Siapapun Capres, Asal Jangan AHY Jadi Cawapresnya (Part 3)

Siapapun Capres, Asal Jangan AHY Jadi Cawapresnya (Part 3)

Oleh: Kisman Latumakulita - Wartawan Senior FNN

PADA Pemilu 2019 lalu, Ketua Umum Partai Demokrat Jendral TNI (Kehormatan) Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) menunjuk Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai Komandan Komando Tugas Bersama (Kogasma) Partai Demokrat. Kogasma ini semacam Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) di partai politik pada umumnya. Tugasnya membuat Partai Demokrat mendapat kursi di DPR 5-10%.

Nama Komandan Kogasma ini terbilang keren, karena menjadi istilah baru di partai politik. Nama istilah ini tidak umum di partai politik lain. Orang yang memimpinnya bukan disebut dengan “Kepala Kogasma atau Ketua Kogasma", tetapi "Komandan Kogasma". Mungkan saja karena yang memimpin adalah Mayor purnawirawan.

Komadan Kogasma ini tugas dan tanggung jawab yang dipikul sangat luar biasa. Ikut menentukan perolehan kursi Partai Demokrat di DPR antara 5-10%. Artinya tugas ini tidak bisa dipercayakan kepada kader Partai Demokrat yang lain. Tidak bisa untuk dijabat sembarang kader. Harus diemban oleh kader yang sangat luar biasa. Meskipun AHY di Partai Demokrat adalah pendatang baru, atau muka baru. Namun AHY memang pas dan cocok untuk menjadi Komandan Kogasma Partai Demokrat.

Hasilnya sangat luar biasa. Patai Demokrat memperoleh 54 kursi DPR, yang berarti berhasil mencapai 9,39% dari 575 kursi DPR. Sebuah capaian yang hampir sempurna. Sayangnya AHY tidak ikut mencalonkan diri sebagai anggota DPR. Padahal kalau saja AHY menjadi anggota DPR, maka hampir dipastikan jabatan AHY hari ini adalah Wakil Ketua MPR. Hilanglah legacy AHY sebagai Mayor punawirawan, yang level koordinasi di pemerintahan hanya setingkat Kapolsek dan Camat itu.

Berangkat dari prestasi besar sebagai Komandan Kogasma yang luar biasa itu, sehingga wajar saja kalau kader-kader Partai Demokrat, dan sang bapak SBY lalu mendorong AHY untuk menjadi Ketua Umum Partai Demokrat. Hasilnya, pada Kongres Partai Demokrat yang kelima tanggal 15 Maret 2020 lalu di Jakarta Convesntion Center, AHY terpilih secara aklmasi sebagai Ketua Umum Partai Demokrat.

Sahlah AHY sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Bahkan AHY tercatat dalam sejarah perpolitikan kekinian (sejak tahun 1966-1967) sebagai Ketua Umum Partai Politik termuda di Indonesia. Ketika menjabat Ketua Umum Partai Demokrat AHY yang kelahiran 10 Agustus 1978 itu masih berusia 42 tahun. Salah satu kesuksesan dan keberhasilan politik SBY yang sangat luar biasa adalah menjadikan anaknya AHY sebagai Ketua Umum Partai Demokrat.

Pertanyaan menggelitik adalah apakah Pak Harto, penguasa Orde Baru selama 33 tahun tidak bisa menjadikan salah satu anaknya Mba Tutut atau Mba Titiek sebagai Ketua Umum DPP Golkar secara aklamasi? Tentu saja lebih dari bisa. Bahkan sangat sangat dan sangat bisa untuk Pak Harto. Ketua Dewan Pembina Golkar Pak Harto itu bisa memecat Pengurus DPP Golkar kapan saja bila mau. Kalau Pak Harto mau, pasti jadi. Tidak ada yang bisa membantah, menghambat, dan menghalangi.

Hanya saja Pak Harto meskipun dalam posisi dan kedudukan sebagai Presiden dan Ketua Dewan Pembina DPP Golkar, namun masih punya benteng etika dan masih punya standar moral yang tinggi untuk urusan politik. Sikap moral dan etika politik yang berbeda antara langit dengan bumi dengan SBY. Padahal SBY adalah salah satu keder terbaik Pak Harto yang disiapkan menjadi salah satu pimpinan nasional kelak.

