MIRIS...!! Prof. Dr. Mikrajudin Abdullah: Reputasi Akademik Indonesia diantara Negara Anggota G20, Bahkan Universitas Terbaik Indonesia Masih Jauh di Bawah Universitas di Negara Afrika

Reputasi Akademik Indonesia vs Negara Anggota G20

DI TENGAH kebanggaan sebagai penyelenggara KTT G-20 ada renungan tajam dari seorang profesor di ITB. 

"Perguruan tinggi kita belum di level G-20. Yang terbaik di kita baru sama dengan perguruan tinggi terbaik di Ghana, Afrika," tulisnya di Facebook-nya pekan lalu.

Pemilik Facebook itu adalah Prof Dr Mikrajudin Abdullah. Panggilannya Mikra. Ia guru besar MIPA Institut Teknologi Bandung. S-3nya dari Hiroshima University, Jepang. Disertasinya tentang nano komposit. Ia doktor kimia tapi untuk tingkat itu sudah nyaris menyatu dengan ilmu bahan.

"Dengan menggunakan indikator reputasi perguruan tinggi, jumlah pemenang hadiah Nobel, dan jumlah ilmuwan internasional, reputasi akademik Indonesia berada di posisi terakhir di antara anggota G20 lainnya," tulis Prof Mikra.

"Berdasarkan Times Higher Education 2022, tiga perguruan tinggi terbaik Indonesia hanya menempati posisi seribuan: UI (801-1000), ITB (1001-1200), dan UGM (1201+). Posisi ini jauh di bawah universitas terbaik di negara berkembang anggota G20," tambahnya.

Prof Mikra menyebut University of Cape Town, Afrika Selatan (183), University of Buenos Aires, Argentina (176-200), King Abdulaziz University, Saudi Arabia (190), University of Sao Paulo, Brazil (201-250), Indian Institute of Science, India (301-350), Cankaya University, Turki (401-500), dan Monterrey Institute of Technology, Mexico (601-800).

"Bahkan peringkat universitas terbaik Indonesia masih jauh di bawah universitas di negara Afrika, seperti Addis Ababa University, Ethiopia (401-500), University of Nairobi, Kenya (501-600), University of Lagos, Nigeria (501-600), dan Makerere University, Uganda (601-800)," tulisnya.

"Universitas terbaik di Indonesia hanya setara dengan University of Ghana, Ghana (1001-1200) dan University of Botswana," tambahnya.

Jleb.

Banyak yang mendukung pendapat itu. Tentu ada juga yang tidak setuju. Terutama ukurannya itu.

Prof Mikra lahir di Dompu, Sumbawa. Kini berusia 54 tahun. Jurnal ilmiahnya mencapai 110. Jurnal tentang solar cell saja 4 buah. Ia memang menemukan teknologi baru material solar cell.

Sejak SMP di Dompu Prof Mikra sudah ingin kuliah di ITB. "Waktu saya SMP berita mengenai pembuatan CN235 di Bandung lagi gencar-gencarnya. Saya ingin seperti Pak Habibie," ujar Prof Mikra kemarin.

Itulah sebabnya Mikra ingin meneruskan SMA di Mataram. "Waktu itu belum ada lulusan SMAN Dompu yang bisa diterima di ITB," katanya. Maka ia masuk SMAN 1 Mataram, di Lombok. Ia kos di ibu kota NTB itu. Ayah ibunya mendukung. Suami istri ini sama-sama guru SD.

Prof Mikra menulis juga tentang penyebab mengapa nasib perguruan tinggi kita seperti itu. 

Yang pertama, sama dengan pendapat Anda: anggaran riset yang super kecil. Hanya 0,3 persen dari PDB. Turki 1,1 persen. Meksiko 0,9 persen. Tidak perlu dibandingkan dengan negara anggota G-20 yang maju.

Penyebab kedua, ini tumben Anda belum tahu, ilmuwan kita menjadi malas kalau sudah mendapat gelar profesor. "Menjelang mendapat gelar bukan main gigihnya. Begitu tujuan tercapai bermalam-malas," tulisnya, kurang lebih. Padahal, setelah jadi guru besar pun harusnya tidak berhenti melakukan penelitian

Prof Mikra sendiri melakukan banyak penelitian. Di samping soal solar cell, ia juga menemukan material coating untuk tiang pancang di daerah yang tanahnya lempung.

Ia juga meneliti air limbah agar bisa menjadi air minum. Lewat proses nano katalis. Bukan lewat nano membran seperti yang ditemukan guru besar ITB lain, Prof Dr I Gde Wenten.

Material solar cell yang ditemukan Mikra itu belum ada di dunia saat ini. Bahan bakunya murah sekali. Ada di dalam negeri. Proses pembuatannya juga sederhana. Sel Surya temuan Prof Mikra berbasis TiO2 dan Grafit. Menggunakan metoda tetes (droplet) dengan penyisipan mineral residu sebagai hole scavenger.

