada Kamis lalu. "Tim penyidik memanggil yang bersangkutan pada Senin, 16 Oktober 2023, pukul 10.00," kata Ade tanpa bersedia menjelaskan tujuan meminta keterangan Tomi.

Menggandeng KPK dan Menyiapkan Pasal Berlapis

Ade Safri mengungkapkan, penanganan kasus dugaan pemerasan ini tak hanya melibatkan penyidik Polda Metro Jaya, tapi juga Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri. Tim penyidik gabungan itu telah mengirimkan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) pada 9 Oktober lalu kepada Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Kemarin, giliran kejaksaan mengirim surat berisi penunjukan jaksa penuntut umum yang akan memantau penyidikan ini. 

Selain itu, Polda Metro Jaya telah mengajukan permohonan supervisi kepada KPK dalam penanganan kasus ini. Lewat surat tertanggal 11 Oktober 2023 itu, Polda Metro Jaya meminta  pimpinan KPK menugaskan Deputi Bidang Koordinasi Supervisi Didik Agung Widjanarko. “Pelibatan dalam rangka koordinasi dan supervisi, salah satunya dalam bentuk gelar perkara bersama,” kata Ade Safri. Menurut dia, pelibatan KPK itu sebagai upaya transparansi dalam penyidikan kasus ini. 

Polisi dan KPK memang beririsan di pusaran kasus Firli dan Syahrul. Firli dibidik karena diduga memeras Syahrul yang sejak 2021 diadukan ke komisi antirasuah atas sejumlah kasus dugaan korupsi di lingkungan Kementerian Pertanian. Sedangkan Syahrul kini juga telah berstatus tersangka di KPK. Penanganan dua kasus ini seakan-akan berkejaran dalam sepekan terakhir. 

Puncaknya terjadi ketika penyidik KPK menangkap Syahrul pada Kamis sore, 12 Oktober lalu. Syahrul diciduk di Apartemen Oakwood di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Ia tiba di gedung Merah Putih KPK pada malam hari dengan tangan terborgol. 

Penangkapan ini mengejutkan. Sebab, sehari sebelumnya, penyidik KPK telah menjadwalkan pemeriksaan Syahrul pada Jumat, 13 Oktober. Lewat kuasa hukumnya, Syahrul juga telah mengkonfirmasi akan memenuhi panggilan tersebut. Namun pada hari yang sama dengan dilayangkannya surat pemanggilan, 11 Oktober lalu, Firli meneken surat perintah penangkapan.

Kontroversi Firli dan Potensi Rusaknya Kasus Syahrul

Langkah Firli meneken surat penangkapan itu menuai kontroversi. Selain rentan konflik kepentingan, Firli dinilai menyalahgunakan kewenangan. Pasalnya, revisi Undang-Undang KPK telah menempatkan pimpinan komisi antikorupsi sebagai aparatur sipil negara, bukan lagi penyidik. 

Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan tindakan Firli menandatangani surat penangkapan itu sarat konflik kepentingan. Fickar mengatakan, sebelum ada penuntut umum dan penyidik KPK dari kepolisian dan kejaksaan yang diperbantukan ke KPK, komisioner bertindak sebagai penyidik atau jaksa penuntut umum. Tapi, setelah ada jabatan yang disebut penyidik dan penuntut umum KPK, komisioner bukan lagi penyidik ataupun penuntut umum. "Karena itu penyimpangan yang terjadi ini sebaiknya diuji di praperadilan," ujarnya.

Pakar hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta Chairul Huda juga menilai KPK telah melanggar undang-undangnya sendiri dalam hal penangkapan Syahrul. "KPK menjalankan kewenangannya secara tidak etis, sudah memanggil Syahrul Yasin Limpo untuk diperiksa pada 13 Oktober, tapi justru menganulirnya tanpa alasan dengan menangkap orang yang sama pada 12 Oktober," katanya.

Mochamad Praswad Nugraha, Ketua IM57+ Institute—sebuah organisasi yang mewadahi mantan pegawai KPK—mendesak agar Firli segera dinonaktifkan. Dia menilai kasus dugaan korupsi oleh Syahrul Yasin dan kasus dugaan pemerasan Firli sama pentingnya untuk diusut tuntas. Dia khawatir besarnya potensi Firli menyalahgunakan kewenangannya jika tetap menjabat pimpinan KPK. "Dan ini justru bisa mendelegitimasi proses penyidikan KPK terhadap Syahrul Yasin Limpo," kata Praswad.

Juru bicara KPK Ali Fikri menegaskan Firli tetap berwenang menandatangani surat perintah penangkapan. Sebab, kata Ali, pimpinan KPK merupakan pengendali dan penanggung jawab tertinggi atas kebijakan penegakan hukum pemberantasan korupsi. “Maka secara ex officio harus diartikan juga pimpinan sebagai penyidik dan penuntut umum. Itu artinya, pimpinan KPK tetap berwenang menetapkan tersangka dan lain-lain,” katanya.

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengamini pernyataan Ali Fikri. Alex menyebutkan penandatanganan surat perintah penyelidikan, surat perintah penyidikan, ataupun surat perintah penangkapan oleh pimpinan KPK sesuai dengan tugas pokok dan fungsi yang diatur dalam Pasal 6 UU KPK. "Di situ tugas KPK melakukan pencegahan, koordinasi, supervisi, penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan," kata Alexander di Gedung Juang KPK.

Alex menegaskan yang diberi mandat dalam undang-undang tersebut adalah pimpinan, bukan penyelidik, penyidik, ataupun penuntut umum. Menurut dia, meski tidak disebut dalam undang-undang hasil revisi, pimpinan KPK adalah penanggung jawab tertinggi lembaga. "Kalau bukan pimpinan, siapa lagi? Kan, enggak mungkin juga Dewan Pengawas?"

[Koran Tempo, Sabtu, 14 Oktober 2023]

Baca juga :