Bersamaan dengan sukses mendudukan AHY sebagai Komandan Kogasma Partai Demokrat di Pemilu 2019 lalu, SBY mencoba dan berusaha mendorong AHY sebagai Cawapres untuk Prabowo Subianto. Namun Prabowo lebih memilih Sandiaga Uno untuk menjadi Cawapres. Akhirnya keluarlah kalimat “jendral bermental kardus” dari Andi Arief yang menjadi salah satu peluncur terbaik keluarga Cikeas.  

Gagal di Pemilu 2019 lalu, SBY kembali berusaha menjadikan Mayor Pernawirawan AHY sebagai Cawapres di Pemilu 2024 nanti. Kali ini diusahakan dan diupayakan agar AHY bisa berpasangan dengan Anies Baswedan yang diusung gabungan partai politik yang tergabung dalam Koalisi Perubahan (Partai Nasdem, PKS dan Partai Demokrat). Segala cara dan taktik mesti dilakukan SBY agar AHY bisa menjadi Cawapres Anies.

Kalau tidak menjadi Cawapres Anies, maka tertutuplah semua peluang AHY menjadi Cawapres untuk Capres lain yang mengemuka hari ini. SBY dan Partai Demokrat tidak mungkin diterima gabung dengan Capres dari PDIP, yang hampir pasti usung Katua DPR Puan Maharani atau Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Kalau mau gabung ke PDIP mungkin saja boleh. Namun syaratnya jangan coba-coba minta AHY menjadi Cawapres saja. Hampir pasti ditolak.

Mungkin saja SBY dan Partai Demokrat bisa bergabung ke kubu Prabowo. Namun lagi-lagi jangan coba-coba untuk minta AHY menjadi Cawapres untuk Prabowo. Hampir pasti permintaan agar AHY menjadi menjadi Cawapres untuk Prabowo itu ditolak. Tidak ada ruang Mayor Purnawirawan menjadi Cawapres untuk Letjen TNI (Purn.) yang hari ini esksis menjabat sebagai Menteri Pertahanan. 

Bagaimana kalau AHY yang punya 54 kursi Partai Demokrat di DPR itu bergabung ke Koalisi Indonesia Bersatu (KIB), gabungan Partai Golkar, PAN dan PPP? Mungkin boleh-boleh saja gabung ke KIB. Mungkin juga bakal diterima. Bagaimana kalau SBY dan Partai Demokrat minta AHY menjadi Cawapres untuk siapa yang menjadi Capres dari KIB? Jawabannya hampir pasti ditolak.

Kata anak betawi “elu itu siape? Elue kan anak kemarin sore di politik tong. Masa elu mau menjadi cawapres, hanya karena punya modal 54 kursi di DRP atau RDP itu ye tong? Jangan gitulah tong. Elu kan baru terlibat di politik empat tahun lalu, sejak 2019. Elu itu baiknya banyak belajar dulu, dengan ngumpul ame kite-kite masyarakat sipil ini tong. Ah elu ama babe elu yang benar dong tong. Apa kate dunia tong? Negara kite jangan dijadikan barang coba-coba untuk elu belajar di pemerintahan dong tong?”

Jadi, AHY dan Partai Demokrat mau gabung kemana-mana saja, kemungkinan pasti mentok. Kemana-mana saja nokang. Apalagi minta menjadi Cawapres. Koalisi PDIP, Golkar, PAN, PPP dan Gerindra itu kumpulan partai politik kader. Kadernya berangkat dari akar rumput. Merangkak dari bawah, dengan jam terbang di politik puluhan tahun. Tidak ada kader politik karbitan di PDIP, Golkar, PAN, PPP dan Gerindra.

Kalau mau menjadi Cawapres di koalisi PDIP, KIB, dan Gerindra, harus sudah punya jam terbang di politik dan pemerintahan yang jelas dan terukur. Paling kurang sudah pengalaman lebih dari sepuluh tahun. Bukan barang baru. Bukan juga dadakan dan karbitan. Kalau hasil karbitan, pasti matangnya juga asem sepat. 

(bersambung)

*Sumber: FNN
Baca juga :