Despianoor Wardhani MENGKRITIK dan MENYAMPAIKAN SOLUSI Islam, Kenapa Tetap Dipenjara?

DESPIANOR WARDHANI MENGKRITIK DAN MENYAMPAIKAN SOLUSI ISLAM, KENAPA TETAP DIPENJARA?

Oleh: Ahmad Khozinudin (Advokat)

_"Kritik bersifat konstruktif dan sedapat mungkin memberikan suatu alternatif maupun solusi dan atau dilakukan dengan cara yang objektif. Kritik mengandung ketidaksetujuan terhadap perbuatan atau kebijakan atau tindakan presiden atau wapres. Kritik juga dapat berupa membuka kesalahan atau kekurangan yang terlihat"_

[Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej, 6/7/2022]

Pemerintah dikabarkan telah menyerahkan Naskah final Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) kepada DPR pada Rabu 6 Juli 2022. Dalam RKUHP tersebut pemerintah memutuskan tetap memasukkan pasal penghinaan presiden.

Namun, Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej menyampaikan dalam draf final RKHUP juga  turut diatur terkait kritik kepada presiden dan wakil presiden termasuk penjelasan kritik guna membedakan antara penghinaan dan kritik.

Dalam ketentuan Pasal 218 RKUHP berbunyi:

_"(1) setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV."_

_"(2) Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri."_

Dalam penjelasan pasal ditambahkan mengenai kritik yang dimaksud untuk kepentingan umum adalah melindungi kepentingan masyarakat yang diungkapkan dengan hak berekspresi dan berdemokrasi. 

Pemerintah mendefinisikan apa yang dimaksud kritik untuk kepentingan umum itu, berupa penyampaian pendapat berbeda dengan kebijakan presiden atau wakil presiden yang disertai dengan pertimbangan baik buruk kebijakannya.

Kritik bagi pemerintah juga sebisa mungkin konstruktif dan memberikan alternatif solusi, atau kritik itu harus dengan cara objektif. Begitulah, penjelasan pasal yang disampaikan oleh Wamenkumham, pada 6 Juli 2022 di kompleks Parlemem, Senayan.

Hanya saja, itu cuma teorinya. Praktiknya?

Kita tengok, apa yang dialami oleh Aktivis Pejuang Syariah & Khilafah, Despianoor Whardani. Dia dijebloskan ke penjara, hanya karena memposting artikel berisi kritik kepada pemerintah di laman facebooknya.
 
Artikel yang diposting berupa artikel yang diterbitkan buletin AL ISLAM. Artikel itu mengkritik pemerintah dan menolak Papua lepas dari Indonesia, menolak kenaikan BBM, menolak kenaikan Tarif Dasar Listrik, menolak asing kelola SDA Indonesia, tolak LGBT, tolak liberalisasi Migas, solidaritas terhadap muslim Suriah, aksi tolak Komunis, aksi solidaritas muslim Rohingya, tolak negara penjajah Amerika, menolak pemerintah lepas tangan soal kesehatan, sadarkan umat tentang Khilafah, hingga kritik yang menolak Perdagangan yang merugikan Rakyat.

Kritik yang disampaikan Despianor jelas konstruktif dan memberikan alternatif solusi, yakni solusi Islam berupa syariah dan Khilafah. Nyatanya, Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 237 K/Pid.sus/2022 tanggal 15 Februari 2022 lalu kembali mengeksekusi Despianor, dengan hukuman selama 2 (dua) tahun dan 6 (enam) bulan serta pidana denda sebesar Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah), dengan ketentuan apabila pidana denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan.

Sebelumnya, Despianor sempat dibebaskan olah Majelis Hakim tingkat Banding karena artikel yang diunggah dinyatakan bukan kejahatan dan bagian dari kebebasan berpendapat. Putusan Hakim tingkat banding ini membatalkan putusan tingkat pertama, yang sebelumnya mengantarkan Despianor masuk bui.

Memang benar, Despianor tidak dikriminalisasi dengan pasal penghinaan Presiden, melainkan dengan pasal 28 ayat (2) UU ITE. Namun apa jaminannya, pasal penghinaan presiden dalam RKUHP ini tidak dijadikan sarana membungkam suara rakyat? Belum ada pasal ini saja rakyat sudah dibungkam.

Apalagi jika pasal RKUHP ini disahkan, dimana letak kebebasan berpendapat yang konon dijamin konstitusi?

(*)
Baca juga :