Perang Bintang Bikin Kasus Penembakan Brigadir J Jadi Rumit, Pergantian Kapolri?

[PORTAL-ISLAM.ID] Bagaimana pengamat politik Rocky Gerung dalam melihat kasus penembakan Brigadir Joshua ini, berikut petikan dialognya bersama wartawan senior FNN Hersubeno Arief dalam Kanal Rocky Gerung Official, Jum’at (22/7/2022).

-------

Hersubeno Arief: 

Presiden Jokowi sudah dua kali menyampaikan peringatan kepada Kapolri agar kasus tewasnya Brigadir Joshua Hutabarat dibuka seterang-terangnya. Dan polisi seperti kita ketahui Kapolri dalam hal ini sudah mulai mengambil langkah-langkah yang menurut saya luar biasa, karena sudah menonaktifkan tiga orang.

Ferdy Sambo, Kadivpropam dinonaktifkan, yang ada di pusaran peristiwa Karopaminal (Karo pengamanan internal) yang melarang kelurga Joshua untuk membuka peti mati dan kemudian ternyata dengan berhasilnya dibuka peti mati dan difoto-foto itulah kemudian menjadi tabir yang sekarang sudah terbuka.

Kemudian Kapolres Metro Jakarta Selatan yang skenarionya bolong-bolong, ini kelihatannya belum belajar penulisan skrip, mesti belajar dengan script writer kalau mau membuat skenario. Dan Pak Jokowi, terakhir kemarin, hari Kamis, mempersoalkan.

Ini menurut saya menarik saya karena saya jadi teringat pernyataan Pak Mahfud MD bahwa ini bukan hanya pertaruhan Pak Listyo Sigit loh karena ternyata harusnya menjadi pertaruhan Pak Jokowi juga.

-----

Rocky Gerung: 

Betul memang karena polisi di bawah Presiden Jokowi juga kan. Dan di negara-negara lain kasus seperti ini selesai di tingkat kabupaten karena profesionalitas. Di sini ini terpaksa kepala negara musti ngomong karena berkepanjangan.

Hal itu terjadi karena penundaan untuk memperlihatkan kausalitas. Karena, publik meragukan teori sebab-akibat yang diterangkan oleh Kapolres Metro Jakarta Selatan, lalu terbuka peluang untuk menduga-duga, ada kausalitas lain.

Lalu orang sibuk dengan, bagaimana membuktikan kalau jenazahnya sudah jadi jenazah korban itu. Dia nggak bisa lagi bicara. Ya nggak dong, jenazah itu bisa bicara. Mayat itu punya kemampuan bicara. Bahasa kita dengan jenazah itu namanya otopsi.

Jadi kira-kira begini, biarkan sang korban itu sebagai jenazah untuk bicara, mendahului apa yang diucapkan oleh Kapolres atau pejabat Humas Kapolri. Kan sebelum jenazah bicara nggak boleh ada orang bicara. Jenazah itu bicara dengan memakai bahasa otopsi.

Karena itu, forensik itu adalah cara untuk meminta sang jenazah untuk bicara sendiri. Itu yang nggak dilakukan. Jadi, kalau sekarang ada otopsi baru, itu berarti otopsi lama bohong-bohongan. Dan, mesti dihukum itu mereka yang membuat otopsi bohong-bohongan.

Jadi hormati jenazah itu, jangan manipulasi tubuh sang jenazah ini dengan segala macam skenario. Biarkan ilmu forensik minta dengan sopan supaya si jenazah itu bicara. Karena itu diperlukan otopsi ulang.

Kira-kira itu soal teknisnya.

Sekarang soal yang agak politis, karena Presiden Jokowi akhirnya sedikit memaksa untuk lakukan keterbukaan segala macam. Ini juga sebagai sinyal bahwa soal-soal pengambilan keputusan itu akhirnya musti tunggu semacam sinyal dari Presiden.

Karena kalau nggak ada sinyal dari presiden justru interpretasi diantara para bintang di Polri itu yang bermain. Dan, opini publik diayunkan oleh macam-macam interpretasi itu. Tapi sekali lagi Pak Jokowi bertanggung jawab penuh, bukan sekedar minta supaya masalah itu selesai.

Jadi, karena hal ini ada komando tertinggi dari institusi yang kadangkala di belakangnya ada latar belakang politik. Pergantian Kapolri itu sangat bias politik. Seringkali publik menduga lebih dahulu, padahal sebetulnya dugaan itu dipermainkan oleh opini publik.

Hal yang dulu kita anggap sudahlah kalau Kapolri itu ditunjuk saja, nggak usah ada semacam fit and proper test, sehingga melibatkan partai politik, kalangan intelijen juga bermain untuk menentukan siapa yang layak jadi Kapolri. Jadi bagian-bagian ini sekaligus kita pakai momentum untuk betul-betul mengatakan bahwa profesi itu diatur etika profesi, bukan oleh etika para politisi.

SELENGKAPNYA SIMAK VIDEONYA....

[VIDEO]
Baca juga :