Nestapa Suku Balik: Dulu Hutannya Digunduli, Kini Hidupnya Digusur IKN
🔴Kehadiran proyek Ibu Kota Nusantara semakin menyisihkan masyarakat Suku Balik
🔴Warga cuma dilihat sebagai penonton atas beragam proyek raksasa yang menghancurkan ruang hidup mereka
🔴Sungai Sepaku sebagai urat nadi sosial dan ekonomi warga telah sekarat, sekarang warga harus membeli air bersih
SELASA PEKAN KETIGA Juni lalu, Mustafa mengecek kondisi belakang rumahnya di bantaran Sungai Sepaku. Di sungai itu sedang ada pengerjaan proyek bendungan intake. Proyek ini menutupi sungai dan menyebabkan genangan air di belakang rumahnya. Genangan itu membuatnya khawatir atas keselamatan cucunya sehingga ia memperingatkan agar tidak bermain di dekat areal proyek.
Sungai Sepaku adalah urat nadi kehidupan penduduk Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Proyek intake sungai itu dibangun untuk memasok air bersih Ibu Kota Nusantara (IKN).
Hari itu sekitar tiga alat berat ekskavator mengeruk sungai dan sawah. “Sudah sekitar setahun ini mereka bekerja,” ucap Mustafa, 57 tahun, Ketua Kelompok Tani Bolum Taka, warga Kampung Sepaku Lama.
Presiden Joko Widodo menggagas proyek IKN pada Agustus 2019. Proyek terburu-buru ini disebut-sebut cuma memenuhi ambisi presiden, selain demi kepentingan oligarki, yang dibuat tanpa konsultasi secara adil dengan warga, dan boros. Pada Maret 2022, Jokowi meresmikan titik nol kilometer IKN di Kecamatan Sepaku.
Ketika Mustafa mendengar kampungnya akan jadi lokasi IKN, ia mulai khawatir proyek itu bakal menggusur kehidupan warga. Kekhawatiran itu terjadi. Mustafa terpaksa “merelakan” bagian dapur rumahnya di tepi Sungai Sepaku harus dipotong karena proyek bendungan intake. Setidaknya ada 30 rumah di Sepaku Lama yang dapurnya dipotong. Warga menerima ganti rugi, tapi mereka sebenarnya terpaksa, kata Mustafa.
Dalam satu pertemuan di tingkat kecamatan, pihak pemerintah mengatakan warga dipersilakan menggugat ke pengadilan jika menolak. Mustafa sudah menyampaikan apakah tidak ada tempat lain untuk proyek intake. Mengapa harus ada di belakang rumah?
Ada sekitar 90 keluarga tinggal di Sepaku Lama. Mustafa tinggal dekat dengan sempadan sungai. Ia lahir di wilayah Mentawir, dekat dari tempat tinggalnya sekarang. “Sekitar 50 persen penduduk di sini adalah Suku Balik, sisanya Suku Bugis dan Jawa,” kata kakek 7 cucu ini.
Masyarakat Balik tumbuh bersama sungai, sebagaimana sungai berperan sangat penting bagi masyarakat-masyarakat Pulau Kalimantan. Sungai menjadi komunikasi warga melakukan aktivitas ekonomi, sosial, budaya dan sebagainya, sehingga sungai menjadi ruang hidup bersama. Peradaban mereka lahir bersama sungai.
Semakin menurun kualitas dan matinya sungai, maka semakin terpinggirkan dan sekarat pula kehidupan yang dijalankan warganya.
Sekarang ini Mustafa sering berada dalam masa lampau ketika mengisahkan Sungai Sepaku. Saat masa-masa menyenangkan. Sungai menjadi jalur transportasi kampung ke luar wilayah. Sungai adalah jalur warga mencapai ladang dan kebun, juga untuk mengangkut pisang, lombok, kates, kelengkeng, lahung, kunyit, jahe dan lain-lain ke Balikpapan.
“Transportasi lewat sungai semua. Saya pakai ketinting sama kakakku. Deras arusnya,” kisahnya.
Warga membangun kehidupan dari sungai, kemudian ke darat; bukan sebaliknya. “Kita berladang mulai dari bawah sini hingga gunung sana,” kata Mustafa. “Hijau semua pisang di tepi sungai.”
Kebiasaan ini diikuti oleh banyak transmigran, entah dari Bugis maupun Jawa, yang datang belakangan menempati permukiman sekitar.
Saat musim membuka padi ladang, warga sekalian menanam kopi, durian, lai, nangka dan sebagainya di kebun sebelahnya.
Melalui Sungai Sepaku, bersama kakak dan orangtuanya, Mustafa dewasa pergi ke ladang dan kebun di hulu sungai, berjarak sekitar 6 kilometer. Tahun 1990-an itu, mereka masih menanam, menumbuhkan, dan memelihara kebun kopi dan buah-buahan. “Kalau musim buah, masuklah kita ke daerah pegunungan. Senang sekali,” ucapnya. “Kami dulu orang lokal senangnya nanam. Untuk anak cucu ke depan.”