Sepuluh tahun Prof Mikra dan tim ITB melakukan penelitian bidang itu. Sejak 2008. Prinsipnya: bagaimana titanium bisa dipadukan dengan oksigen tanpa bisa menyatu. Yang satu elektron, satunya lagi hole. Listrik negatip dan positif. Agar keduanya tidak menyatu dimasukkanlah unsur nano partikel untuk memisahkannya.

Tapi mengapa temuan seperti itu belum dimanfaatkan di dunia nyata?

“Masih jauh. Perlu langkah-langkah lanjutan," katanya.

Masih jauh itu sudah mulai melangkah atau masih berhenti?

“Hahaha masih berhenti," jawabnya.

Kenapa?

“Bapak kan tahu sendiri," jawabnya.

Saya tidak tahu. Maksimum hanya bisa menebak. Soal anggaran riset tadi.

Mengapa Mikra memilih  melakukan penelitian bidang itu?

"Agar kita bisa melompat. Kalau meneliti yang sudah ada kita hanya jadi pengikut di belakang negara lain," jawabnya.

Mikra mengakui efisiensi solar cell-nya masih rendah. Baru 3 persen. Artinya, dari tenaga matahari yang ditangkap baru 3 persennya jadi listrik.

Itu jauh dari kemampuan solar cell yang di pasaran sekarang: antara 12 sampai 16 persen. Memang ada yang mengaku bisa sampai 18 atau 20 persen, tapi begitulah marketing.

Tiga persen itu pun sebenarnya tidak masalah. Sebab investasinya juga sangat murah. Katakanlah 3 persen itu hanya 1/5 kemampuan solar cell yang anda gunakan. Tapi biayanya juga sangat kecil, tidak sampai 1/5-nya.

Konsekuensinya, bidang hamparannya harus lebih luas. Tapi sangat memungkinkan. Sebab seluruh bidang rumah Anda bisa dilapisi solar cell-nya Mikra ini.

Bahan-bahan tadi, menurut Mikra, dilembutkan. Dicampur menjadi satu. Lalu disemprotkan ke seluruh atap. Juga seluruh tembok. Semprotan itu menjadi lapisan luar atap genteng atau apa pun.

Tapi, ya itu tadi, langkah menuju ke sana masih terhenti sekarang ini.

Prof Mikra kini tinggal di Bandung. Anaknya tiga orang. Cukup. Tidak seperti dirinya: 10 bersaudara. Istrinya juga dari Dompu. Lulusan pertanian Universitas Hasanuddin. "Ibu yang memilihkan istri untuk saya. Dia murid ibu saya," kata Mikra.

Cita-cita Mikra untuk bisa menjadi seperti Habibie tercapai. Sebagian. Ia mendapat Habibie Award tahun 2018.

Lalu, apa penyebab no 3 lemahnya perguruan tinggi kita?

Ini yang saya juga baru tahu. Kata Mikra: yang rajin melakukan penelitian dan menghasilkan jurnal ilmiah di sebuah perguruan tinggi orangnya ya itu, itu dan itu saja. Mereka itulah yang banyak mengatrol nilai perguruan tinggi.

"Tapi perlakuan kepada kelompok pengatrol mutu itu tidak istimewa. Sama saja dengan yang bukan pengatrol," katanya.

Apakah faktor sikap beragama tidak ikut sebagai penyebab?

"Sebenarnya ikut menjadi penyebab, tapi saya takut menyebutkan. Sensitif," katanya.

Syukurlah KTT G-20 juga bisa dipakai penggugat level perguruan tinggi kita. Siapa tahun bisa naik kelas ke 16 besar dunia. 

(Dahlan Iskan)
 
https://disway.id/read/613173/Mikra-Gugat
 
***

Tulisan lengkap Prof Dr Mikrajuddin Abdullah:

Reputasi Akademik Indonesia vs Negara Anggota G20

Tahun ini Indonesia diberi mandat sebagai ketua negara-negara G20. Hiruk pikuk acara yang terkait dengan kepemimpinan Indonesia sangat terasa akhir-akhir ini. Tetapi menarik untuk menganalisis posisi akademik Indonesia terhadap anggota G20 lainnya.

Dengan menggunakan indikator reputasi perguruan tinggi, jumlah pemenang hadiah Nobel, dan jumlah ilmuwan bereputasi internasional, reputasi akedemik Indonesia berada di posisi terakhir di antara anggota G20 lainnya. Berdasarkan Times Higher Education 2022, tiga perguruan tinggi terbaik Indonesia hanya menempati posisi seribuan: UI (801-1000), ITB (1001-1200), dan UGM (1201+). Posisi ini jauh di bawah universitas terbaik di negara berkembang anggota G20 seperti University of Cape Town, Afrika Selatan (183), University of Buenos Aires, Argentina (176-200), King Abdulaziz University, Saudi Arabia (190), University of Sao Paulo, Brazil (201-250), Indian Institute of Science, India (301-350), Cankaya University, Turki (401-500), dan Monterrey Institute of Technology, Mexico (601-800). Bahkan peringkat universitas terbaik Indonesia masih jauh di bawah universitas di negara Afrika yang tingkat kemajuannya berada di belakang Indonesia seperti Addis Ababa University, Ethiopia (401-500), University of Nairobi, Kenya (501-600), University of Lagos, Nigeria (501-600), dan Makerere University, Uganda (601-800).

