BBM Meroket dari Gorong-Gorong

Oleh : Yusuf Blegur | Mantan Presidium GMNI

SELAIN terlanjur dijuluki boneka, presiden ke tujuh RI itu sudah kerapkali disebut pembohong. Bukan hanya tak pernah menepati sebagian besar janji kampanyenya, kebijakan orang nomer satu di republik itu terus menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan rakyat. Tak hanya membuat kehancuran ekonomi, rezim yang porosnya ke negara Komunis Cina, cenderung korup, otoriter dan tak segan-segan mematikan lawan politiknya.

Awalnya menampilkan kesan jujur, sederhana dan merakyat. Tak tangung-tangung, seiring keluar masuk warteg, keluar masuk kampung kumuh dan naik turun gorong-gorong berlumpur hitam pekat. Orang tak dikenal  sejagad negeri dari Solo itu. Seketika populer, dikenal luas dan sering tampil di media massa. Mendadak muncul citra pemimpin layaknya satrio piningit. Publik seakan terhipnotis oleh pesona sosok yang sesungguhnya diendors oleh oligarki. Sukses, representasi kapitalisme menguasai lembaga strategis dan instrumen politik berpengaruh,  menghasilkan pemimpin yang beda kemasannya dengan isinya dari demokrasi transaksional.

Pada masa kampanye terlihat serius dan sungguh-sungguh menjabarkan program nawacita sebagai turunan dari konsepnya Trisakti Bung Karno. Tidak perlu waktu terlalu lama, setelah menjabat presiden langsung menggelontorkan semua program yang bertolak-belakang dengan apa yang menjadi bahan kampanyenya. Utang, pajak, impor, korupsi dan paling seksi BBM. Alih-alih stabil kalau ngga sanggup turun, justru angkanya terus meroket setinggi-tingginya melewati omong kosong pada janjinya. Bukan hanya sekedar kontradiktif, pemerintahannya juga agresif menyerang demokrasi dan Islam. Karena ketidakmampuan dan kegagalan proyek mimpi yang menjadi mercusuarnya, rezim berlaku represif dan memusuhi rakyat karena dianggap berbahaya bagi kelangengan kekuasaannya. Sebuah pola defensif bagi upaya menikmati harta dan jabatan berlebihan dari nikmatnya menjadi penguasa.

Politik amburadul, ekonomi berantakan dan hukum hancur-hancuran. Membuat mata dan telinga rakyat tersadar bahwa presiden yang terpilih dua periode dalam genggaman oligarki baik oleh korporasi maupun partai politik itu. Sejatinya adalah budak imperialisme yang memiliki otoritas formal dalam negara. Berbingkai Pancasila, UUD 1945 dan NKRI yang secara halus telah tereliminasi dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan, presiden dengan kewenangan penuh bersama jajaran  institusi negara lainnya, telah menjadi bagian dari sistem kolonialisme modern. Rezim bersama oligarki secara faktual telah membangun persekongkolan yang terstruktur, sistematik dan masif menghasilkan penjajahan bumi pertiwi yang rakyat dan negaranya merdeka tapi tak berdaulat.

Dua perode cukup sudah menjungkirbalikan keadaan yang masih dalam proses meraih cita-cita proklamasi kemerdekaa sebagaimana yang diinginkan oleh para "the founding fathers" dan pahlawan bangsa pendahulu.

Rakyat harus bedarah-darah dan kehilangan nyawa menghadapi segelintir bangsanya sendiri. Presiden yang menjadi kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, yang seharusnya mengayomi, melindungi dan melayani rakyatnya. Faktanya malah menjadi sumber masalah dan konflik pada bangsa ini.

Bukan cuma sekedar menjadi penghianat distorsi kekuasaanya juga telah menjual dan menggadaikan negeri ini.

Setelah mengalami nyaris tanpa pemerintahan dan menuju negara gagal. Rakyat yang secara bertubi-tubi hingga terseok-seok harus menghadapi kesulitan hidup.

Bagaikan berada dalam fase hidup mati berjuang menyelamatkan dan mempertahankan hidup bagi rakyat, negara dan bangsa. Tak ada pilihan lain selain melawan rezim tirani, betapapun besar pengorbanannya dan harus menghadapi tembok besar kekuasaan.

Sebagaimana syarat revolusi yang harus memenuhi syarat kondisi objektif, kondisi subjektif dan adanya pemimpin yangberpihak pada rakyat. Maka kenaikan harga BBM terakhir dari yang kesekian kalinya, bisa menjadi momentum perubahan yang tepat. Kenaikan harga BBM yang menimbulkan efek domino pada kenaikan harga kebutuhan pokok dan berujung menurunnya daya beli rakyat sekaligus memunculkan kemiskinan struktural. Menjadi sinyal dan energi besar kemarahan rakyat untuk bergerak menjebol dan membangun sistem yang dikehendaki sesuai amanat revolusi Indonesia.

Membebaskan rakyat dari belenggu orde distorsi, diksi penamaan  setelah orde lama, orde baru dan orde reformasi. Maka dari itu, yang terbaik buat rakyat segera turunkan presiden yang telah menaikan harga BBM. Presiden yang oleh sebabnya, BBM meroket dari gorong-gorong. (*)
Baca juga :