Hasil bumi itu mereka jual menuju Balikpapan, pulangnya membawa uang untuk keluarganya.
“Kalau pergi pagi naik kapal, besok subuh sampai di Balikpapan,” kenang Mustafa.
Namun, masa ini telah hilang.
Kehilangan Ladang dan Kebun dan Hutan
Mendadak ada orang-orang yang menguasai lahan-lahan warga. Mereka ini tidak ada sangkut pautnya dengan sejarah setempat. Mereka mengatasnamakan perusahaan. “Tiba-tiba mereka tanam di lahan kami. Mereka gundulin hutan,” keluh Mustafa.
Cara perusahaan mengambil lahan itu menghilangkan kesempatan bagi warga membuka ladang di kawasan itu. Mustafa mengira orang-orang perusahaan hanya memboyong kayu, tapi tahu-tahu mereka juga menguasai tanahnya.
“Setelah kayu-kayu hutan diangkut, lahan itu ditanami. Awalnya ditanami sengon, selesai itu akasia dan eukaliptus sampai sekarang hingga ke bibir sungai,” kisahnya.
Kisah yang sama diungkapkan Menyu, sekretaris adat Suku Balik di Kampung Pemaluan, desa terluas di Kecamatan Sepaku.
Sebelum perusahaan datang, kehidupan masyarakat setempat sangat berkecukupan. “Orang tua kami di sini sangat kaya. Kaya sekali,” ujarnya.
Kekayaan yang dia maksud adalah melimpahnya ketersediaan pangan dari alam yang bisa diambil warga kapan saja. Misalnya, kalau mau makan ikan, hanya sekitar 200 meter dari rumah dan dalam setengah jam, warga bisa mendapatkan 2 sampai 3 kg ikan.
Begitu juga jika warga membutuhkan daging. Warga biasanya memasang jerat di belakang rumah sekitar pinggir kebun berjarak 300-400 meter. “Tunggu dua sampai tiga hari bisa mendapatkan payau (rusa) dan kijang. Cukup untuk (konsumsi) 15 kepala keluarga,” ucap Menyu. “Sekarang tiga bulan belum tentu dapat.”
Bila butuh buah-buahan, warga tinggal masuk ke hutan, maka semua jenis yang biasa tumbuh di Kalimantan tersedia seperti langsat, lai, durian, rambutan, manggis, cempedak.
“Semenjak ada perusahaan sudah nda ada semua. Jadi miskinlah,” ujarnya.
Kepala adat Kampung Pemaluan, Jubain, mengisahkan orang-orang tua dulunya hidup di pinggir hutan dan sungai. Orang-orang tua mereka dulu memenuhi kebutuhan hidup dari hasil hutan seperti damar, rotan, dan membuat atap sirap. “Hasilnya dijual ke Balikpapan,” ujarnya.
Kini lahan sisa warga makin menyempit. Dan ini menyimpan persoalan baru. Sebab, kegiatan berladang dengan cara membakar sudah dilarang oleh pemerintah. Sehingga masyarakat Balik tidak bisa berladang lagi.
“Makanya saya mundur menanam padi ladang, walaupun ada belukar (lahan),” ucap Mustafa.
Mustafa terkadang bisa mendapatkan 50 sampai 100 kaleng gabah saat masih membuka padi ladang. “Mungkin sudah lima tahun lebih saya tidak berladang. Sejak tidak boleh membakar.”
Menyu juga kini kesulitan berladang karena lahannya tahu-tahu dianggap masuk wilayah konsesi perusahaan. Lazimnya, pertanian padi gunung dilakukan dengan cara berpindah-pindah. Setelah berladang setahun, berpindah lagi.
“Sekarang mau pindah ke mana kalau lahan-lahan di hutan menjadi konsesi perusahaan semua?” keluh Menyu.
Dikuasai Korporasi Kayu
Perusahaan yang disebut-sebut warga Sepaku itu bernama PT International Timber Corporation Indonesia Hutani Manunggal–biasa disingkat PT ITCI HM. Korporasi kayu ini memegang konsesi seluas 162.513 hektare, dengan jangka waktu sampai 2027. Lahan konsesinya sekarang berada di ring satu atau ‘kawasan inti pusat pemerintahan’ dalam megaproyek IKN.
Pemilik ITCI HM adalah pengusaha Sukanto Tanoto, yang dia dapatkan dari Hashim Djojohadikusumo pada 2006.
Setidaknya di kawasan IKN terdapat 158 konsesi tambang, sawit, hingga hutan yang terhubung dengan politikus dan pengusaha lokal dan nasional—singkatnya, para oligark.