[PORTAL-ISLAM.ID] Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Nicky Fahrizal, mengkritisi pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden yang termuat dalam RKUHP.
Menurut dia, akan sulit membedakan antara kritik dan penghinaan.
"Permasalahannya adalah bagaimana penegak hukum kita hari ini bisa melihat dan membedakan mana yang itu memang kritik atau memang jelas-jelas menghina. Ini yang menjadi kekhawatiran kita," ujar Nicky dalam diskusi CSIS bertajuk: Dampak Rencana Pengesahan RUU KUHP terhadap Kebebasan Sipil, Kamis (7/7).
"Problem terbesarnya ada permasalahan pada tafsir terhadap teks hukum. Pada suatu proses suatu pernyataan pendapat atau opini adalah suatu kritik berdasarkan kepentingan umum atau pembelaan diri atau sebaliknya," sambungnya.
Padahal, Nicky mengatakan, Mahkamah Konstitusi sudah melahirkan keputusan yang memungkinkan presiden atau wakil presiden melaporkan sendiri perilaku yang dianggap menghina mereka.
"Putusan MK cukup baik ya menempatkan bahwa presiden apabila merasa terhina ya harus melaporkan sendiri perbuatan itu ke pihak yang berwajib, penegak hukum dan itu sudah diakomodasi oleh RKUHP," ucap Nicky.
Nicky menilai pasal penghinaan presiden di RKUHP jelas akan menyulitkan masyarakat yang hendak melontarkan kritik atau pendapat.
"Sedangkan kita tahu bahwa hari ini sangat sensitif sekali untuk mengkritisi kebijakan, untuk mengkritisi suatu pernyataan pemerintah atau pejabat publik. Ini yang menjadi PR kita bagaimana kritik yang dibangun adalah bukan kritik dalam artian serangan tapi betul-betul kritik yang konstruktif dan ini membutuhkan tafsir," ungkap Nicky.
"Jadi menafsirkan teks ini yang menjadi problem di dalam, bagaimana melihat pasal atau bab mengenai penghinaan presiden dan wakil presiden," lanjut dia.
Lebih lanjut, CSIS mengingatkan bahwa RKUHP harus memegang amanat reformasi terkait demokrasi.
Jika tidak, maka Indonesia akan masuk sebuah fase kemunduran demokrasi.
"Kita akan memasuki fase yang disebut anti demokrasi atau pembusukan dalam demokrasi karena hukum pidana mempunyai potensi itu untuk memangkas pilar-pilar demokrasi," pungkasnya.
Pemerintah memutuskan tetap memasukkan pasal penghinaan presiden RKUHP.
Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej menyebut, pemerintah menambahkan penjelasan soal kritik guna membedakan antara penghinaan dan kritik.
Dalam RKUHP, pasal itu termasuk dalam penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat presiden dan wakil presiden. Tertuang dalam Pasal 218 hingga 220 draf Rancangan KUHP.
Aturan itu termasuk delik aduan. Jadi, hanya presiden dan wakil presiden yang bisa mengadukan.
Berikut bunyinya:
Pasal 218
1. Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.
2. Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
Dalam lembar penjelasan, diatur soal definisi soal kritik, yakni:
- Kritik adalah menyampaikan pendapat terhadap kebijakan presiden dan wakil presiden yang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk kebijakan tersebut.
- Kritik bersifat konstruktif dan sedapatnya mungkin memberikan suatu alternatif maupun solusi dan/atau dilakukan dengan cara yang objektif.
- Kritik mengandung ketidaksetujuan terhadap perbuatan kebijakan, atau tindakan presiden dan wakil presiden lainnya.
- Kritik juga dapat berupa membuka kesalahan atau kekurangan yang terlihat pada presiden dan wakil presiden atau menganjurkan pergantian presiden dan wakil presiden dengan cara yang konstitusional.
- Kritik tidak dilakukan dengan niat jahat untuk merendahkan atau menyerang harkat dan martabat dan/atau menyinggung karakter atau kehidupan pribadi presiden dan wakil presiden.