Prabowo Gagal Nyapres, Gerindra Nyungsep
Oleh: Tony Rosyid
TAK ada pilihan. Prabowo mesti nyapres. Sebab, hanya Prabowo yang saat ini menjadi satu-satunya ikon Gerindra.
Seperti PDIP tanpa Megawati dan Demokrat tanpa Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kedua partai ini akan kehilangan pengikut.
Selain faktor sejumlah kader yang terseret kasus korupsi, Demokrat hancur ketika SBY tidak nyapres di Pemilu 2014. Sebab, enggak ada coattail effect. Di pemilu sebelumnya yaitu Pemilu 2009, Demokrat meraih suara 20,4% (kursi di DPR 26,4).
Di Pemilu 2014, suara Demokrat jeblok jadi 10,9% yang berujung pada konflik internal hingga saat ini. Di Pemilu 2019, suara Demokrat merosot lagi di angka 7,77%.
Gerindra bisa bernasib sama. Jika Prabowo tidak nyalon dan suara Gerindra jeblok, maka ada kemungkinan banyak kader yang akan meninggalkan partainya Prabowo ini. Di situ, wibawa Prabowo akan semakin turun dan boleh jadi konflik internal Gerindra akan mulai muncul.
Biasa, gula banyak, ada yang bisa dibagi. Angeng! Gula sedikit, dan jumlah yang berebut banyak, ribut. Ini biasa terjadi dimanapun, dan kapanpun.
Prabowo akan tua dan mati juga. Sebagaimana juga Megawati dan SBY. Jika estafet kepemimpinan partai tidak sedari awal disiapkan dengan membangun sistem yang baik dan kokoh di partai, maka partai akan roboh juga.
Mengacu pada teorinya Max Weber, ada tiga bentuk kepemimpinan. Pertama, otoritas tradisional (konservatif-irasional). Kedua, otorilitas kharismatik, dengan mengandalkan kehebatan seorang pemimpin. Ketiga, otoritas legal-rasional yang berbasis pada sistem dan aturan.
Kepemimpinan otoritas tradisonal dan kharismatik itu rapuh. Kuat selama orang yang ditokohkan masih hidup. Mati, ya organisasi, partai atau komunitas apapun, akan kehilangan sosok yang dibuat gantungan.
Pesantren dengan pengasuh (kiai) berbasis otoritas tradisional dan kharismatik, ketika kiai itu meninggal, sepi. Jumlah santri akan berkurang. Bahkan tidak sedikit gulung tikar. Apalagi kalau enggak punya penerus, pesantren berubah jadi asrama, bahkan gudang sembako.
Beda dengan pesantren modern seperti Gontor, Darun Najah, dan sejenisnya, berganti pengasuh, bahkan enggak ada tokohnya sekalipun, sistem belajar di pesantren tetap jalan. Sebab, sistemnya sudah kuat. Enggak bergantung pada keturunan dan kharisma kiai.
Teori ini berlaku juga buat partai yang sangat bergantung pada kharisma pemimpinnya.
Gerindra saat ini, adalah salah satu partai yang kepemimpinannya berbasis pada otoritas kharismatik. Sangat bergantung sosok bernama Prabowo.
Jika Prabowo di Pemilu 2024 tidak nyapres atau gagal nyapres, siap-siap Gerindra terpuruk. Boleh jadi akan sejajar perolehan suaranya dengan PPP di Pemilu 2019 kemarin. Jadi partai gurem.
Memang, dalam politik, tak selalu ada banyak pilihan. Bahkan seringkali hanya tersaji satu pilihan. Termasuk nasib PKS, PPP, dan PAN di Pemilu 2024. Ketiga partai ini berisiko ketika 2024 berkoalisi dengan PDIP.
Sebab, konstituen tiga partai Islam ini sedang marah sama PDIP. Bila memaksakan diri, bisa nyungsep.
Begitulah politik, tidak selalu ada pilihan leluasa. Apalagi, ada partai Gelora yang sekarang sedang membayang-bayangi PKS, dan ada Partai Ummat yang siap mengambil ceruknya PAN.
Jangka pendek, yaitu Pilpres 2024, Gerindra punya dua pilihan. Pertama, capreskan Prabowo, Gerindra selamat. Soal menang kalah, itu nomor dua belas. Yang penting dapat banyak kursi di DPR. Kedua, tidak capreskan Prabowo, siap-siap Gerindra kehilangan banyak kursi di DPR. (*)