UJUNG-UJUNGNYA CUAN

Oleh: Erizal

Memang, kasian juga orang parpol. Baik ketum maupun bukan ketum. Baik parpol DPR apalagi bukan, apalagi parpol baru. Capek-capek bikin parpol, ngurus, tapi nggak bisa nyalonin capres sesuai maunya. Harus maunya lembaga survei.

Jauh-jauh hari lembaga survei sudah membikin daftar siapa yang bisa (harus) dicalonin parpol. Maka, keluarlah tiga nama itu. Anies, Prabowo, dan Ganjar. Yang tak bisa. Bisa saja, kalau mau kalah dan duit habis. Akhirnya, terkunci sendiri.

Bahkan, Ketum Golkar Airlangga Hartarto, yang parpolnya sebesar itu, tak bisa ngapa-ngapain. Terpaksa milih, tiga nama versi survei. Apalagi parpol lain seperti PAN, dan yang lain. Apalagi, parpol baru. Parpol baru, terkunci pula oleh PT.

Tapi, itulah demokrasi. Melarang lembaga survei melakukan survei, itu aneh juga. Sama juga melarang pengetahuan. Tapi, bila sepakat demokrasi perlu dibatasi, maka bisa saja survei boleh dilakukan, usai calon didaftarkan parpol.

Usulan seperti ini kerap disampaikan Waketum Gelora Fahri Hamzah. Tapi tak ada yang peduli. Bahkan, PT itu sebenarnya tak diperlukan. Agar lebih banyak calon yang muncul. Tapi, agaknya, itu pula cara parpol meraup untung gede. Cuan.

Jadi, seperti senjata makan tuan. Bumerang. Dibikin PT-PT-an agar cuan masuk. Sebab cuan juga, parpol dikunci oleh lembaga survei yang wara-wiri, bahkan saat Pilpres 2019, baru usai dilaksanakan. Istilah Rizal Ramli, demokrasi sure-pay (pasti bayar). Ujung-ujungnya, cuan.

(*)
Baca juga :