Universitas terbaik di Indonesia hanya setara dengan University of Ghana, Ghana (1001-1200) dan University of Bostwana, Bostwana (1201+). Data yang menarik adalah Uganda dengan GDP (nominal) per kapita USD 1.060 (Indonesia USD 4.691) dan HDI 0,544 (Indonesia 0,718) memiliki Makerere University dengan ranking 601-800. Universitas ini didirikan tahun 1922 sebagai technical school, hampir sama dengan tipe dan tahun berdirinya ITB. Demikian juga dengan Ethiopia (GDP (nominal) per kapita USD 1.040 dan HDI 0,485) memiliki Addis Ababa University (berdiri tahun 1950) dengan ranking 401-500.

Dari semua anggota G20, hanya Indonesia dan Saudi Arabia yang belum melahirkan pemenang Nobel. Jumlah pemenang hadiah Nobel dari negara anggota G20 lainnya adalah Argentina (5), Australia (14), Brazil (1), Kanada (28), China (9), Prancis (71), Jerman (112), India (11), Italia (21), Jepang (29), Mexico (3), Rusia (32), Afrika Selatan (11), Korea Selatan (1), Turki (2), Inggris (138), dan Amerika Serikat (400).

Lebih lanjut, mengutip data yang dirilis Microsoft tentang peneliti terbaik dunia dari 24 klasifikasi bidang yang ditentukan berdasarkan h-index, jumlah sitasi, dan jumlah makalah yang dihasilkan, posisi Indonesia juga tidak bagus. Jumlah ilmuwan dari anggota G20 yang masuk dalam list tahun 2022 adalah Amerika Serikat (59.025), Inggris (11.971), China (8.585), Jerman (8.104),  Kanada (6.001), Australia (5.556), Prancis (5.520), Jepang (5.378), Italia (4.158), Korea Selatan (1.467), India (960), Brazil (867), Afrika Selatan (361), Russia (239),  Turki (237), Saudi Arabia (232), Argentina (178), Mexico (177), dan Indonesia (6). Tampak bahwa posisi Indonesia sangat rendah dengan jumlah yang sangat jomplang dibandingkan dengan anggota G20 lainnya.

Pertanyaan kita bersama: mengapa beberapa universitas di Indonesia yang sudah cukup tua tidak menanjak signifikan presitasinya? Dengan kondisi ekonomi Indonesia yang makin baik (kekuatan ekonomi nomor 16 dunia) mengapa peningkatan “kekuatan akademik” Indonesia tidak terjadi? Salah satu faktor yang disinyalir menjadi penyebab adalah kecilnya dana riset di Indonesia. Dari semua negara anggota G20, hanya Indonesia dan Saudi Arabia yang memiliki persentasi dana riset terhadap GDP paling kecil, yaitu 0,3%. Negara anggota G20 lainya memiliki peesentase yang jauh lebih besar: Amerika Serikat (3,1%), Inggris (1,8%), China (2,2%), Jerman (3,2%),  Canada (1,5%), Australia (1,8%), Prancis (2,2%), Jepang (3,2%), Italia (1,4%), Korea Selatan (4,6%), India (1,3%, Brazil (1,3%), Afrika Selatan (0,8%),  Russia (1,0%),  Turki (1,1%), Saudi Arabia (0,3%), Argentina (0,5%), Mexico (0,9%).

Faktor kedua adalah akademisi Indonesia terlalu santai. Jika melihat data ilmuwan yangt dirilis Microsoft, tampak jelas bahwa lokomotif riset dan publikasi di negara luar adalah para profesor. Fenomena yang terjadi di Indonesia adalah para dosen “berubah menjadi santai” ketika memperoleh jabatan profesor. Puncak karya dosen di Indonesia terjadi pada periode pengajuan jabatan dari Lektor Kepala ke Guru Besar, dan prestasi tersebut meluruh begitu SK guru besar turun. Kita dengan mudah mengecak capaian para dosen menggunakan mesin google scholar maupun scopus. Idealnya para guru besar tidak layu untuk berkarya hingga akhir masa pengabdian sesuai dengan janji yang ditulis saat pengusulan jabatan. Jika kondisi ini berlangsung terus, menjadi pertanyaan kita bersama: apa manfaat perguruan tinggi mengusulkan jabatan guru besar?

Faktor ketiga adalah tidak seragam dalam berkontribusi. Jika kita analisis data capaian suatu perguruan tinggi, tampak bahwa kontribusi signifikan hanya diberikan oleh sebagian kecil dosen yang itu-itu saja. Ini bearti hanya sebagian dosen yang “membesarkan” nama institusi dan sebagian lainnya “hanya menikmati” nama besar tersebut. Tidak ada perlakuan yang berbeda antara dosen yang “mengharumkan” nama institusi dan dosen yang “menikmati keharuman” tersebut. Pada akhirnya, dosen yang persentasenya kecil tersebut akan sampai pada titik jenuh dalam berkarya, sehingga capain perguruan tinggi mencapai titik jenuh juga.


Baca juga :