Politik Langitan NU

Politik Langitan NU

HUBUNGAN NU dan PKB belakangan panas dingin. Itu setelah muktamar NU di Lampung memilih Yahya Cholil Staquf sebagai nakhoda utama organisasi Islam terbesar di Indonesia tersebut.

Apalagi, setelah kepengurusan harian terbentuk, PBNU langsung ”menghukum” pengurus cabang NU yang memfasilitasi deklarasi Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar jadi calon presiden.

Lebih tepatnya memberikan hukuman ringan. PCNU Banyuwangi, Sidoarjo, dan Situbondo dipanggil untuk dimintai klarifikasi. Mereka pun datang ke PBNU dan memberikan klarifikasi.

Itu jelas akan memberikan dampak psikologis bagi pengurus wilayah dan cabang lainnya. Mereka pasti berpikir dua kali jika ingin melakukan kegiatan politik praktis dengan atas nama lembaga.

Apakah itu merupakan tanda-tanda PBNU menjatuhkan ”talak” kepada PKB? Tentu tidak. Lebih tepat disebut mereposisi sikap politik. Yang tadinya cenderung eksklusif untuk PKB, sekarang menjadi lebih inklusif.

Beberapa kali saya bertemu Ketum PBNU Yahya Cholil Staquf, ia selalu mencemaskan pembelahan NU karena keterlibatan politik praktis. Seperti dalam pilkada dan pilpres. Yang itu sangat mengancam NU ke depan.

Ia sering mencontohkan pemilihan presiden 2019. Yang melibatkan rais aam PBNU sebagai calon wakil presiden mendampingi Presiden Joko Widodo. Pilpres yang sempat membangkitkan kembali politik identitas.

Ia ingin mengakhiri politik identitas dengan menggunakan instrumen NU. Hal itu, antara lain, hanya bisa terjadi jika pengurus harian NU tidak boleh bermain politik praktis. Demikian juga para penggawa jamiyah atau organisasi NU.

Mengapa demikian? Sebab, NU didirikan bukan untuk kepentingan perebutan kekuasaan. NU didirikan oleh para muasisnya alias pendirinya sebagai instrumen membangun peradaban. Bukan hanya peradaban lokal, melainkan juga dunia.

Semangat intrinsik NU itu tecermin sejak sebelum NU resmi berdiri. Ketika para ulama –yang kemudian mendirikan NU– membentuk Komite Hijaz untuk menghadang penghancuran situs-situs bersejarah oleh kelompok Wahabi di Arab Saudi.

Perjuangan ulama itulah yang berhasil menyelamatkan sebagian situs yang menandai lahirnya peradaban Islam. Misalnya, makam Nabi Muhammad di Madinah. Setelah penghancuran situs tempat kelahiran Nabi Muhammad di Makkah dimusnahkan mereka.

Semangat itulah yang dihidupkan kembali oleh Ketum PBNU Yahya Cholil Staquf. Dan untuk itu, NU harus dijauhkan dari politik praktis. Sebab, politik hanya bagian kecil dari upaya menjaga dan membangun peradaban.

Setidaknya, pimpinan puncak PBNU tak boleh lagi ikut dalam pencalonan presiden maupun wakil presiden. Pasalnya, dengan langsung masuk gelanggang, warga NU menjadi terbelah. Yang setiap periode tidak gampang menyembuhkannya.

Dalam Pilpres 2019, misalnya. Saat Rais Aam PBNU KH Ma’ruf Amin ikut kontestasi menjadi calon wakil presiden. Pembelahan itu sangat nyata. Terbukti, tak semua warga NU memilihnya. Banyak juga yang memilih lawannya. Terbukti, pasangan Jokowi-Ma’ruf hanya menggaet 55,50 persen.

Itu berarti, 44,50 persen tak ingin kiai pemegang kendali tertinggi NU tersebut menjadi wakil presiden. Posisi itulah yang akan menyulitkan NU dalam berperan sebagai penyangga bangsa ini. Yang harus dalam posisi beyond parpol dan beyond jabatan politik.

Apakah berarti NU tak berpolitik? Pasti tidak. Sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia, NU tak bisa terbebas dari tarikan-tarikan politik. Namun, tidak berarti ia secara kelembagaan harus masuk ke salah satu golongan maupun kelompok politik.

Ibaratnya, kalaupun harus memasuki gelanggang politik, NU akan bermain di level high politic alias politik langitan. Memengaruhi kebijakan dan merangkul berbagai kelompok serta golongan politik untuk kepentingan bangsa. Untuk peradaban dan kemanusiaan.

Karena itulah, NU tak ingin hanya menjadi milik PKB. Meski, KH Cholil Bisri –ayah Ketum PBNU kini– salah seorang penggagas dan deklator PKB. Meski, Yahya Cholil Staquf juga ikut andil mendirikan partai politik itu. NU kini menjadi rumah besar bagi semuanya. Para pencinta bangsa Indonesia.

Tentu dengan reposisi political standing NU itu, PKB sedikit banyak dirugikan. Ia tak lagi bisa mendompleng NU secara kelembagaan. Tapi, irisan kepentingan dan budaya yang dibawa PKB masih mempunyai ruang untuk menggarap jamaah NU.

Di situlah ujian bagi Ketum PKB A. Muhaimin Iskandar. Pengendali tunggal PKB setelah ia berhasil mengalahkan dominasi pendiri PKB yang juga pamannya sendiri, KH Abdurrahman Wahid. Yang telah hampir dua dekade menjadi nakhoda digdaya partai tersebut.

Apakah ia bisa memanfaatkan ruang yang makin sempit di NU untuk mendapat dukungan politik warga NU? Apakah ”kecerdikan politik” Cak Imin –panggilan akrab Muhaimin Iskandar– bisa meluruhkan seniornya di UGM itu untuk mendukung langkah-langkah politiknya? Apakah justru relasi PKB dan NU secara kelembagaan akan makin renggang?

Rasanya butuh waktu untuk menjawab semua pertanyaan tersebut. Yang sudah pasti, jika Cak Imin lebih mau ”merendah” dengan sowan ke Yahya Cholil Staquf dan minta penugasan, barangkali akan sedikit meredakan ketegangan.

Sebab, inisiatif Cak Imin untuk sowan ke Ketum PBNU akan memberikan sinyal dan simbol bahwa PKB adalah instrumen NU untuk perjuangan politik. Jika tidak, ia secara simbolis menganggap NU adalah instrumen PKB.

Jika terakhir itu yang menjadi pilihan, Cak Imin akan dianggap sebagai ”anak durhaka” bagi kepemimpinan NU yang baru. Anak yang merasa lebih besar daripada orang tua yang melahirkan.

Atau, Cak Imin sudah merasa cukup dengan mengubah branding politiknya menjadi Gus Muhaimin? Branding yang lebih meng-”NU” ketimbang Cak Imin yang abangan. Wallahua’lam bissawab. (*)

Baca juga :