Desa-desa Dakwah, Arus Balik Kembali ke Islam

Desa-desa Dakwah

Oleh: Arif Wibowo

Blusukan bersama para pegiat dakwah di lapangan untuk menulis tentang Desa-desa Dakwah. Ada banyak aktor dakwah lapangan yang bekerja tanpa sorotan kamera, dengan penuh kesungguhan dan buah dakwah yang nyata. Ilmu dan pengalaman mereka mendampingi umat tentu teramat sayang bila tidak disebarluaskan. Kalau ini bukan project pribadi, tapi project bersama dengan para pendakwah yang saya hormati itu.

Saya menyebutnya desa-desa dakwah. Yakni kampung-kampung yang ada di lereng Merapi-Merbabu yang terus menggeliat dan tumbuh keislamannya, pasca konversi massal keagamaan akibat konflik politik tahun 1965 yang menyebabkan banyak pengikut PKI berpindah ke agama Kristen/Katolik dan Buddha. 

Di banyak desa, saat ini ada tren arus balik kembali ke Islam.

Ketika saya diajak rekan-rekan aktifis dakwah lapangan blusukan saya ke beberapa tempat, ada beberapa hal yang saya titeni (perhatikan), menjadi pendorong terjadinya arus balik ini, yakni:

1. Aktor dakwah lokal, dimana penggerak dakwah bukan dilakukan oleh orang luar, tetapi oleh warga yang memang menetap di kampung itu. Amatan sederhana saya, sistem kekerabatan yang luas dalam keluarga batih masyarakat Jawa menjadikan hubungan kekerabatan lebih kuat dibanding hubungan keagamaan. Ketika aktor dakwah berasal dari warga setempat, maka posisinya menjadi kuat, karena mungkin ia berkerabat dengan mereka yang berlainan agama. 

Selama ia luwes dalam menjalankan dakwahnya, tidak menimbulkan keretakan sosial, pinter mangku warga, maka konversi kembali ke Islam terjadi seiring intensitas pertemuan dengan sang da'i yang meningkatkan pemahaman akan Islam. 

Saya pernah ngobrol panjang, dengan da'i yang awalnya beragama Buddha, yang dengan kiprahnya, umat Islam yang tadinya tersisa tinggal 15% bisa menjadi 50%. Waktu saya wawancara, orang tua mas da'i tersebut bahkan masih beragama Buddha, tapi beliau tetap memberlakukan dengan baik dan hormat. Akhlak Islam seperti ini adalah faktor yang ikut mengakselerasi dakwah. Kalau sekarang, alhamdulillah, kedua orang tua mas da'i tersebut sudah masuk Islam.

2. Megahnya rumah ibadah. Ini juga tentang kisah beberapa desa di lereng Merapi Merbabu, dimana secara perlahan banyak umat Islam yang terkonversi ke agama lain karena gerak dari beberapa yayasan Misi di bidang kesehatan dan pendidikan. Rumah ibadah (masjid/musola) yang tua, bahkan hampir roboh itu, dulu di tahun 2005 ketika saya blusukan, sudah tidak lagi difungsikan untuk ibadah. Bahkan beberapa diantaranya sudah jadi area tidur ayam dan bebek.

Pasca erupsi Merapi, seiring masuknya banyak lembaga kemanusiaan Islam yang membantu korban bencana, banyak masjid yang terbengkalai direnovasi kembali. Selain itu, jejaring relawan bencana juga menugaskan anggotanya yang berasal dari daerah setempat untuk membina warga. Alhamdulillah, seiring megahnya masjid dan maraknya aktifitas belajar ngaji, keislaman masyarakat meningkat. Bahkan, ada rekan saya yang mengampu sebuah majelis ta'lim, dari 80 anggota, yang 30 adalah warga non muslim. Mereka ikut ngaji atas permintaan sendiri. Beberapa diantara mereka kini sudah masuk Islam.

3. Supporting system. Keumuman da'i setempat punya keterbatasan dalam hal sumber daya manusia dan daya dukung finansial. 

Oleh karena itu, faktor penting yang tidak bisa dilupakan adalah supporting system yang kokoh dan rapi. 

Cara kerja supporting sistem yang sering saya jadikan contoh adalah Mualaf Centre Kota Semarang. Lembaga yang dimotori para dokter, aktifis Muhammadiyah dan banyak elemen lain ini mampu menempatkan diri secara apik. Sehingga, ia betul-betul menjadi lembaga pendukung sehingga dakwah tetap bertumbuh dari bawah dengan akar yang kuat. 

Inilah bedanya dengan supporting system dari beberapa organisasi lain, yang seringkali menjadikan kelebihan finansial untuk melakukan rekruitmen organisasional. Sehingga seringkali yang terjadi justru rebutan jama'ah.

(fb)
Baca juga :